Daun
kemuning mulai menyemarakkan sore yang terasa hangat. Aroma senja
perlahan-lahan menusuk relung hati yang nelangsa. Ada semangkuk penuh harapan
untuk apa yang disebut bahagia. Sore yang berbeda dari sebelumnya, kali ini
diisi oleh jutaan rindu yang melayang bebas tanpa batas menuju dua pasang hati
yang terpaut jauh oleh jarak, tidak dengan waktu. Dan malam beku telah siap
menggantikan sore yang lembut. Meski berat, tetapi kaki harus tetap melangkah
pulang. Pulang ke peraduan masing-masing di kota yang penuh adat dengan aneka
macam budaya.
Hentakan kaki dari sepatu kulit
memainkan irama yang harmoni. Kaki itu juga yang membawa keberuntungan untuk
menemukan pasangan kaki belahan jiwanya jauh sebelum hari ini datang. Sepasang
kaki yang dimiliki gadis bertubuh gempal dengan senyum riang dan nama yang
indah, Ratu. Cintanya pada Ratu mengajarkan Ilmi pada makna-makna baru yang
belum pernah ia temui di cinta-cinta sebelumnya, yang hanya mengajarkan ia
bagaimana larut dalam romantika remaja tanpa tahu senang-sendunya cinta yang
mendewasakan. Seperti Ilmi, Ratu juga baru saja meneguk sejuknya cinta itu.
Awalnya Ratu agak risih ketika harus mengulas cinta lebih dalam. Jangankan
untuk melakukan hal tersebut, kata cinta saja dianggapnya sebagai salah satu
kata terlarang untuk ia ucapkan. Sebegitu bencinya Ratu pada masa lalunya yang
hampir selalu menyeretnya tiap kali muncul tiba-tiba di kekosongan hayalan,
Ratu pun berdoa agar hatinya dibekukan saja tanpa harus kembali sakit oleh
cinta.
Dingin lagi-lagi mengusik Ilmi yang
sibuk dengan pikirannya mengenang Ratu. Sejam yang lalu, gadis imutnya bertolak
menuju kota hujan demi melengkapi gelar baru yang akan disandangnya. Giginya
yang saling beradu menahan dingin tidak seberapa untuknya, ketimbang dingin
hatinya yang nanti akan sibuk menghitung detik-detik dimana ia akan semakin
merindukan wanitanya, ratunya. Memang masih se-umuran jagung usia pertemuan
mereka, tapi cinta tidak mengenal seberapa lama kau mengenal pasanganmu,
melainkan seberapa dalam kau mampu mengerti pasanganmu. Tepat enam bulan yang
lalu ia kembali dipertemukan dengan sang ratu, setelah menahan rasa penasaran
dan pengharapan yang luar biasa dipertemuan awal mereka. Tidak ada yang spesial
tadinya, tetapi di jumpa kedua mereka entah mengapa koneksi antena mereka jauh
lebih lincah dibanding kerja logika mereka yang tengah memahami apa
sesungguhnya yang terjadi pada dua insan Tuhan.
Seperti sedang menapak tilas,
mengambang dan mengawang-awang ke masa dimana mata terpaut mata, hati terpaut
hati, dan kaki terpaut kaki. Kedengarannya seperti ada yang aneh, tapi memang
itulah yang terjadi pada mereka. Insiden sandal jepit, momen yang berbekas
jelas di benak Ratu dan Ilmi. Bagaimana kekonyolan mereka menjadi awal cerita
cinta sederhana. Sepasang sandal jepit merek “jepang”, nyaris butut belum
buntung.
***
Warna yang sama dan ukuran yang
hanya beda satu nomor, tapi begitu terasa ketidaksamaannya saat terpajang di
kaki Ratu. “Mungkin tertukar” batin Ratu mencoba berkompromi dengan rasa kesalnya.
Tidak mungkin juga ia akan kembali ke rumah kakaknya dan menukarkan kembali
sandal jepit yang dikenakannya. Mana tahan Ratu dengan omelan dan serangan
kata-kata pedas ketua panitia acara, sedangkan ia sadar kalau jarum jam di
tangannya tidak main-main mencekik waktu yang harus ia gunakan untuk sampai di
ruangan big boss. Akhirnya, ia
memutuskan untuk terus melaju dengan angkutan umum kota ditemani dua sandal
dengan ukuran berbeda yang tengah terjepit di kakinya.
Sesekali Ratu mencoba melirik seisi
angkot, harap-harap cemas semoga tidak ada yang menyadari kalau sandal yang
digunakannya bukanlah pasangan satu sama lain. Ia terus mencoba bersikap
sewajarnya, seolah penampilannya adalah yang ter-sempurna hari ini. Kenapa juga
ia berinisiatif menggunakan sandal jepit hari ini, padahal ia tahu harus
menemui Pak Rahman, sang Ketua Panitia Acara di sebuah Kampus di kotanya.
Untung saja, bapak ketua bukanlah orang yang sibuk dengan tampilan luar
anggotanya. “ Yang penting loe pake baju ajha, itu sudah cukup!” kenang Ratu di
awal rapatnya dengan Pak Rahman. Ratu memang sehati dengan atasannya untuk
urusan penampilan. Lelaki yang cenderung santai dan berpenampilan apa adanya,
tidak mengurangi kharismanya di mata bawahannya. Tetapi, jangan coba main-main
masalah waktu dengannya. Tidak ada satu pun alasan yang dapat diterimanya, jika
itu mengenai pemanfaatan waktu. Dan untuk yang satu itu, Ratu tidak sepaham
dengan atasannya. Karena Ratu tahu persis kebiasaannya yang sering terlambat,
bahkan saat masih kuliah dulu.
Semasa kuliah, bukan tidak ada yang
suka pada gadis bertubuh gempal itu. Cerdas, lincah, kreatif, wajah bulat, pipi
tembem seranum ceri, senantiasa dihiasi senyuman yang rasanya tak pernah
luntur, semua ada pada dirinya. Rasanya sempurna, hanya saja ia “gempal”,
ukuran badan agak lebih dari ukuran tubuh seorang gadis pada umumnya. Keceriaannya
menjadi satu nilai tambah di mata para lelaki. Namun kenyataannya,
lelaki-lelaki itu hanya bisa mengaguminya tanpa pernah berani mengutarakan
kekagumannya pada Ratu. Kebanyakan dari mereka takut dengan semua kelebihan
Ratu, apalagi ia adalah anak senator terkemuka di kampusnya. Itu juga yang
kadang-kadang membuatnnya kesal. Ia selalu berharap menjadi gadis biasa, bukan
ratu.
Pernah suatu ketika, dipertengahan
sejuknya bulan Maret, cinta sang ratu harus kandas ditengah jalan. Padahal
keseriusan yang mereka jalani meyakinkan Ratu jika lelaki itu adalah yang tepat
untuknya. Baginya, yang terpenting dari seorang pria adalah saat mereka mampu
berkomitmen hingga usia yang memisahkan mereka. Alih-alih mencari alasan yang
bijak buat menutupi “ketidaksanggupannya” menyeimbangi Ratu yang hampir
sempurna, lelaki itu memilih untuk menyudahi jalinan mereka dengan alasan ia
telah menemukan sosok yang lebih sempurna dibanding Ratu. Sontak saja perut
Ratu bergemuruh seperti ingin memuntahkan sesuatu. Tapi tetap saja ia tahan dan
telan mentah-mentah sehingga tak perlu ada yang tahu, kalau ia baru saja putus
karena ia “jelek”, pilihan kata yang tepat menurut Ratu.
***
Dering telepon genggam di saku Ilmi
tak henti-hentinya bergaung memenuhi kepenatannya. Penat akan penggemarnya yang
semakin lama, semakin mengganggu wilayah pribadinya. Dianugerahi wajah yang
tampan, tidak membuatnya murah untuk tebar pesona. Tinggi, berkulit terang, cool, dan berwibawa. Wanita mana yang
tak jatuh hati pada sosok sepertinya. Hanya mereka yang kehilangan akal sehat
yang tak kagum padanya. Jadi, bisa dibilang awalnya Ratu adalah salah satu
wanita yang hilang akal sehatnya. Entah karena sakit hati luar biasa atau
karena ia tak pernah sempat memperhatikan Ilmi dengan seksama.
Tidak ada rencana yang lebih baik
selain memulai hari yang indah dengan senyuman untuk memenuhi panggilan
melengkapi masa depan. Hari ini Ilmi sedang ingin ber-sendal jepit ke
kantornya. Hujan yang terus-terusan mengguyur kotanya kala itu membuatnya
berpikir berulang kali untuk menggunakan sepatu kulit kesayangannya. Sayang
untuk digunakan berbasah-basah ria, ia pun meraih sandal jepitnya dari rak
sepatu di ujung kamarnya. Dengan menunggangi motor sport hasil tabungannya, ia melaju menyusuri jalan kota tanpa
menghiraukan deringan telepon genggamnya. Ditemani “si putih”, begitu ia
menamai tunggangan kesayangannya yang belakangan menjelma menjadi kekasihnya
setelah rasa trauma yang menghinggapinya pasca ditinggal nikah oleh wanita
pujaannya, hari-hari yang ia songsong terasa lebih ringan sekarang.
Berhenti disebuah rumah yang multi
fungsi juga sebagai kantor, Ilmi memarkirkan “si putih” agak merapat ke tembok
yang di cat berwarna cokelat muda senada dengan kemeja batik yang digunakannya.
Kemudian ia kembali teringat pada bunyi teleponnya yang sedari tadi menggelitik
jahil dalam kantongnya. Sambil mengutak-atik tombol telepon genggamnya, Ilmi
melepaskan sandal jepit tepat di depan pintu kantornya.
Seperti
hari-hari sebelumnya, yang akan ia lakukan duduk manis depan komputer dan
membuat desain bangunan pesanan beberapa kontraktor. Baru saja ia duduk rapi
dan memarkirkan pantatnya di kursi kerjanya, tiba-tiba matanya terpaut pada
gadis dengan senyum cerah yang melintas dihadapannya bak hantu di siang bolong.
Itu gadis yang pernah ia temui ketika ia dan atasannya tengah melakukan
perjalanan mengunjungi rumah orang tua atasannya di seberang pulau. Bagaimana
mungkin ia akan lupa senyuman itu, senyuman yang berbicara tentang kemilaunya
hari esok, senyuman yang selalu mampu berkata padanya semua masalah dapat
teratasi. Saat Ilmi dihinggapi rasa penasaran luar biasa, ia kemudian mencoba
mencari bahan pembicaraan yang tepat. Tapi, malu dan gugup yang hebat menerjang
tubuhnya.
Gejolak
batin yang dahsyat bergemuruh memainkan paduan nada yang sumbang tepat di dalam
rongga dadanya. Antara mempertahankan rasa malunya namun harus kembali
kehilangan jejak sang wanita, ataukah mencoba mematahkan keheningan antara ia
dan wanita itu dengan menanyakan nama atau apa saja yang akan terlintas di
kepalanya nanti. Jawabannya, Ilmi hanya mampu kembali menelan pahit rasa
canggung yang ia rasa sehingga tak ada satu pun informasi yang ia peroleh
dipertemuannya untuk kesekian kalinya. Nihil, dan ia pun kembali tertunduk
tepat dihadapan layar komputernya.
***
Semakin sore hari, semakin anggun
sang mentari turun dari tahtanya. Usai melepaskan keperkasaannya menyinari
hari, warna jingga memendar indah membentuk batas dunia dan langit. Kuasa dan
cipta-Nya menundukkan setiap ego di hati tiap mahluk-Nya. Bak lukisan yang
sempurna, tertata rapi di galeri alam jagad raya. Memancing decak kagum penikmatnya
untuk tidak lupa bersyukur masih diberi nafas menghirup serat-serat kehidupan
yang mereka pinjam. Langkah demi langkah terlihat lunglai saling bergantian,
langkah dari kaki Ratu, masih dengan sendal jepitnya yang tadi tertukar.
Sepanjang jalan pandangan Ratu hanya
tertuju pada sepasang sendal jepit yang bukan pasangannya. Sangat ganjil dan
terlihat canggung untuk dikenakan bersama. Padahal warna dan mereknya sama,
hanya ukurannya yang berbeda. Tapi yang namanya tertukar, ya..tetaplah
tertukar, tidak untuk digunakan bersama. Pelan-pelan nafas yang dihembuskannya
mengisyaratkan beban yang mengganjal dalam hatinya. Terbayang kembali wajah
mantan kekasihnya yang pergi meninggalkannya ketika ia mulai yakin dengan
cinta. Tidak ada yang salah dari cinta. Cinta hanya datang sebagai anugerah.
Individunya-lah yang kelak menentukan akan jadi apa cinta itu di akhir cerita.
Mungkin seperti sendal jepit inilah kisah cintanya dengan sang mantan. Walaupun
kelihatan sepadan, tapi tak pernah serasi karena bukan pasangan tepat satu sama
lain. Sebesar apapun hati Ratu berusaha menerimanya, masih juga ada setitik
amarah yang membuncah.
Hampir sampai ditujuan, Ratu
dikagetkan akan pertemuannya dengan salah
satu pegawai kakaknya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, lelaki itu juga
menggunakan sendal jepit yang bukan pasangannya. Itu pasangan sendal jepit Ratu
yang tertukar sebelah. Tapi, nampaknya lelaki itu tidak sadar dengan keganjilan
sendal jepit yang digunakannya. Setengah berlari, Ratu menghampiri lelaki itu.
Dengan nafas yang sedikit tersengal akibat harus bergegas, ditambah lagi bobot
badannya yang sedikit berat, membuat Ratu cukup kewalahan. Tanpa mengurangi
santun yang dimilikinya, juga masih dengan senyum cerah yang sedikit terlihat
dibuat-buat menutupi kelelahannya berlari, Ratu menyampaikan perkara sendal
jepit mereka yang tertukar. Lelaki itu hanya tersenyum simpul tanpa banyak
bicara sambil menyerahkan sebelah sendal
jepit Ratu.
Jantung Ilmi berdetak dengan irama
yang mulai terasa cepat, serasa berburu dengan angin yang berhembus
disekitarnya. Ini kejadian langka dalam hidupnya. Berulang kali Ilmi merasakan
percikan cinta, namun kali ini rasanya agak berbeda. Semua menjadi sangat
bersensasi, hingga tanpa sadar keringat mengucur deras membasahi kemeja batik
yang dikenakannya. Gadis di depannya benar-benar luar biasa. Karena hanya
dengan senyuman sederhana yang dimilikinya mampu membuat seorang Ilmi tak mampu
berucap satu kata pun. Ilmi terus saja mencuri pandang dari setiap kesempatan
dimana gadis itu tidak menyadari kekaguman dirinya pada sang gadis. Dengan
instruksi sederhana, Ilmi serasa terhipnotis dengan kata apa saja yang meluncur
keluar dari mulut wanitanya. Bodohnya, Ilmi hanya tersenyum gugup sambil
menukar sendal yang ternyata bukan pasangan sendalnya. Harusnya, ia sadar jika
yang dikenakan kakinya bukanlah pasangan satu sama lain. Tetapi tidak tahu
mengapa, baru saat ini dia sadar kekeliruannya menggunakan sendal jepit.
Usai saling menukarkan sendal jepit
yang tertukar, Ilmi menawarkan diri kepada Ratu untuk sekenanya dapat
mengantarkan Ratu kembali ke rumah kakaknya. Kebetulan, Ilmi juga masih harus
kembali ke tempat kerjanya itu untuk mengambil barangnya yang tadi tertinggal
di meja kerjanya. Ada rasa canggung diantara keduanya, namun mereka coba sisihkan
dahulu mengingat hari akan segera berganti, takut mentari tak lagi menari
ketika mereka sampai di rumah kakaknya Ratu yang juga menjadi tempat kerja
Ilmi.
Ditemani deru “si putih” yang melaju
pelan, mengibaskan udara yang sayup-sayup menerpa wajah Ilmi dan Ratu.
Sepanjang jalan, keheningan menyatukan raga mereka. Hingga muncul-lah inisiatif
Ratu untuk memulai percakapan antara mereka. Berbincang yang sekenanya dan
seperlunya, rasanya cukup untuk mencairkan kebekuan diantara mereka. Atau
setidaknya mencoba menghangatkan suasana yang seakan mampu membekukan tiap apa
yang disentuh oleh kisah mereka. Hal yang kecil memang, tapi sangat berarti
baik untuk Ratu maupun Ilmi. Setidaknya ini menjadi awal percakapan Ilmi untuk
mengobati rasa penasaran dan kekagumannya pada wanita yang duduk manis tepat di
belakangnya saat ini.
***
Kebersamaan mereka terus berlangsung
semenjak insiden sendal jepit yang tertukar. Tanpa disadari benih cinta yang
dititipkan Tuhan di tiap hati mereka berbunga menjadi rasa saling menjaga,
menyayangi, memahami dan setia satu sama lain. Benar kata pepatah, kalau memang
jodoh tak akan lari kemana. Walaupun tak ada kata yang terangkai pada pertemuan
pertama mereka, ternyata Tuhan sedang merencanakan pertemuan mengesankan mereka
selanjutnya.
Siang ini, Ilmi mencoba menikmati
segelas kopi hangatnya. Sambil melempar jauh pandangannya, ia berharap
kerinduannya mampu menyentuh batin kekasih yang pagi tadi bertolak ke kota
hujan tempat dimana kekasihnya akan menghabiskan waktu selama beberapa tahun ke
depan, menuntaskan tugas akademik yang kelak memuliakan mereka di masa
mendatang. Berat keputusan di awal kini tak lagi menggoyahkan rasa cinta mereka
berdua. Berbekal kepercayaan dan kesetiaan Ilmi mampu melepas Ratu dalam
petualangannya menuntut ilmu. Tiga tahun mendatang, semoga itikad baik Ilmi
mampu ia wujudkan bersama sang ratu.
Diambilnya buku catatan dari dalam
tasnya lengkap dengan bolpoin bertinta hitam. Dengan segenap cinta ia
menuliskan asa yang bergejolak dalam dadanya.
Ratuku, wanitaku..
Aku tuliskan kembali kenangan kita
di kertas ini , seperti kita yang menuliskan kisah kita dahulu. Cerita cintaku
terselamatkan oleh sendal jepit. Tidak aku sangka niatku mengenakan sendal
jepit hari itu membawaku pada cinta yang selama ini aku nantikan dengan sabar.
Walaupun sekarang aku masih harus bersabar menunggumu siap untuk mendampingiku.
Seperti sendal jepit yang tertukar
saat itu, ternyata memang ganjil jika yang disandingkan adalah bukan
pasangannya. Dipaksa bagaimana pun tetap saja tidak serasi. Tapi ketika sendal
itu dipasangkan sebagaimana mestinya, ia menjadi barang yang berharga yang bertugas
melindungi kaki dari gesekan pasir dan tanah.
Tahukah kau sayang, aku belajar
banyak dari sendal jepit. Saat mereka terpisah dari pasangannya, mereka tak
ubahnya seperti barang rongsokan. Seperti aku tanpa dirimu ratuku. Mereka juga
berjalan saling bergantian. Adakalanya sang kiri yang di depan, kemudian diberi
kesempatan untuk selanjutnya sang kanan yang berada di depan. Mereka tidak
saling mendahului. Mereka saling melengkapi. Karena jika tidak, maka sang
pemakai akan tersandung dan terjatuh.
Ratuku, wanitaku..
Disini, ditempatku berpijak
sekarang, aku merindukanmu. Merindukan senyuman cerah itu. Senyuman yang dari
awal aku yakini sebagai senyuman terhangat yang akan aku temui tiap pagi di
hari kemudian. Karena kau ratuku, masa depanku.
Aku cukupkan tulisanku untukmu. Jagalah
keharmonisan dan keserasian kita berdua. Sehingga kita mampu menjadi sendal
jepit yang setia terhadap satu sama lain. Semoga Tuhan memberkahi cinta kasih
yang ada di hati kita berdua. Amin.
Salam cinta,
Ilmi Azzam
Surat itu pun digenggam Ratu
sekencang-kencangnya. Mengibaratkan rasa kangen yang selalu memberi warna
berbeda dalam kisah hidupnya. Kisah sang Ratu dan sendal jepitnya yang
menuntunnya menuju cintanya, Ilmi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks buat komentarx..:)