Minggu, 04 November 2012

HIKAYAT SANG WANITA


Aroma basah mulai terbaui kala hujan mengguyur kota daeng menyisakan gamang yang belum sempat menemui ujungnya. Akankah semua akan beroleh jawaban, hanya kekuatan doa yang dimilikinya hingga mampu berdiri pada keyakinan-Nya sampai saat ini. Bulan ini November, namun hujan memulai aksinya sejak Oktober  kemarin. Persis kala galau mulai menerpa batin wanita itu. Ia menemui usianya yang menginjak kedewasaan beberapa bulan lalu, gelar baru pada namanya juga telah tersisip rapi mencerminkan sebuah perjuangan akan pendidikan yang layak, sarjana. Ia memang sangat peduli dengan pendidikannya, baginya bak strata yang akan menunjang karir dan penghasilannya kelak. Ia punya banyak mimpi, namun kerap mengenyampingkan mimpinya tentang cinta. Bukan tidak ingin, namun lebih kepada takut untuk bermimpi. Terlalu sakit manakala mendapati kenyataan gagal beberapa kali pada mimpi yang satu itu. Menyibukkan diri adalah salah satu caranya menomorsekian-kan mimpinya akan cinta.
            Orangtua adalah perisai terkokoh yang dimilikinya. Kekuatan senantiasa berasal dari kedua orang berharganya, tentunya selain kekuatan dari Sang Penciptanya. Tidak akan ada kebahagiaan lain selain melihat seuntai senyuman dari mereka. Itulah alasan kegamangan sesungguhnya yang tengah mewarnai otaknya. Di usianya yang menginjak kedewasaan,  kedua orangtuanya seringkali membahas bagaimana rencana sang wanita untuk masa depannya.  Seperti harapan kebanyakan orangtua yang menginginkan anak perempuannya bersegera menemukan jodoh. Kegagalan demi kegagalan kadang membuatnya lupa bagaimana manisnya jatuh cinta. Untuk itu, dia masih saja terus mencari alasan agar orangtuanya lupa untuk menanyakan hal sensitif seperti itu, walaupun semua itu hanya akan berfungsi beberapa saat. Selebihnya, dia akan kembali memutar otak mencari alasan untuk menghindar dari pertanyaan itu.
            Menjadi sosok wanita bukan hal mudah. Sering tersakiti, harus kuat, sabar, mengerti, dan tetap feminim. Belum lagi beberapa tugas yang harus ia syukuri, mengandung, melahirkan, merawat dan yang paling menakutkan adalah menunggu untuk dilamar. Masih untung sang kaum yang bernama lelaki, tinggal memilih siapa yang akan menjadi calonnya. Berbeda dengan wanita, menunggu untuk menentukan apakah ingin dipilih atau tidak ingin dipilih. Tapi, terlepas dari gender yang dianugerahkan Tuhan padanya, ia bersyukur pernah lahir dengan seluruh takdir yang hidup bersamanya.
***
            Ilalang menari meliukkan irama angin, selaras dengan hamburan debu yang memutar tiap bulir di sela bunganya yang berbulu. Di padang, rerumputan bercanda sekedarnya dengan sang waktu. Bangau putih sibuk menyibakkan air danau pada helaian bulu halusnya. Kakinya yang panjang menyiratkan jenjangnya nasib dan petulangan hidupnya. Langsing, anggun, indah nun semampai. Unggas cantik dengan seluruh pesonanya. Tak salah jika menjadi bahan buruan para penembak liar. Tidak hanya karena mereka penuh pesona, dagingnya yang empuk acap kali menjadi alasan perburuan. Tidak pernah jemu sepasang mata mengamati fenomena alam yang berkesan. Baginya, menjadi bagian dari pemandangan indah seakan menginspirasinya untuk tetap bersyukur. Bersyukur untuk setiap kejadian, baik buruk ataupun indah, untung ataupun buntung, semua itu adalah hadiah yang dalam bahasa asingnya present (bisa juga berarti sekarang).
            Helaan nafas panjang tanda jenuhnya hari ini, lelah tak hanya mendera fisik perempuan itu, psikis juga ikut terpengaruh. Mengawang-awang pikirannya seusai percakapan dengan kedua orangtuanya. Tidak sekali pun terbetik di benaknya akan dibuat “harus” suka pada sosok pria itu. Untuknya, sang lelaki adalah teman yang baik dan menyenangkan. Tapi, tidak untuk disukai atau bahkan disayangi seperti seorang lelaki pada hakikatnya. Apalagi sosoknya yang terpaut setahun lebih muda dari dirinya. Ia pria yang bersahaja, bertanggung jawab, baik, ramah, rendah hati, dan cerdas. Tidak ada alasan untuk wanita manapun agar tak jatuh cinta padanya. Lantas apa masalahnya, mengapa sang wanita tampak begitu gamang saat dihadapkan keputusan memilih sang lelaki itu demi kebahagiaan orangtuanya. Bukan, bukan tentang personality dari sang lelaki, tetapi ini semata tentang rasa, apa yang disebut sebagai feeling. Menakutkan memang, dituntut untuk “bisa jatuh cinta” kepada sosok yang tak pernah masuk dalam mimipi sedetik pun.
            Semerbak bau tanah yang basah menyeruak menusuk hidung yang menghirupnya. Segar nun sejuk, kesan yang diterima sang otak manakala membayangkan bulir hujan yang jatuh ke tanah. Memikirkan kelanjutan kisah perjodohan ini hanya menyesakkan kepala dengan memori-memori tak mengenakkan. Bagaimana tidak, semuanya akan menjadi lebih mudah untuk diterima andai saja bukan dia, sang lelaki, yang diinginkan oleh kedua orangtuanya. Lagian, sang lelaki pun belum tahu dengan kejadian ini. Sang wanita hanya takut kalau-kalau sang lelaki memiliki wanita idaman lain, teman dekat, atau kekasih. Baginya, menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan adalah kutukan ataupun takdir buruk yang menimpa seorang wanita atas apa yang diperbuatnya di masa lalu. Seketika rasa pesimis menghinggapi batinnya yang mulai merapuh. Sang lelaki adalah sosok sempurna. Dan dia hanya sosok wanita biasa. Sebuah perbandingan yang tak berimbang. Rasa-rasanya hanya doa yang bisa menjawab semua kebingungan ini.
            Ia tak pernah berharap pada apa yang disebut keajaiban, namun tidak salah juga jika percaya pada sebuah keajaiban. Yah, itulah yang terlintas dalam kepalanya. Sebuah pemikiran sederhana dan tidak ilmiah. Keajaiban, sebuah kekuatan yang mengalahkan berbagai fakta ilmiah yang sistematis. Ia datang dari setiap relung hati mereka yang percaya akan keberadaannya. Doa adalah satu dari bentuk keajaiban. Sesungguhnya, kekuatan maha dahsyat yang dinamai doa dapat dijelaskan secara terperinci, terurut, dan runtut. Tetapi kebanyakan dari mahluk berakal, manusia, menganggapnya sebagai kekuatan dari sebuah keajaiban, buah kesungguhan dari pengulangan permintaan pada Sang Khalik. Tidak banyak yang ia inginkan dari sebuah keajaiban, yang ia inginkan adalah dimudahkan dalam niatnya membahagiakan orangtua, yang berarti semoga sang lelaki segera memahami maksud orangtua sang wanita dan mewujudkan dalam sebuah tindakan nyata.
***
            Malam itu bersamaan dengan waktu yang terus saling berburu dengan dirinya, keringat mengucur deras membasahi tiap serat kain kemejanya. Dengan napas yang tersengal-sengal, ia mencoba menaiki tangga gedung sebuah pusat pelatihan bahasa. Matanya dengan nanar menggerayangi tiap sisi pintu ruangan demi mencari kelas tempatnya akan menempa skill bahasa. Dan puas menyeruak dari dadanya setelah berlelah-lelah, dia pun menemukan apa yang dicarinya. Perlahan pintu dibuka, seluruh pasang mata menatapi dirinya dengan nada bertanya. Dia memang anggota baru di kelas itu, dan anggota terakhir yang mendaftarkan diri. Walhasil, ia pun terlambat beberapa kali pertemuan dibanding teman-temannya yang lain. Tidak apa, untuknya yang penting ia masih mampu mengejar keterlambatannya. Sesungguhnya, ia tidak ada niat mengikuti jenjang kelas itu. Awalnya, ia berpikir untuk mengikuti jenjang kelas yang satu level di bawah jenjang kelas yang dipilihnya sekarang. Tapi, atas dasar saran kedua saudarinya, ia pun kemudian memilih jenjang kelas sesuai saran mereka. Tentu saja dengan berbagai pertimbangan yang telah ia pikirkan matang-matang sebelumnya.
            Saat pintu berdecit terbuka, semua rasa penasaran tercium hampir disetiap sudut ruangan. Mungkin hampir semua anggota kelas memiliki pertanyaan akan keberadaan plus keterlambatannya. Tetapi, ada satu pasang mata yang seolah tidak mempertanyakan kehadirannya, malahan menyambutnya dengan senyuman tulus dan lebar. Sosok ramah dengan untaian rambut ikal dikepalanya, mencerminkan ruwet-nya pola pikir dirinya. Ia-lah sosok sang lelaki. Firasat akan apa pun tidak muncul pada saat itu, padahal mungkin saja itu adalah serangkaian rencana Tuhan mempertemukannya dengan sang lelaki. Tidak ada bayangan sebelumnya, jika akan ada rencana mengejutkan yang digariskan untuk dirinya. Bahkan, rasanya ia ingin segera lari dari kenyataan jika sekelas dengan lelaki itu. Alasannya, keberadaan lelaki itu membuat suasana kelas menjadi seolah-olah ia yang terbodoh. Apalagi lelaki itu dan segelintir anggota kelasnya terbilang kaum cerdas. Jadilah sang wanita hidup pada kepesimisan akan kemampuannya. Boro-boro mau belajar, yang ada kepercayaan dirinya semakin merosot. Terlebih lagi, setelah kelas berjalan beberapa pertemuan dan kebodohannya semakin nampak pada beberapa item tes.
            Kekakuan berangsur-angsur mencair manakala sang lelaki menawarkan untuk mengantarnya pulang. Ternyata sosok cuek yang terpatri dalam kepala sang wanita tentang sosok lelaki itu, jauh berbeda dengan kenyataan yang ada. Berbagai percakapan mewarnai perjalanan mereka dengan megendarai kendaraan beroda dua. Angin malam bertiup di antara jarak yang memisahkan duduk mereka. Bintang-bintang yang bersembulan dari balik cerahnya langit tetap malu akan silaunya lampu-lampu kota. Mereka sibuk menyelimuti diri mereka dengan awan lembut malam itu. Bising kendaraan, klakson yang saling berkejaran membuat irama tersendiri, nada kepadatan, bahkan memekikan telinga pengguna jalan apabila rasa tak sabaran menghinggapi para pengemudi. Perjalanan malam demi malam menjadi rutinitas seru antara mereka. Kadang kala, keheningan turut mewarnai perjalanan malam mereka.
            Sesungguhnya tidaklah sulit menyatukan mereka, mengingat mereka adalah masih memiliki hubungan kekerabatan. Walaupun sudah agak jauh, tapi mereka masih meyakini tetap satu kesatuan yang disebut keluarga. Justru itulah masalah yang membuat sang wanita semakin kebingungan. Ia takut, rencana orangtuanya hanya akan merusak hubungan kekerabatan antara mereka. Bagaimana seandainya jika sang lelaki ngotot tidak ingin dijodohkan, dan memutuskan untuk menghindari sang wanita. Atau bahkan yang terparah mungkin saja sang lelaki memutuskan hubungan pertemanan dengan sang wanita. Karena semua ini tentang rasa, perasaan, hal terpeka dan yang paling rentan untuk dibahas. Bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Percuma saja jika sang lelaki menyetujui rencana ini, tetapi tidak dilandasi rasa cinta. Sekali lagi, semua akan lebih mudah seandainya sang lelaki tahu akan hal ini. Sehingga keduanya mampu memutuskan langkah apa yang akan mereka tempuh untuk kebaikan keduanya.
***
            Keresahan yang terakumulasi semakin menjadi-jadi. Ingin enyah sejenak rasanya. Mencoba diam, dan merenungkan apa yang sebaiknya ia lakukan. Jujur, kekuatan utamanya saat ini hanyalah doa. Berada pada posisi sang wanita, berarti bukan sang penentu. Menjadi yang pertama tahu keinginan orangtuanya, berarti akan ada tanggung jawab setelahnya untuk mewujudkan. Menjadi sang penanti, berarti akan ada keperihan kala ketidakjelasan mewarnai tiap detik pada masa penantian.  Satu harapan yang ia tahu, semoga semuanya segera berakhir. Andaikata ada kata yang mengikat dirinya, tak jadi masalah untuk menunggu. Tetapi semua serba buram dan abu-abu. Hambar, tapi tak ada alasan untuk mengeluhkannya. Sebuah tugas mulia, menyenangkan orangtua, maka masih adakah alasan untuk berkelak dari tujuan mulia itu? Jawabnya satu, tidak ada!
            Hal yang paling mengkhawatirkan adalah, adanya sebuah jarak dan intensitas pertemuan yang minim. Mungkinkah akan ada rasa jika tak ada pembiasaan? Itu kenyataan terpahit, tidak akan ada usaha yang nyata. Dan kembali lagi, hanya bertumpu pada kekuatan doa. Tidak ada salahnya untuk terus mengulang permintaan. Bukankah Ia senang saat hamba-Nya terus meminta, yang berarti intens kedekatan Ia dan hamba-Nya semakin besar. Tiap waktu sang wanita gaungkan curahan-curahan hatinya pada Sang Pemilik Hati. Tentu saja, Ia Maha Mendengar, Maha Bijaksana, tahu mana yang baik dan buruk untuk sang wanita. Ternyata semua itu memberikan secercah harapan untuk sang wanita. Menegarkannya dalam sebuah penantian. Menegakkannya ketika mulai lengah, mengokohkannya saat kakinya berat untuk menopang, dan menyadarkannya manakala ia mulai lupa untuk niatnya membahagiakan orangtua. Sederhana, namun rumit untuk direalisasikan. Semoga suatu saat kelak semua bukan hal yang sia-sia. Wanita mana yang tak ingin bahagia dengan pilihannya. Dia menyebutnya sebagai “pilihannya”, karena untuknya pilihan orangtuanya adalah pilihannya. Orangtua mana yang tega memilihkan anaknya yang terburuk. Kecuali jika orangtua tersebut memiliki tujuan khusus yang melenceng dari hakikatnya sebagai sosok yang dihormati dan yang dituakan.
***
            Disuatu waktu pertiga malam, lirih, samar-samar terdengar rintihan doa di bawah temaram lampu kuning ala pedesaan, sepertinya lampu itu lampu berkekuatan lima watt. Dibalut mukenah putih dengan sarung sutera khas Makassar berwarna lembut, mengalirlah harapan-harapan yang terlisankan pada derasnya cucuran darah disela arteri dan vena pemiliknya. Semraut ucapannya akibat isak tangis tak terelakkan, belum pernah rasanya ia meminta se-khusyuk itu. Hampir tiap malam ia meminta pada waktu baik, waktu pengabulan doa mencapai klimaksnya, tepat dipertiga malam. Namun, kali ini semua berbeda. Ia meminta dari hati, benar-benar memasrahkan untuk tiap putusan yang lahir untuknya. Bisa dipahami apa yang ia minta sederhana, dan semata-mata karena merasa tak sanggup lagi berdiri pada keyakinan yang dipeluknya. Dititik itulah sesungguhnya suatu kaum akan dikabulkan inginnya, baik dengan bentuk yang sesuai dengan apa yang dimintanya, ataupun dengan sedikit gubahan agar terlihat lebih berkesan. Dilafalkannya:
Ya ALLAH Ya Rabb, Ya Rahman, Ya Rahim, Malik, Kudus.
Jika memang ia adalah jodohku, tanamkan benih cinta diantara kami berdua.
Pertemukan kami pada waktu yang indah dan dengan cara-Mu yang paling indah.
Ya ALLAH Ya Rabb, Ya Rahman, Ya Rahim, Malik, Kudus.
Jika memang ia yang Engkau inginkan untuk menjadi imamku,
Semoga ia bisa menjadi imam dunia dan akhirat untukku.
Pantaskanlah aku untuk dirinya.
Semoga aku bisa menjadi istri yang sholeha dan menjadi berkah untuknya dunia dan akhirat.
Semoga kami bisa diterima di keluarga satu sama lain.
Karena hakikatnya sebuah walimah adalah menyatukan dua keluarga dan dua kepala yang berbeda.
Ya ALLAH Ya Rabb, Ya Rahman, Ya Rahim, Malik, Kudus.
Jika memang ia yang Kau inginkan untuk jadi pendampingku,
maka dekatkanlah kami dan buatlah agar kami bisa melihat dan menyadari keberadaan satu sama lain.
Amin.

            Akhirnya, tiba pada suatu waktu untuk memutuskan apa yang “terbaik” untuk dipilih. Aku, sang wanita, memilih untuk menantinya hingga waktu “indah” itu tiba. Terangkum di dalamnya resiko-resiko yang akan aku hadapi nantinya. Itulah yang disebut tanggung jawab, sebuah pekerjaan yang “diwajibkan” setelah sebuah keputusan lahir. Semua semata-mata karena adanya kepercayaan akan takdir berbahagia yang direncanakan Tuhan melalui pemikiran orangtuaku. Insya Allah, keajaiban akan datang pada mereka yang percaya. Pengabulan doa akan lahir pada mereka yang tak jemu meminta. Dan kebahagiaan akan hadir pada mereka yang telah bersabar. Diawali dengan niat, diusahakan dengan ikhtiar, dan dinantikan dengan keikhlasan dan ketulusan. Tidak ada alasan untuk beroleh kemudaratan jika semuanya ada dijalan yang diridhoi-Nya. Amin.

Basmalah…dan sang wanita memilih.

03 November 2012
Cora, Mawang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks buat komentarx..:)