Jumat, 19 Juli 2013

SENDAL JEPIT RATU

Daun kemuning mulai menyemarakkan sore yang terasa hangat. Aroma senja perlahan-lahan menusuk relung hati yang nelangsa. Ada semangkuk penuh harapan untuk apa yang disebut bahagia. Sore yang berbeda dari sebelumnya, kali ini diisi oleh jutaan rindu yang melayang bebas tanpa batas menuju dua pasang hati yang terpaut jauh oleh jarak, tidak dengan waktu. Dan malam beku telah siap menggantikan sore yang lembut. Meski berat, tetapi kaki harus tetap melangkah pulang. Pulang ke peraduan masing-masing di kota yang penuh adat dengan aneka macam budaya.
            Hentakan kaki dari sepatu kulit memainkan irama yang harmoni. Kaki itu juga yang membawa keberuntungan untuk menemukan pasangan kaki belahan jiwanya jauh sebelum hari ini datang. Sepasang kaki yang dimiliki gadis bertubuh gempal dengan senyum riang dan nama yang indah, Ratu. Cintanya pada Ratu mengajarkan Ilmi pada makna-makna baru yang belum pernah ia temui di cinta-cinta sebelumnya, yang hanya mengajarkan ia bagaimana larut dalam romantika remaja tanpa tahu senang-sendunya cinta yang mendewasakan. Seperti Ilmi, Ratu juga baru saja meneguk sejuknya cinta itu. Awalnya Ratu agak risih ketika harus mengulas cinta lebih dalam. Jangankan untuk melakukan hal tersebut, kata cinta saja dianggapnya sebagai salah satu kata terlarang untuk ia ucapkan. Sebegitu bencinya Ratu pada masa lalunya yang hampir selalu menyeretnya tiap kali muncul tiba-tiba di kekosongan hayalan, Ratu pun berdoa agar hatinya dibekukan saja tanpa harus kembali sakit oleh cinta.
            Dingin lagi-lagi mengusik Ilmi yang sibuk dengan pikirannya mengenang Ratu. Sejam yang lalu, gadis imutnya bertolak menuju kota hujan demi melengkapi gelar baru yang akan disandangnya. Giginya yang saling beradu menahan dingin tidak seberapa untuknya, ketimbang dingin hatinya yang nanti akan sibuk menghitung detik-detik dimana ia akan semakin merindukan wanitanya, ratunya. Memang masih se-umuran jagung usia pertemuan mereka, tapi cinta tidak mengenal seberapa lama kau mengenal pasanganmu, melainkan seberapa dalam kau mampu mengerti pasanganmu. Tepat enam bulan yang lalu ia kembali dipertemukan dengan sang ratu, setelah menahan rasa penasaran dan pengharapan yang luar biasa dipertemuan awal mereka. Tidak ada yang spesial tadinya, tetapi di jumpa kedua mereka entah mengapa koneksi antena mereka jauh lebih lincah dibanding kerja logika mereka yang tengah memahami apa sesungguhnya yang terjadi pada dua insan Tuhan.
            Seperti sedang menapak tilas, mengambang dan mengawang-awang ke masa dimana mata terpaut mata, hati terpaut hati, dan kaki terpaut kaki. Kedengarannya seperti ada yang aneh, tapi memang itulah yang terjadi pada mereka. Insiden sandal jepit, momen yang berbekas jelas di benak Ratu dan Ilmi. Bagaimana kekonyolan mereka menjadi awal cerita cinta sederhana. Sepasang sandal jepit merek “jepang”, nyaris butut belum buntung.
***
            Warna yang sama dan ukuran yang hanya beda satu nomor, tapi begitu terasa ketidaksamaannya saat terpajang di kaki Ratu. “Mungkin tertukar” batin Ratu mencoba berkompromi dengan rasa kesalnya. Tidak mungkin juga ia akan kembali ke rumah kakaknya dan menukarkan kembali sandal jepit yang dikenakannya. Mana tahan Ratu dengan omelan dan serangan kata-kata pedas ketua panitia acara, sedangkan ia sadar kalau jarum jam di tangannya tidak main-main mencekik waktu yang harus ia gunakan untuk sampai di ruangan big boss. Akhirnya, ia memutuskan untuk terus melaju dengan angkutan umum kota ditemani dua sandal dengan ukuran berbeda yang tengah terjepit di kakinya.
            Sesekali Ratu mencoba melirik seisi angkot, harap-harap cemas semoga tidak ada yang menyadari kalau sandal yang digunakannya bukanlah pasangan satu sama lain. Ia terus mencoba bersikap sewajarnya, seolah penampilannya adalah yang ter-sempurna hari ini. Kenapa juga ia berinisiatif menggunakan sandal jepit hari ini, padahal ia tahu harus menemui Pak Rahman, sang Ketua Panitia Acara di sebuah Kampus di kotanya. Untung saja, bapak ketua bukanlah orang yang sibuk dengan tampilan luar anggotanya. “ Yang penting loe pake baju ajha, itu sudah cukup!” kenang Ratu di awal rapatnya dengan Pak Rahman. Ratu memang sehati dengan atasannya untuk urusan penampilan. Lelaki yang cenderung santai dan berpenampilan apa adanya, tidak mengurangi kharismanya di mata bawahannya. Tetapi, jangan coba main-main masalah waktu dengannya. Tidak ada satu pun alasan yang dapat diterimanya, jika itu mengenai pemanfaatan waktu. Dan untuk yang satu itu, Ratu tidak sepaham dengan atasannya. Karena Ratu tahu persis kebiasaannya yang sering terlambat, bahkan saat masih kuliah dulu.
            Semasa kuliah, bukan tidak ada yang suka pada gadis bertubuh gempal itu. Cerdas, lincah, kreatif, wajah bulat, pipi tembem seranum ceri, senantiasa dihiasi senyuman yang rasanya tak pernah luntur, semua ada pada dirinya. Rasanya sempurna, hanya saja ia “gempal”, ukuran badan agak lebih dari ukuran tubuh seorang gadis pada umumnya. Keceriaannya menjadi satu nilai tambah di mata para lelaki. Namun kenyataannya, lelaki-lelaki itu hanya bisa mengaguminya tanpa pernah berani mengutarakan kekagumannya pada Ratu. Kebanyakan dari mereka takut dengan semua kelebihan Ratu, apalagi ia adalah anak senator terkemuka di kampusnya. Itu juga yang kadang-kadang membuatnnya kesal. Ia selalu berharap menjadi gadis biasa, bukan ratu.
            Pernah suatu ketika, dipertengahan sejuknya bulan Maret, cinta sang ratu harus kandas ditengah jalan. Padahal keseriusan yang mereka jalani meyakinkan Ratu jika lelaki itu adalah yang tepat untuknya. Baginya, yang terpenting dari seorang pria adalah saat mereka mampu berkomitmen hingga usia yang memisahkan mereka. Alih-alih mencari alasan yang bijak buat menutupi “ketidaksanggupannya” menyeimbangi Ratu yang hampir sempurna, lelaki itu memilih untuk menyudahi jalinan mereka dengan alasan ia telah menemukan sosok yang lebih sempurna dibanding Ratu. Sontak saja perut Ratu bergemuruh seperti ingin memuntahkan sesuatu. Tapi tetap saja ia tahan dan telan mentah-mentah sehingga tak perlu ada yang tahu, kalau ia baru saja putus karena ia “jelek”, pilihan kata yang tepat menurut Ratu.
***
            Dering telepon genggam di saku Ilmi tak henti-hentinya bergaung memenuhi kepenatannya. Penat akan penggemarnya yang semakin lama, semakin mengganggu wilayah pribadinya. Dianugerahi wajah yang tampan, tidak membuatnya murah untuk tebar pesona. Tinggi, berkulit terang, cool, dan berwibawa. Wanita mana yang tak jatuh hati pada sosok sepertinya. Hanya mereka yang kehilangan akal sehat yang tak kagum padanya. Jadi, bisa dibilang awalnya Ratu adalah salah satu wanita yang hilang akal sehatnya. Entah karena sakit hati luar biasa atau karena ia tak pernah sempat memperhatikan Ilmi dengan seksama.
            Tidak ada rencana yang lebih baik selain memulai hari yang indah dengan senyuman untuk memenuhi panggilan melengkapi masa depan. Hari ini Ilmi sedang ingin ber-sendal jepit ke kantornya. Hujan yang terus-terusan mengguyur kotanya kala itu membuatnya berpikir berulang kali untuk menggunakan sepatu kulit kesayangannya. Sayang untuk digunakan berbasah-basah ria, ia pun meraih sandal jepitnya dari rak sepatu di ujung kamarnya. Dengan menunggangi motor sport hasil tabungannya, ia melaju menyusuri jalan kota tanpa menghiraukan deringan telepon genggamnya. Ditemani “si putih”, begitu ia menamai tunggangan kesayangannya yang belakangan menjelma menjadi kekasihnya setelah rasa trauma yang menghinggapinya pasca ditinggal nikah oleh wanita pujaannya, hari-hari yang ia songsong terasa lebih ringan sekarang.
            Berhenti disebuah rumah yang multi fungsi juga sebagai kantor, Ilmi memarkirkan “si putih” agak merapat ke tembok yang di cat berwarna cokelat muda senada dengan kemeja batik yang digunakannya. Kemudian ia kembali teringat pada bunyi teleponnya yang sedari tadi menggelitik jahil dalam kantongnya. Sambil mengutak-atik tombol telepon genggamnya, Ilmi melepaskan sandal jepit tepat di depan pintu kantornya.
Seperti hari-hari sebelumnya, yang akan ia lakukan duduk manis depan komputer dan membuat desain bangunan pesanan beberapa kontraktor. Baru saja ia duduk rapi dan memarkirkan pantatnya di kursi kerjanya, tiba-tiba matanya terpaut pada gadis dengan senyum cerah yang melintas dihadapannya bak hantu di siang bolong. Itu gadis yang pernah ia temui ketika ia dan atasannya tengah melakukan perjalanan mengunjungi rumah orang tua atasannya di seberang pulau. Bagaimana mungkin ia akan lupa senyuman itu, senyuman yang berbicara tentang kemilaunya hari esok, senyuman yang selalu mampu berkata padanya semua masalah dapat teratasi. Saat Ilmi dihinggapi rasa penasaran luar biasa, ia kemudian mencoba mencari bahan pembicaraan yang tepat. Tapi, malu dan gugup yang hebat menerjang tubuhnya.
Gejolak batin yang dahsyat bergemuruh memainkan paduan nada yang sumbang tepat di dalam rongga dadanya. Antara mempertahankan rasa malunya namun harus kembali kehilangan jejak sang wanita, ataukah mencoba mematahkan keheningan antara ia dan wanita itu dengan menanyakan nama atau apa saja yang akan terlintas di kepalanya nanti. Jawabannya, Ilmi hanya mampu kembali menelan pahit rasa canggung yang ia rasa sehingga tak ada satu pun informasi yang ia peroleh dipertemuannya untuk kesekian kalinya. Nihil, dan ia pun kembali tertunduk tepat dihadapan layar komputernya.
***
            Semakin sore hari, semakin anggun sang mentari turun dari tahtanya. Usai melepaskan keperkasaannya menyinari hari, warna jingga memendar indah membentuk batas dunia dan langit. Kuasa dan cipta-Nya menundukkan setiap ego di hati tiap mahluk-Nya. Bak lukisan yang sempurna, tertata rapi di galeri alam jagad raya. Memancing decak kagum penikmatnya untuk tidak lupa bersyukur masih diberi nafas menghirup serat-serat kehidupan yang mereka pinjam. Langkah demi langkah terlihat lunglai saling bergantian, langkah dari kaki Ratu, masih dengan sendal jepitnya yang tadi tertukar.
            Sepanjang jalan pandangan Ratu hanya tertuju pada sepasang sendal jepit yang bukan pasangannya. Sangat ganjil dan terlihat canggung untuk dikenakan bersama. Padahal warna dan mereknya sama, hanya ukurannya yang berbeda. Tapi yang namanya tertukar, ya..tetaplah tertukar, tidak untuk digunakan bersama. Pelan-pelan nafas yang dihembuskannya mengisyaratkan beban yang mengganjal dalam hatinya. Terbayang kembali wajah mantan kekasihnya yang pergi meninggalkannya ketika ia mulai yakin dengan cinta. Tidak ada yang salah dari cinta. Cinta hanya datang sebagai anugerah. Individunya-lah yang kelak menentukan akan jadi apa cinta itu di akhir cerita. Mungkin seperti sendal jepit inilah kisah cintanya dengan sang mantan. Walaupun kelihatan sepadan, tapi tak pernah serasi karena bukan pasangan tepat satu sama lain. Sebesar apapun hati Ratu berusaha menerimanya, masih juga ada setitik amarah yang membuncah.
            Hampir sampai ditujuan, Ratu dikagetkan akan pertemuannya  dengan salah satu pegawai kakaknya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, lelaki itu juga menggunakan sendal jepit yang bukan pasangannya. Itu pasangan sendal jepit Ratu yang tertukar sebelah. Tapi, nampaknya lelaki itu tidak sadar dengan keganjilan sendal jepit yang digunakannya. Setengah berlari, Ratu menghampiri lelaki itu. Dengan nafas yang sedikit tersengal akibat harus bergegas, ditambah lagi bobot badannya yang sedikit berat, membuat Ratu cukup kewalahan. Tanpa mengurangi santun yang dimilikinya, juga masih dengan senyum cerah yang sedikit terlihat dibuat-buat menutupi kelelahannya berlari, Ratu menyampaikan perkara sendal jepit mereka yang tertukar. Lelaki itu hanya tersenyum simpul tanpa banyak bicara sambil menyerahkan sebelah sendal  jepit Ratu.
            Jantung Ilmi berdetak dengan irama yang mulai terasa cepat, serasa berburu dengan angin yang berhembus disekitarnya. Ini kejadian langka dalam hidupnya. Berulang kali Ilmi merasakan percikan cinta, namun kali ini rasanya agak berbeda. Semua menjadi sangat bersensasi, hingga tanpa sadar keringat mengucur deras membasahi kemeja batik yang dikenakannya. Gadis di depannya benar-benar luar biasa. Karena hanya dengan senyuman sederhana yang dimilikinya mampu membuat seorang Ilmi tak mampu berucap satu kata pun. Ilmi terus saja mencuri pandang dari setiap kesempatan dimana gadis itu tidak menyadari kekaguman dirinya pada sang gadis. Dengan instruksi sederhana, Ilmi serasa terhipnotis dengan kata apa saja yang meluncur keluar dari mulut wanitanya. Bodohnya, Ilmi hanya tersenyum gugup sambil menukar sendal yang ternyata bukan pasangan sendalnya. Harusnya, ia sadar jika yang dikenakan kakinya bukanlah pasangan satu sama lain. Tetapi tidak tahu mengapa, baru saat ini dia sadar kekeliruannya menggunakan sendal jepit.
            Usai saling menukarkan sendal jepit yang tertukar, Ilmi menawarkan diri kepada Ratu untuk sekenanya dapat mengantarkan Ratu kembali ke rumah kakaknya. Kebetulan, Ilmi juga masih harus kembali ke tempat kerjanya itu untuk mengambil barangnya yang tadi tertinggal di meja kerjanya. Ada rasa canggung diantara keduanya, namun mereka coba sisihkan dahulu mengingat hari akan segera berganti, takut mentari tak lagi menari ketika mereka sampai di rumah kakaknya Ratu yang juga menjadi tempat kerja Ilmi.
            Ditemani deru “si putih” yang melaju pelan, mengibaskan udara yang sayup-sayup menerpa wajah Ilmi dan Ratu. Sepanjang jalan, keheningan menyatukan raga mereka. Hingga muncul-lah inisiatif Ratu untuk memulai percakapan antara mereka. Berbincang yang sekenanya dan seperlunya, rasanya cukup untuk mencairkan kebekuan diantara mereka. Atau setidaknya mencoba menghangatkan suasana yang seakan mampu membekukan tiap apa yang disentuh oleh kisah mereka. Hal yang kecil memang, tapi sangat berarti baik untuk Ratu maupun Ilmi. Setidaknya ini menjadi awal percakapan Ilmi untuk mengobati rasa penasaran dan kekagumannya pada wanita yang duduk manis tepat di belakangnya saat ini.
***
            Kebersamaan mereka terus berlangsung semenjak insiden sendal jepit yang tertukar. Tanpa disadari benih cinta yang dititipkan Tuhan di tiap hati mereka berbunga menjadi rasa saling menjaga, menyayangi, memahami dan setia satu sama lain. Benar kata pepatah, kalau memang jodoh tak akan lari kemana. Walaupun tak ada kata yang terangkai pada pertemuan pertama mereka, ternyata Tuhan sedang merencanakan pertemuan mengesankan mereka selanjutnya.
            Siang ini, Ilmi mencoba menikmati segelas kopi hangatnya. Sambil melempar jauh pandangannya, ia berharap kerinduannya mampu menyentuh batin kekasih yang pagi tadi bertolak ke kota hujan tempat dimana kekasihnya akan menghabiskan waktu selama beberapa tahun ke depan, menuntaskan tugas akademik yang kelak memuliakan mereka di masa mendatang. Berat keputusan di awal kini tak lagi menggoyahkan rasa cinta mereka berdua. Berbekal kepercayaan dan kesetiaan Ilmi mampu melepas Ratu dalam petualangannya menuntut ilmu. Tiga tahun mendatang, semoga itikad baik Ilmi mampu ia wujudkan bersama sang ratu.
            Diambilnya buku catatan dari dalam tasnya lengkap dengan bolpoin bertinta hitam. Dengan segenap cinta ia menuliskan asa yang bergejolak dalam dadanya.

Ratuku, wanitaku..
Aku tuliskan kembali kenangan kita di kertas ini , seperti kita yang menuliskan kisah kita dahulu. Cerita cintaku terselamatkan oleh sendal jepit. Tidak aku sangka niatku mengenakan sendal jepit hari itu membawaku pada cinta yang selama ini aku nantikan dengan sabar. Walaupun sekarang aku masih harus bersabar menunggumu siap untuk mendampingiku.
Seperti sendal jepit yang tertukar saat itu, ternyata memang ganjil jika yang disandingkan adalah bukan pasangannya. Dipaksa bagaimana pun tetap saja tidak serasi. Tapi ketika sendal itu dipasangkan sebagaimana mestinya, ia menjadi barang yang berharga yang bertugas melindungi kaki dari gesekan pasir dan tanah.
Tahukah kau sayang, aku belajar banyak dari sendal jepit. Saat mereka terpisah dari pasangannya, mereka tak ubahnya seperti barang rongsokan. Seperti aku tanpa dirimu ratuku. Mereka juga berjalan saling bergantian. Adakalanya sang kiri yang di depan, kemudian diberi kesempatan untuk selanjutnya sang kanan yang berada di depan. Mereka tidak saling mendahului. Mereka saling melengkapi. Karena jika tidak, maka sang pemakai akan tersandung dan terjatuh.
Ratuku, wanitaku..
Disini, ditempatku berpijak sekarang, aku merindukanmu. Merindukan senyuman cerah itu. Senyuman yang dari awal aku yakini sebagai senyuman terhangat yang akan aku temui tiap pagi di hari kemudian. Karena kau ratuku, masa depanku.
Aku cukupkan tulisanku untukmu. Jagalah keharmonisan dan keserasian kita berdua. Sehingga kita mampu menjadi sendal jepit yang setia terhadap satu sama lain. Semoga Tuhan memberkahi cinta kasih yang ada di hati kita berdua. Amin.
Salam cinta,
Ilmi Azzam

            
Surat itu pun digenggam Ratu sekencang-kencangnya. Mengibaratkan rasa kangen yang selalu memberi warna berbeda dalam kisah hidupnya. Kisah sang Ratu dan sendal jepitnya yang menuntunnya menuju cintanya, Ilmi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks buat komentarx..:)