Minggu, 08 Januari 2012

STONE GIRL

Hey, don’t ever call me “stone girl”. Itulah yang senantiasa menggaung dalam batinku. Bagaimana tidak, semua lelaki menganggap diriku “gadis batu”, entah karena aku yang keras atau karena aku yang tak berperasaan. Bahkan mereka tak segan menyebutku “penjahat cinta”. Gosh..apa mereka sadar yah, kalau sebanarnya aku itu tidak seburuk yang mereka pikirkan. Oke, mungkin aku harus menceritaka asal-muasal mengapa para lelaki menamaiku dengan sebutan-sebutan menyakitkan itu.


Aku gadis berusia 21 tahun sekarang, panggil saja aku Melani. Aku termasuk gadis dengan pengagum yang berjejeran. Itu kenyataan! Tapi, aku termasuk gadis yang punya kriteria aneh untuk calon pacar aku. Aku termasuk orang yang moody, karena itu selera dan kriteriaku juga berubah-ubah dan nampaklah aneh. Sesungguhnya aku tidak sekejam dan sekeras kepala yang mereka piker tentangku. Hanya saja jika aku sudah merasa bosan dan enggan untuk bersama mereka, maka akan aku katakana itu. Tak peduli apakah itu menyakitkan atau tidak. Bukankah sebaiknya kebenaran itu dikatakan walau pahit. But, that’s me..!


Mari kita mulai dari mantan pertamaku, namanya Megys. Untuk ukuran perfect seorang cowok, kita beri dia poin 90. Bagaimana tidak, dia cakep, tajir, baik hati, setia (walaupun setelah tragedi putus denganku dia menjadi tak 100% setia), ramah, cool, dan yang pasti jadi rebutan cewek. Beruntungnya diriku, akulah yang disukainya. Perkenalan kami hanya melalui teman ke teman. Kemudian berlanjut ke pentas tujuh belasan yang seringkali diadakan untuk memperingati hari kemerdekaan negara kita, Indonesia. Siapa yang menyangka kalau dia harus se-club denganku di barisan vocal group tempat tinggalku. Mungkin, karena kebersamaan yang terus berlangsung dan rentang pertemuan yang bias dibilang cukup intensif, jadilah kami saling menaruh perhatian.


“Keren juga loh, ini cowok!”pikirku dalam hati.


Sambil terus menatapnya tanpa henti (walaupun sambil mencuri-curi pandang), aku terus tenggelam dalam suasana mengaguminya. Ditambah lagi bisikan-bisikan kawan-kawanku yang terus saja menghasutku untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mumpung jomblo, menjadi alibi mereka. Memang saat itu aku masih berstatuskan “jomblo” atau single. Setelah memakan proses pendekatan yang tidak terlalu lama, dia pun memberanikan diri untuk menyatakan hasratnya menjadikanku kekasihnya. Dan jadilah Megys sebagai pacar pertamaku, lelaki pertama yang mengisi hatiku. Seperti remaja lainnya kami menikmati kebersamaan demi kebrsamaan.  Tidak ada masalah yang mengganggu, hanya saja saat aku harus ke kota demi melanjutkan pendidikanku, disitulah masalah mulai bermunculan.


Sebagai seorang mahasiswi baru di sebuah perguruan tinggi, tugas, kesibukan, dan masalah terus bertambah volumenya. Tentu saja menjadi beban piker baru lagi. Rasanya, semua itu menuntut perhatian lebih dariku. Mualailah Megys menjadi tak tergubriskan. Merasa aku tak pernah punya waktu untuknya, Megys mulai merasa galau. Dia pun memberanikan diri untuk mengatakannya padaku. Aku yang cukup mumet dengan masalah dan tugasku saat ini, menjadi emosi. Terang saja aku emosi, aku bingung harus berbuat apa untuk mengatasi semuanya. Dan jadilah kami putus. Sebenarnya, bukan hanya sekedar mumet dengan segudang tugas-tugasku, tapi aku memang sudah bosan dengannya. Ditambah lagi orang-orang sekitarku yang member masukan kalau Megys itu masih tidak memiiki banyak hal yang aku butuhkan.


Perpisahan yang tragis. Karena aku mengatakan jika aku sudah tidak suka dengannya. Bukannya mencari alasan rasional yang lebih halus dari itu, malahan hanya kalimat itu yang menurutku paling rasional untuk aku jadikan alasan putus dengannya. Megys pun tak bisa menerima, dan dia pun bersikeras untuk tetap menungguku, berharap aku mungkin akan berubah pikiran. Semakin ia memaksa untuk menungguku, semakin aku bersikeras untuk acuh terhadapnya. Toch, lambat laun semua itu bias berlalu, aku pun membatin.


Tidak lama setelah kejadian itu, aku terpaut hati dengan teman sekelasku yang bernama Ivan. Seperti biasa, cowok dengan daya jual tinggi, tubuh yang bisa masuk dalam rumus hitungan dambaan banyak gadis, dan otak yang cukup menjamin. Dengan jangka waktu yang tidak cukup lama, kami pun jalan. Sebenarnya aku suka dengan kepribadian Ivan yang santai. Apalagi kami punya hobi yang sama, jalan plus cuci mata. Tetapi, suatu waktu kami jalan berdua dan memilih nonton sebagai aktifitas kami hari itu. Ivan pun memintaku untuk menciumnya. Terang saja aku tak mau. Aku hanya mau memberikan ciumanku hanya untuk suamiku kelak. Ternyata gaya metropolisnya menjadikan Ivan sebagai cowok bebas. Dan aku tak suka itu. Keesokan harinya, langsung saja aku putuskan dirinya dengan alasan yang juga cukup menyakitkan.


Cukup lama setelah aku berpisah dengan Ivan, kehidupanku mulai berubah. Aku lebih senang dengan duniaku sekarang. Dunia yang kubuat tanpa harus diisi oleh orang lain. Aneh memang, tapi itulah buah pikirku. Rasanya aku tidak butuh orang lain. Teman bergaul yang menemaniku pun bisa dihitung jari. Aku pun termasuk ke dalam gadis anti organiasi. Selepas kuliah berlangsung, langsung saja aku pulang ke rumah. Rasanya menyenangkan seperti ini. Aku juga lebih tertarik pada sosok acuh dan dingin. Mungkin karena kebanyakan nonton film korea yang saat itu digandrungi banyak remaja sepertiku. Sosok yang mereka tampilkan kebanyakan sosok yang cool dan super cuek. Oh iya, aku belum memaparkan sebelumnya kalau aku juga termasuk dalam gadis yang berkepribadian mudah terhasut oleh pengaruh-pengaruh sekitar.


Saking parahnya aku mengagumi seseorang yang bersifat cool dan acuh, aku pun diam-diam mengagumi salah seorang senior dikampus. Tampang keren dan gaya macho, membuatku menjatuhkan pilihan ku untuk mengabdikan diriku menjadi pengagumnya. Berulang kali teman-teman dekatku menawarkanku untuk mengenalkanku padanya. Tapi, menurutku semua itu hanya akan mengurangi esensi diriku sebagai pengagum rahasianya. Aneh memang, karena aku hanya ingin menjadi pengagum rahasianya, tidak lebih. Aksiku ini berlangsung cukup lama, dan aku menikmatinya. Hingga suatu malam, aku tak sengaja berjumpa dengan pangeran rahasiaku itu disebuah suasana chat pada suatu layanan jejaring sosial. Awalnya hanya saling sapa dan berlanjut pada pernyataan yang membuatku shock. Pangeranku menawarkan diriku untuk bisa menjadi puterinya. Senangnya bukan main diriku. Akan tetapi, di sisi lain batinku menolak. Aku hanya ingin menjadikannya sebagai sosok yang aku kagumi. Dan ku tolaklah dia. Cukuplah aku merasa bahagia dan deg-degan saat melihat dirinya dari kejauhan, karena aku memang menikmatinya. Dan itulah aku, aneh tapi nyata.


Larut dalam aktifitas mengagumiku, tanpa aku sadari seorang senior lainnya ternyata tengah menjaring hatiku. Sosok yang acuh dan berwibawa menjadi nilai tambah menurutku. Dia memang salah satu senior dengan popularitas yang cukup terkenal akan prinsip dan sikap tak mau dikalahnya. Sehingga ia menjadi satu diantara sekian senior yang disegani. Ternyata ia cukup dekat dengan salah seorang teman se-kost ku. Dari temanku pula aku mengenal kakak cuek itu. Berbeda dengan mantan-mantanku sebelumnya, kali ini pendekatan yang dilakukan oleh kakak tadi cukup lama dan memakan waktu. Mulai dari malam LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) jurusan yang diperuntukkan mahasiswa baru, kami mulai saling mengenal satu sama lain. Sebenarnya aku agak ogah-ogahan untuk ikut malam LDK itu yang lebih mirip malam bina akrab. Tapi, demi membantu perijinan temanku dengan ibu kost, maka jadilah aku ikut dengannya.


Ternyata sikap dan kepribadiannya yang dingin dan acuh itu yang membuatku penasaran. Lalu, entah bagaimana, kakak itu mengutarakan perasaannya padaku jika ia menyukaiku. Dengar-dengar sih, dia cukup punya banyak deretan list wanita yang ditinggalkan alias mantan pacar. Penasaran juga dengan dirinya. Dan kuterima lah dia. Aku pun tak lagi men-jomblo ­sekarang. Tiga bulan berlalu bersamanya, menjalin hubungan yang berfluktuasi, kadang di puncak kadang di jurang, tapi semua kami lalui. Hingga tak terasa satu tahun sudah aku menjalani hubungan dengannya.


Sebagai mahasiswa semester akhir, aku pun harus menjalani salah satu program wajib mata kuliah yang nge-trend disebut KKN (Kuliah Kerja Nyata). Dunia baru, dan pengalaman baru. Itulah yang bisa tergambar dari alumni-alumni yang telah melalui program KKN. Bagaimana tidak, segala hal bisa terjadi disana. Pembentukan karakter-lah, pendewasaan, bahkan cinlok pun bisa terjadi. Cinlok itu sebutan buat orang-orang yang terkena hubungan “cinta lokasi”. Percintaan yang terjadi akibat intesitas pertemuan yang terbilang sering. Tadinya, aku agak tidak percaya dengan kasus yang satu itu. Tapi, ternyata akulah pelakunya.


Lelaki bernama Andi, menjadi pasangan cinta lokasiku selama KKN. Banyak orang berpendapat kalau cinta lokasi hanya dilakukan orang sebagai suatu cara “memberdayakan” orang lain. Kata kasarnya memanfaatkan orang lain. Tapi, menurutku tidak. Selama kedua belah pihak merasa diuntungkan satu sama lain, beararti tidak ada aksi “memberdayakan”. Begitu pula kami, aku dan Andi. Kami hanya terpaut karena memang saling menyukai. Tapi, lebih tepatnya aku hanya kagum dan kasihan padanya. Karena kebaikan dan ketulusannya (entah benar-benar tulus atau tidak) sehingga aku menjadi jatuh hati padanya. Semua berjalan sebagaimana mestinya, samapai aku sadari kalau aku punya kakak sebagai pacar. Iya, sebagai pacar mungkin ini yang disebut selingkuh. Tapi jangan salah, aku melakukannya karena aku sudah memikirkannya matang-matang. Selama ini aku selalu dituduh selingkuh oleh kakak. Dan semua itu tidak benar. Hanya karena aku mengagumi tokoh-tokoh film korea, maka aku dituduh selingkuh. Maka saat ini aku akan menjadikannya benar-benar nyata. Rugi rasanya saat kita dituduh negatif lalu tidak kita realisasikan. Peduli dia mau marah atau komplen. Karena sesungguhnya aku juga sudah bosan dengannya. Sikapnya yang selalu mengaturku, membuatku tak betah dengannya.


Klimaks hidup menghampiriku, aku benar-benar tidak memperdulikannya. Biarlah aku disebutnya berhati baja atau apalah sebutannya untukku. Aku memutuskan hilang dari dirinya, kalau perlu dari kehidupannya! Tapi, aku tak bisa. Nampaknya aku mulai terbiasa menyayanginya. Perlahan namun pasti, aku mulai luluh karenanya. Hampir saja aku bukan lagi stone girl. Kini harus aku akui, aku mencintainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks buat komentarx..:)