Aroma
basah mulai terbaui kala hujan mengguyur kota daeng menyisakan gamang yang
belum sempat menemui ujungnya. Akankah semua akan beroleh jawaban, hanya kekuatan
doa yang dimilikinya hingga mampu berdiri pada keyakinan-Nya sampai saat ini.
Bulan ini November, namun hujan memulai aksinya sejak Oktober kemarin. Persis kala galau mulai menerpa batin
wanita itu. Ia menemui usianya yang menginjak kedewasaan beberapa bulan lalu,
gelar baru pada namanya juga telah tersisip rapi mencerminkan sebuah perjuangan
akan pendidikan yang layak, sarjana. Ia memang sangat peduli dengan pendidikannya,
baginya bak strata yang akan menunjang karir dan penghasilannya kelak. Ia punya
banyak mimpi, namun kerap mengenyampingkan mimpinya tentang cinta. Bukan tidak ingin,
namun lebih kepada takut untuk bermimpi. Terlalu sakit manakala mendapati kenyataan
gagal beberapa kali pada mimpi yang satu itu. Menyibukkan diri adalah salah satu
caranya menomorsekian-kan mimpinya akan cinta.
Orangtua adalah perisai terkokoh
yang dimilikinya. Kekuatan senantiasa berasal dari kedua orang berharganya,
tentunya selain kekuatan dari Sang Penciptanya. Tidak akan ada kebahagiaan lain
selain melihat seuntai senyuman dari mereka. Itulah alasan kegamangan sesungguhnya
yang tengah mewarnai otaknya. Di usianya yang menginjak kedewasaan, kedua orangtuanya seringkali membahas bagaimana
rencana sang wanita untuk masa depannya. Seperti harapan kebanyakan orangtua yang
menginginkan anak perempuannya bersegera menemukan jodoh. Kegagalan demi
kegagalan kadang membuatnya lupa bagaimana manisnya jatuh cinta. Untuk itu, dia
masih saja terus mencari alasan agar orangtuanya lupa untuk menanyakan hal
sensitif seperti itu, walaupun semua itu hanya akan berfungsi beberapa saat.
Selebihnya, dia akan kembali memutar otak mencari alasan untuk menghindar dari
pertanyaan itu.
Menjadi sosok wanita bukan hal
mudah. Sering tersakiti, harus kuat, sabar, mengerti, dan tetap feminim. Belum
lagi beberapa tugas yang harus ia syukuri, mengandung, melahirkan, merawat dan
yang paling menakutkan adalah menunggu untuk dilamar. Masih untung sang kaum
yang bernama lelaki, tinggal memilih siapa yang akan menjadi calonnya. Berbeda
dengan wanita, menunggu untuk menentukan apakah ingin dipilih atau tidak ingin
dipilih. Tapi, terlepas dari gender yang
dianugerahkan Tuhan padanya, ia bersyukur pernah lahir dengan seluruh takdir
yang hidup bersamanya.
***
Ilalang menari meliukkan irama
angin, selaras dengan hamburan debu yang memutar tiap bulir di sela bunganya
yang berbulu. Di padang, rerumputan bercanda sekedarnya dengan sang waktu.
Bangau putih sibuk menyibakkan air danau pada helaian bulu halusnya. Kakinya
yang panjang menyiratkan jenjangnya nasib dan petulangan hidupnya. Langsing,
anggun, indah nun semampai. Unggas cantik dengan seluruh pesonanya. Tak salah
jika menjadi bahan buruan para penembak liar. Tidak hanya karena mereka penuh
pesona, dagingnya yang empuk acap kali menjadi alasan perburuan. Tidak pernah
jemu sepasang mata mengamati fenomena alam yang berkesan. Baginya, menjadi
bagian dari pemandangan indah seakan menginspirasinya untuk tetap bersyukur.
Bersyukur untuk setiap kejadian, baik buruk ataupun indah, untung ataupun
buntung, semua itu adalah hadiah yang dalam bahasa asingnya present (bisa juga berarti sekarang).
Helaan nafas panjang tanda jenuhnya
hari ini, lelah tak hanya mendera fisik perempuan itu, psikis juga ikut
terpengaruh. Mengawang-awang pikirannya seusai percakapan dengan kedua
orangtuanya. Tidak sekali pun terbetik di benaknya akan dibuat “harus” suka
pada sosok pria itu. Untuknya, sang lelaki adalah teman yang baik dan
menyenangkan. Tapi, tidak untuk disukai atau bahkan disayangi seperti seorang
lelaki pada hakikatnya. Apalagi sosoknya yang terpaut setahun lebih muda dari
dirinya. Ia pria yang bersahaja, bertanggung jawab, baik, ramah, rendah hati,
dan cerdas. Tidak ada alasan untuk wanita manapun agar tak jatuh cinta padanya.
Lantas apa masalahnya, mengapa sang wanita tampak begitu gamang saat dihadapkan
keputusan memilih sang lelaki itu demi kebahagiaan orangtuanya. Bukan, bukan
tentang personality dari sang lelaki,
tetapi ini semata tentang rasa, apa yang disebut sebagai feeling. Menakutkan memang, dituntut untuk “bisa jatuh cinta”
kepada sosok yang tak pernah masuk dalam mimipi sedetik pun.
Semerbak bau tanah yang basah
menyeruak menusuk hidung yang menghirupnya. Segar nun sejuk, kesan yang
diterima sang otak manakala membayangkan bulir hujan yang jatuh ke tanah.
Memikirkan kelanjutan kisah perjodohan ini hanya menyesakkan kepala dengan
memori-memori tak mengenakkan. Bagaimana tidak, semuanya akan menjadi lebih
mudah untuk diterima andai saja bukan dia, sang lelaki, yang diinginkan oleh
kedua orangtuanya. Lagian, sang lelaki pun belum tahu dengan kejadian ini. Sang
wanita hanya takut kalau-kalau sang lelaki memiliki wanita idaman lain, teman
dekat, atau kekasih. Baginya, menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan adalah
kutukan ataupun takdir buruk yang menimpa seorang wanita atas apa yang
diperbuatnya di masa lalu. Seketika rasa pesimis menghinggapi batinnya yang
mulai merapuh. Sang lelaki adalah sosok sempurna. Dan dia hanya sosok wanita
biasa. Sebuah perbandingan yang tak berimbang. Rasa-rasanya hanya doa yang bisa
menjawab semua kebingungan ini.
Ia tak pernah berharap pada apa yang
disebut keajaiban, namun tidak salah juga jika percaya pada sebuah keajaiban.
Yah, itulah yang terlintas dalam kepalanya. Sebuah pemikiran sederhana dan
tidak ilmiah. Keajaiban, sebuah kekuatan yang mengalahkan berbagai fakta ilmiah
yang sistematis. Ia datang dari setiap relung hati mereka yang percaya akan
keberadaannya. Doa adalah satu dari bentuk keajaiban. Sesungguhnya, kekuatan
maha dahsyat yang dinamai doa dapat dijelaskan secara terperinci, terurut, dan
runtut. Tetapi kebanyakan dari mahluk berakal, manusia, menganggapnya sebagai
kekuatan dari sebuah keajaiban, buah kesungguhan dari pengulangan permintaan
pada Sang Khalik. Tidak banyak yang ia inginkan dari sebuah keajaiban, yang ia
inginkan adalah dimudahkan dalam niatnya membahagiakan orangtua, yang berarti
semoga sang lelaki segera memahami maksud orangtua sang wanita dan mewujudkan
dalam sebuah tindakan nyata.
***
Malam itu bersamaan dengan waktu
yang terus saling berburu dengan dirinya, keringat mengucur deras membasahi
tiap serat kain kemejanya. Dengan napas yang tersengal-sengal, ia mencoba
menaiki tangga gedung sebuah pusat pelatihan bahasa. Matanya dengan nanar
menggerayangi tiap sisi pintu ruangan demi mencari kelas tempatnya akan menempa
skill bahasa. Dan puas menyeruak dari
dadanya setelah berlelah-lelah, dia pun menemukan apa yang dicarinya. Perlahan
pintu dibuka, seluruh pasang mata menatapi dirinya dengan nada bertanya. Dia
memang anggota baru di kelas itu, dan anggota terakhir yang mendaftarkan diri.
Walhasil, ia pun terlambat beberapa kali pertemuan dibanding teman-temannya
yang lain. Tidak apa, untuknya yang penting ia masih mampu mengejar
keterlambatannya. Sesungguhnya, ia tidak ada niat mengikuti jenjang kelas itu.
Awalnya, ia berpikir untuk mengikuti jenjang kelas yang satu level di bawah
jenjang kelas yang dipilihnya sekarang. Tapi, atas dasar saran kedua
saudarinya, ia pun kemudian memilih jenjang kelas sesuai saran mereka. Tentu
saja dengan berbagai pertimbangan yang telah ia pikirkan matang-matang
sebelumnya.
Saat pintu berdecit terbuka, semua
rasa penasaran tercium hampir disetiap sudut ruangan. Mungkin hampir semua
anggota kelas memiliki pertanyaan akan keberadaan plus keterlambatannya. Tetapi, ada satu pasang mata yang seolah
tidak mempertanyakan kehadirannya, malahan menyambutnya dengan senyuman tulus
dan lebar. Sosok ramah dengan untaian rambut ikal dikepalanya, mencerminkan ruwet-nya pola pikir dirinya. Ia-lah
sosok sang lelaki. Firasat akan apa pun tidak muncul pada saat itu, padahal
mungkin saja itu adalah serangkaian rencana Tuhan mempertemukannya dengan sang
lelaki. Tidak ada bayangan sebelumnya, jika akan ada rencana mengejutkan yang
digariskan untuk dirinya. Bahkan, rasanya ia ingin segera lari dari kenyataan
jika sekelas dengan lelaki itu. Alasannya, keberadaan lelaki itu membuat
suasana kelas menjadi seolah-olah ia yang terbodoh. Apalagi lelaki itu dan
segelintir anggota kelasnya terbilang kaum cerdas. Jadilah sang wanita hidup
pada kepesimisan akan kemampuannya. Boro-boro mau belajar, yang ada kepercayaan
dirinya semakin merosot. Terlebih lagi, setelah kelas berjalan beberapa
pertemuan dan kebodohannya semakin nampak pada beberapa item tes.
Kekakuan berangsur-angsur mencair
manakala sang lelaki menawarkan untuk mengantarnya pulang. Ternyata sosok cuek
yang terpatri dalam kepala sang wanita tentang sosok lelaki itu, jauh berbeda
dengan kenyataan yang ada. Berbagai percakapan mewarnai perjalanan mereka
dengan megendarai kendaraan beroda dua. Angin malam bertiup di antara jarak
yang memisahkan duduk mereka. Bintang-bintang yang bersembulan dari balik
cerahnya langit tetap malu akan silaunya lampu-lampu kota. Mereka sibuk
menyelimuti diri mereka dengan awan lembut malam itu. Bising kendaraan, klakson
yang saling berkejaran membuat irama tersendiri, nada kepadatan, bahkan
memekikan telinga pengguna jalan apabila rasa tak sabaran menghinggapi para
pengemudi. Perjalanan malam demi malam menjadi rutinitas seru antara mereka.
Kadang kala, keheningan turut mewarnai perjalanan malam mereka.
Sesungguhnya tidaklah sulit
menyatukan mereka, mengingat mereka adalah masih memiliki hubungan kekerabatan.
Walaupun sudah agak jauh, tapi mereka masih meyakini tetap satu kesatuan yang
disebut keluarga. Justru itulah masalah yang membuat sang wanita semakin
kebingungan. Ia takut, rencana orangtuanya hanya akan merusak hubungan
kekerabatan antara mereka. Bagaimana seandainya jika sang lelaki ngotot tidak
ingin dijodohkan, dan memutuskan untuk menghindari sang wanita. Atau bahkan
yang terparah mungkin saja sang lelaki memutuskan hubungan pertemanan dengan
sang wanita. Karena semua ini tentang rasa, perasaan, hal terpeka dan yang
paling rentan untuk dibahas. Bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Percuma saja
jika sang lelaki menyetujui rencana ini, tetapi tidak dilandasi rasa cinta.
Sekali lagi, semua akan lebih mudah seandainya sang lelaki tahu akan hal ini.
Sehingga keduanya mampu memutuskan langkah apa yang akan mereka tempuh untuk
kebaikan keduanya.
***
Keresahan yang terakumulasi semakin
menjadi-jadi. Ingin enyah sejenak rasanya. Mencoba diam, dan merenungkan apa
yang sebaiknya ia lakukan. Jujur, kekuatan utamanya saat ini hanyalah doa.
Berada pada posisi sang wanita, berarti bukan sang penentu. Menjadi yang
pertama tahu keinginan orangtuanya, berarti akan ada tanggung jawab setelahnya
untuk mewujudkan. Menjadi sang penanti, berarti akan ada keperihan kala
ketidakjelasan mewarnai tiap detik pada masa penantian. Satu harapan yang ia tahu, semoga semuanya
segera berakhir. Andaikata ada kata yang mengikat dirinya, tak jadi masalah
untuk menunggu. Tetapi semua serba buram dan abu-abu. Hambar, tapi tak ada
alasan untuk mengeluhkannya. Sebuah tugas mulia, menyenangkan orangtua, maka
masih adakah alasan untuk berkelak dari tujuan mulia itu? Jawabnya satu, tidak
ada!
Hal yang paling mengkhawatirkan
adalah, adanya sebuah jarak dan intensitas pertemuan yang minim. Mungkinkah
akan ada rasa jika tak ada pembiasaan? Itu kenyataan terpahit, tidak akan ada
usaha yang nyata. Dan kembali lagi, hanya bertumpu pada kekuatan doa. Tidak ada
salahnya untuk terus mengulang permintaan. Bukankah Ia senang saat hamba-Nya
terus meminta, yang berarti intens kedekatan Ia dan hamba-Nya semakin besar.
Tiap waktu sang wanita gaungkan curahan-curahan hatinya pada Sang Pemilik Hati.
Tentu saja, Ia Maha Mendengar, Maha Bijaksana, tahu mana yang baik dan buruk
untuk sang wanita. Ternyata semua itu memberikan secercah harapan untuk sang
wanita. Menegarkannya dalam sebuah penantian. Menegakkannya ketika mulai
lengah, mengokohkannya saat kakinya berat untuk menopang, dan menyadarkannya
manakala ia mulai lupa untuk niatnya membahagiakan orangtua. Sederhana, namun
rumit untuk direalisasikan. Semoga suatu saat kelak semua bukan hal yang
sia-sia. Wanita mana yang tak ingin bahagia dengan pilihannya. Dia menyebutnya
sebagai “pilihannya”, karena untuknya pilihan orangtuanya adalah pilihannya.
Orangtua mana yang tega memilihkan anaknya yang terburuk. Kecuali jika orangtua
tersebut memiliki tujuan khusus yang melenceng dari hakikatnya sebagai sosok
yang dihormati dan yang dituakan.
***
Disuatu waktu pertiga malam, lirih,
samar-samar terdengar rintihan doa di bawah temaram lampu kuning ala pedesaan,
sepertinya lampu itu lampu berkekuatan lima watt.
Dibalut mukenah putih dengan sarung sutera khas Makassar berwarna lembut,
mengalirlah harapan-harapan yang terlisankan pada derasnya cucuran darah disela
arteri dan vena pemiliknya. Semraut ucapannya akibat isak tangis tak
terelakkan, belum pernah rasanya ia meminta se-khusyuk itu. Hampir tiap malam
ia meminta pada waktu baik, waktu pengabulan doa mencapai klimaksnya, tepat
dipertiga malam. Namun, kali ini semua berbeda. Ia meminta dari hati,
benar-benar memasrahkan untuk tiap putusan yang lahir untuknya. Bisa dipahami
apa yang ia minta sederhana, dan semata-mata karena merasa tak sanggup lagi
berdiri pada keyakinan yang dipeluknya. Dititik itulah sesungguhnya suatu kaum
akan dikabulkan inginnya, baik dengan bentuk yang sesuai dengan apa yang dimintanya,
ataupun dengan sedikit gubahan agar terlihat lebih berkesan. Dilafalkannya:
Ya ALLAH Ya Rabb, Ya Rahman, Ya Rahim, Malik, Kudus.
Jika memang ia adalah jodohku, tanamkan benih cinta
diantara kami berdua.
Pertemukan kami pada waktu yang indah dan dengan
cara-Mu yang paling indah.
Ya ALLAH Ya Rabb, Ya Rahman, Ya Rahim, Malik, Kudus.
Jika memang ia yang Engkau inginkan untuk menjadi
imamku,
Semoga ia bisa menjadi imam dunia dan akhirat
untukku.
Pantaskanlah aku untuk dirinya.
Semoga aku bisa menjadi istri yang sholeha dan
menjadi berkah untuknya dunia dan akhirat.
Semoga kami bisa diterima di keluarga satu sama
lain.
Karena hakikatnya sebuah walimah adalah menyatukan
dua keluarga dan dua kepala yang berbeda.
Ya ALLAH Ya Rabb, Ya Rahman, Ya Rahim, Malik, Kudus.
Jika memang ia yang Kau inginkan untuk jadi
pendampingku,
maka dekatkanlah kami dan buatlah agar kami bisa
melihat dan menyadari keberadaan satu sama lain.
Amin.
Akhirnya, tiba pada suatu waktu
untuk memutuskan apa yang “terbaik” untuk dipilih. Aku, sang wanita, memilih
untuk menantinya hingga waktu “indah” itu tiba. Terangkum di dalamnya
resiko-resiko yang akan aku hadapi nantinya. Itulah yang disebut tanggung
jawab, sebuah pekerjaan yang “diwajibkan” setelah sebuah keputusan lahir. Semua
semata-mata karena adanya kepercayaan akan takdir berbahagia yang direncanakan
Tuhan melalui pemikiran orangtuaku. Insya Allah, keajaiban akan datang pada
mereka yang percaya. Pengabulan doa akan lahir pada mereka yang tak jemu
meminta. Dan kebahagiaan akan hadir pada mereka yang telah bersabar. Diawali
dengan niat, diusahakan dengan ikhtiar, dan dinantikan dengan keikhlasan dan
ketulusan. Tidak ada alasan untuk beroleh kemudaratan jika semuanya ada dijalan
yang diridhoi-Nya. Amin.
Basmalah…dan
sang wanita memilih.
03
November 2012
Cora,
Mawang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks buat komentarx..:)