Jika ada pertanyaan
yang aku ingin ajukan pada Tuhan, maka kan ku tanya Ia “masihkah aku kurang
bersyukur pada-Nya? Karena aku takut, aku lupa bersyukur pada-Nya.
Jika ada penyataan yang
aku ingin sampaikan pada Dia, maka aku akan sampaikan terima kasih kepada-Nya
karena telah membuatku “berbeda” dari yang lainnya.
Tidak ada yang salah dengan
kelahiranku, dilahirkan dalam kondisi normal juga dengan proses yang tidak
membuat ibuku merintih terlalu lama. Sebuah kesyukuran terlihat di wajah
ayahanda manakala tangisanku menggema membuat gaung pada dinding-dinding rumah
sakit tempatku dilahirkan yang terlapisi oleh bau karbol. Kehadiran seorang anak dalam sebuah keluarga
memiliki masing-masing makna tersendiri. Kali ini kehadiranku bak cahaya baru
yang harus tetap dijaga agar tetap bersinar diantara pagar-pagar lelaki di
keluarga kecil kami. Maklum saja, lima kali sudah ibuku beranak, anak gadisnya
hanya berjumlah dua orang, sudah termasuk diriku si mungil manis.
Harusnya sebutan itu terus melekat
pada diriku, mungil. Tapi kenyataan berkata lain. Sejak usai terserang penyakit
typus, badanku kurus keronta tak
berbentuk. Ayah dan ibu semakin panik melihatku. Takut apabila aku akan terus
seperti ini. Berbagai upaya telah mereka lakukan untuk putri kecil mereka. Akan
tetapi, kesemuanya nihil. Hingga suatu ketika, seorang bidan ternama di kota
kami menganjurkan kepada kedua orangtuaku untuk mensuplai diriku dengan
suplemen berbentuk susu. Walhasil badanku naik, dan aku pun jarang sakit. Namun,
kecemasan lain menghinggapi diriku manakala aku mulai beranjak dewasa. Tubuh
gempal ku tak kunjung turun. Orang-orang sekitarku sering memanggilku dengan
sebutan “ondeng”, sebutan bagi mereka yang berbadan besar. Terang saja aku tak
nyaman akan kenyataan itu. Kemudian aku mulai bermasalah dengan kepercayaan
diri.
Dua puluh tahun sudah aku hidup
dengan tubuh gempalku. Rasa minder dan kurang percaya diri itu masih beranak
pinak baik dalam pikiranku. Kadang mereka diam-diam menggerogoti semua
mimpi-mimpi yang aku miliki. Aku senang terjun dan larut dalam aktivitas
keseharianku. Tidak perlu ada yang tahu seberapa aku tidak percaya diri dengan
bentuk tubuh yang dianugerahi Tuhan untukku, apalagi untuk ukuran gadis. Namun,
bukan berarti aku adalah sosok wanita yang tertutup dan tidak mudah bergaul.
Justru sebaliknya, aku sangat periang, agresif, dan optimisme, terkecuali untuk
masalah penampilan selalu saja pesimis. Di benakku, mereka yang bertubuh indah
memiliki kesempatan lebih banyak untuk berhasil ketimbang mereka yang bertubuh
besar. Itu disebabkan mereka yang memiliki nilai lebih di mata lelaki saat
melakukan sebuah urusan. Lebih menarik dan seksi, itu yang aku ketahui dari
kebanyakan fakta yang aku temukan. Saat kekecewaan tengah melandaku, aku hanya
mampu mengungkapkannya melalui barisan kalimat-kalimat pada entah itu buku
harianku atau gadget kesayanganku.
Aku tak mampu mengucapkannya melalui kata-kata dari mulutku langsung, seperti
ketika salah seorang kerabatku mendapat perlakuan khusus di kampus karena Ia
yang cantik dan bertubuh langsing.
Dapat dibayangkan, berjuta umpatan
mengawang-awang di kepalaku mengenai ketidakadilan Tuhan pada jalan hidupku.
Mengapa harus aku yang mendapati jalan hidup seperti ini? Mengapa dan mengapa,
hingga kata mengapa itu sendiri berubah menjadi radikal dalam kamus hidupku.
Sekali lagi, kekecewaan itu hanya mampu aku tuangkan pada bait-bait kepedihan
yang hanya aku dan Dia yang paham makna protesku. Apa pedulinya orang terhadap
perasaanku, ketika mereka mengejek diriku yang gempal ini? Yang mereka tahu
hanya bagaimana membuat diriku terlihat sebagai lelucon yang pantas untuk
ditertawakan. Aku berbeda dari gadis kebanyakan, entah itu positif atau
negatif, bagiku itu adalah kesakitan yang meradang hingga beresiko membuat
hatiku busuk akan virus dendam yang aku simpan. Satu-satunya jalan adalah
kembali menuliskan rasa sakit itu dan menutupnya rapat-rapat!
***
Terpaku
memandangi tumpukan kertas hasil saduran internet. Pilah dan dipilih mana yang
akan digunakan sebagai referensi dan mana yang akan aku jadikan korban lipatan
kertasku yang berbentuk bangau. Aku percaya, jika mampu membuat lima puluh buah
lipatan kertas berbentuk burung bangau, maka keinginan apa pun dapat
terkabulkan menurut mitologi Cina. Sama saja tiap waktunya, lipatanku tak
pernah cukup hingga lima puluh buah. Paling banyak hanya hingga dua sampai tiga
puluh buah lipatan kertas saja. Selebihnya kebosanan jauh lebih merajai batinku
dibanding keinginanku untuk melanjutkan. Apa yang aku harapkan apabila
lipatanku mencapai lima puluh buah? Tertebak, untuk meminta kepada Tuhan agar
badanku tak lagi gempal. Aneh, sinting, gila, atau bahkan konyol, tapi aku
masih saja melakukannya. Mungkin malah sudah menjadi kebiasaanku.
Dentang
demi dentang waktu berlalu, tumpukan kertas dihadapanku semakin membuatku mual.
Lalu, aku putuskan untuk rehat sejenak dan kembali membuka folder kesayanganku
yang berisi hasil pikiranku. Kebanyakan dari mereka adalah bentuk karyaku yang
setengah ber-curhat tentang apa yang
sedang aku rasakan. Satu per satu aku baca, sambil cengar-cengir aku kagumi
tiap untaian kata yang mampu aku buat sejauh ini. Tidak buruk, apresiasi
pertama yang aku berikan pada beberapa karyaku. Cukup terkejut untuk beberapa
karya yang diluar dugaanku mampu aku tuliskan dengan baik, walaupun dalam
keadaan emosi yang tak karuan. Mungkin justru karena dengan emosi yang tak
karuan itulah, kejujuranku dalam menuangkan kata demi kata menjadi nilai tambah
untuk cerita itu.
Larut
dalam beberapa tulisan yang aku kagumi sendiri, perlahan aku mengerti sesuatu.
Sesuatu yang mengapa tak aku sadari sejak dahulu. Sesuatu yang ternyata kecil
namun jadi mengapa begitu penting dan berharga untuk hidup dan pola pikirku
hingga saat ini. Sesuatu itu adalah kesenanganku akan menulis. Kesenangan untuk
merajut bulir kata-kata menjadi untaian kalimat. Menulis menjadi kekuatan
tersembunyiku selama ini. Tanpa aku sadari, tiap tulisan emosional yang aku
hasilkan membuat perasaanku tenang dan lega setalah menjadikannya sebuah
cerita. Tanpa peduli cerita itu layak baca atau tidak. Karena yang terpenting
saat itu adalah bagaimana meluapkan rasa gusar dan gundah di hati tanpa harus
memberitahukan siapa pun.
Menulis
memberiku semangat, manakala aku bingung dengan langkah apa yang harus aku
putuskan. Karena menulis seperti kegiatan tulus mendengarkan kata hatiku.
Seolah-olah aku tengah berdialog dan mencoba bermufakat dengan apa yang
dikatakan oleh sang hati, setelah logika yang berkuasa atas apa yang menjadi
bahan pertimbanganku. Saat menulis, aku mengijinkan otak kanan dan kiriku
saling berinteraksi. Dan tanpa aku sadari, pelan namun pasti gaya tulisanku
berubah. Mereka yang dulu berbentuk coretan yang hanya layak tulis di buku
diari, kini menjadi berlembar-lembar cerita layaknya cerpen yang sering muncul
di majalah. Kemajuan untuk diriku yang mampu mengubah sebentuk kekecewaan
menjadi sebuah anugerah yang aku sebut bakat.
***
Redup
dan remang malam di kamar ini, membuatku ingin bangun dan menemui-Nya. Kubasuh
seluruh wajah, kedua lenganku, ubun-ubunku, kemudian kedua kakiku. Aku
bentangkan sajadah bak permadani siap terbang, terbang menuju singgasana
indah-Nya. Kututupi seluruh auratku, sembari kupandangi parasku di cermin.
Tersentak sendiri, ingin meneteskan air mata. Ya Tuhan, kesempurnaan macam apa
lagi yang aku cari. Aku telah begitu sempurna Engkau ciptakan. Hanya saja
ukuranku yang lebih besar dengan wanita pada umumnya. Tapi, bukankah itu semua
harus aku syukuri, bukan malah aku jadikan benalu yang membuat jarak antara aku
dan Kau duhai Kekasihku. Malu rasanya hatiku, segera aku dirikan shalat, semoga
masih ada ampun untuk ketidaksyukuranku selama ini.
Seusai
aku puas meluapkan haru penyesalan pada Dia Yang Maha Mendengar, kuraih laptop yang berjarak tak jauh dariku.
Kuketik semua yang aku rasakan di penghujung malam ini. Termasuk di dalamnya
rasa syukurku untuk bakat yang dianugerahkan-Nya padaku. Dengan menulis, aku
membuat tekad untuk menjadikannya sarana ibadah dan ikhtiarku dalam menyebar
agama dan berbuat kebaikan. Kupasrahkan setiap takdir yang terjadi atasku.
Ternyata, aksi menghabiskan waktu kemarin sore dengan membaca tiap cerita yang
ada pada folderku membuka mataku untuk tidak lagi mengeluh. Jika ada yang ingin
aku keluhkan, cukup aku tuliskan pada selembar kertas. Kemudian aku bakar
kertas itu, dan wush..semua hilang
menjadi arang yang berterbangan di udara. Seperti kertas yang berisi
umpatan-umpatanku yang kemudian terbakar habis dan berubah menjadi arang
bersama udara. Terpatri sudah dalam batinku, my word is my power. Jika aku tak mampu mengatakan lewat lisanku,
izinkan aku mengatakannya lewat tulisanku. Thanks God, for everything..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks buat komentarx..:)