Minggu, 04 November 2012

THE WONDERFUL


Jika ada pertanyaan yang aku ingin ajukan pada Tuhan, maka kan ku tanya Ia “masihkah aku kurang bersyukur pada-Nya? Karena aku takut, aku lupa bersyukur pada-Nya.
Jika ada penyataan yang aku ingin sampaikan pada Dia, maka aku akan sampaikan terima kasih kepada-Nya karena telah membuatku “berbeda” dari yang lainnya.
Tidak ada yang salah dengan kelahiranku, dilahirkan dalam kondisi normal juga dengan proses yang tidak membuat ibuku merintih terlalu lama. Sebuah kesyukuran terlihat di wajah ayahanda manakala tangisanku menggema membuat gaung pada dinding-dinding rumah sakit tempatku dilahirkan yang terlapisi oleh bau karbol.  Kehadiran seorang anak dalam sebuah keluarga memiliki masing-masing makna tersendiri. Kali ini kehadiranku bak cahaya baru yang harus tetap dijaga agar tetap bersinar diantara pagar-pagar lelaki di keluarga kecil kami. Maklum saja, lima kali sudah ibuku beranak, anak gadisnya hanya berjumlah dua orang, sudah termasuk diriku si mungil manis.
Harusnya sebutan itu terus melekat pada diriku, mungil. Tapi kenyataan berkata lain. Sejak usai terserang penyakit typus, badanku kurus keronta tak berbentuk. Ayah dan ibu semakin panik melihatku. Takut apabila aku akan terus seperti ini. Berbagai upaya telah mereka lakukan untuk putri kecil mereka. Akan tetapi, kesemuanya nihil. Hingga suatu ketika, seorang bidan ternama di kota kami menganjurkan kepada kedua orangtuaku untuk mensuplai diriku dengan suplemen berbentuk susu. Walhasil badanku naik, dan aku pun jarang sakit. Namun, kecemasan lain menghinggapi diriku manakala aku mulai beranjak dewasa. Tubuh gempal ku tak kunjung turun. Orang-orang sekitarku sering memanggilku dengan sebutan “ondeng”, sebutan bagi mereka yang berbadan besar. Terang saja aku tak nyaman akan kenyataan itu. Kemudian aku mulai bermasalah dengan kepercayaan diri.
Dua puluh tahun sudah aku hidup dengan tubuh gempalku. Rasa minder dan kurang percaya diri itu masih beranak pinak baik dalam pikiranku. Kadang mereka diam-diam menggerogoti semua mimpi-mimpi yang aku miliki. Aku senang terjun dan larut dalam aktivitas keseharianku. Tidak perlu ada yang tahu seberapa aku tidak percaya diri dengan bentuk tubuh yang dianugerahi Tuhan untukku, apalagi untuk ukuran gadis. Namun, bukan berarti aku adalah sosok wanita yang tertutup dan tidak mudah bergaul. Justru sebaliknya, aku sangat periang, agresif, dan optimisme, terkecuali untuk masalah penampilan selalu saja pesimis. Di benakku, mereka yang bertubuh indah memiliki kesempatan lebih banyak untuk berhasil ketimbang mereka yang bertubuh besar. Itu disebabkan mereka yang memiliki nilai lebih di mata lelaki saat melakukan sebuah urusan. Lebih menarik dan seksi, itu yang aku ketahui dari kebanyakan fakta yang aku temukan. Saat kekecewaan tengah melandaku, aku hanya mampu mengungkapkannya melalui barisan kalimat-kalimat pada entah itu buku harianku atau gadget kesayanganku. Aku tak mampu mengucapkannya melalui kata-kata dari mulutku langsung, seperti ketika salah seorang kerabatku mendapat perlakuan khusus di kampus karena Ia yang cantik dan bertubuh langsing.
Dapat dibayangkan, berjuta umpatan mengawang-awang di kepalaku mengenai ketidakadilan Tuhan pada jalan hidupku. Mengapa harus aku yang mendapati jalan hidup seperti ini? Mengapa dan mengapa, hingga kata mengapa itu sendiri berubah menjadi radikal dalam kamus hidupku. Sekali lagi, kekecewaan itu hanya mampu aku tuangkan pada bait-bait kepedihan yang hanya aku dan Dia yang paham makna protesku. Apa pedulinya orang terhadap perasaanku, ketika mereka mengejek diriku yang gempal ini? Yang mereka tahu hanya bagaimana membuat diriku terlihat sebagai lelucon yang pantas untuk ditertawakan. Aku berbeda dari gadis kebanyakan, entah itu positif atau negatif, bagiku itu adalah kesakitan yang meradang hingga beresiko membuat hatiku busuk akan virus dendam yang aku simpan. Satu-satunya jalan adalah kembali menuliskan rasa sakit itu dan menutupnya rapat-rapat!
***
            Terpaku memandangi tumpukan kertas hasil saduran internet. Pilah dan dipilih mana yang akan digunakan sebagai referensi dan mana yang akan aku jadikan korban lipatan kertasku yang berbentuk bangau. Aku percaya, jika mampu membuat lima puluh buah lipatan kertas berbentuk burung bangau, maka keinginan apa pun dapat terkabulkan menurut mitologi Cina. Sama saja tiap waktunya, lipatanku tak pernah cukup hingga lima puluh buah. Paling banyak hanya hingga dua sampai tiga puluh buah lipatan kertas saja. Selebihnya kebosanan jauh lebih merajai batinku dibanding keinginanku untuk melanjutkan. Apa yang aku harapkan apabila lipatanku mencapai lima puluh buah? Tertebak, untuk meminta kepada Tuhan agar badanku tak lagi gempal. Aneh, sinting, gila, atau bahkan konyol, tapi aku masih saja melakukannya. Mungkin malah sudah menjadi kebiasaanku.
            Dentang demi dentang waktu berlalu, tumpukan kertas dihadapanku semakin membuatku mual. Lalu, aku putuskan untuk rehat sejenak dan kembali membuka folder kesayanganku yang berisi hasil pikiranku. Kebanyakan dari mereka adalah bentuk karyaku yang setengah ber-curhat tentang apa yang sedang aku rasakan. Satu per satu aku baca, sambil cengar-cengir aku kagumi tiap untaian kata yang mampu aku buat sejauh ini. Tidak buruk, apresiasi pertama yang aku berikan pada beberapa karyaku. Cukup terkejut untuk beberapa karya yang diluar dugaanku mampu aku tuliskan dengan baik, walaupun dalam keadaan emosi yang tak karuan. Mungkin justru karena dengan emosi yang tak karuan itulah, kejujuranku dalam menuangkan kata demi kata menjadi nilai tambah untuk cerita itu.
            Larut dalam beberapa tulisan yang aku kagumi sendiri, perlahan aku mengerti sesuatu. Sesuatu yang mengapa tak aku sadari sejak dahulu. Sesuatu yang ternyata kecil namun jadi mengapa begitu penting dan berharga untuk hidup dan pola pikirku hingga saat ini. Sesuatu itu adalah kesenanganku akan menulis. Kesenangan untuk merajut bulir kata-kata menjadi untaian kalimat. Menulis menjadi kekuatan tersembunyiku selama ini. Tanpa aku sadari, tiap tulisan emosional yang aku hasilkan membuat perasaanku tenang dan lega setalah menjadikannya sebuah cerita. Tanpa peduli cerita itu layak baca atau tidak. Karena yang terpenting saat itu adalah bagaimana meluapkan rasa gusar dan gundah di hati tanpa harus memberitahukan siapa pun.
            Menulis memberiku semangat, manakala aku bingung dengan langkah apa yang harus aku putuskan. Karena menulis seperti kegiatan tulus mendengarkan kata hatiku. Seolah-olah aku tengah berdialog dan mencoba bermufakat dengan apa yang dikatakan oleh sang hati, setelah logika yang berkuasa atas apa yang menjadi bahan pertimbanganku. Saat menulis, aku mengijinkan otak kanan dan kiriku saling berinteraksi. Dan tanpa aku sadari, pelan namun pasti gaya tulisanku berubah. Mereka yang dulu berbentuk coretan yang hanya layak tulis di buku diari, kini menjadi berlembar-lembar cerita layaknya cerpen yang sering muncul di majalah. Kemajuan untuk diriku yang mampu mengubah sebentuk kekecewaan menjadi sebuah anugerah yang aku sebut bakat.
***
            Redup dan remang malam di kamar ini, membuatku ingin bangun dan menemui-Nya. Kubasuh seluruh wajah, kedua lenganku, ubun-ubunku, kemudian kedua kakiku. Aku bentangkan sajadah bak permadani siap terbang, terbang menuju singgasana indah-Nya. Kututupi seluruh auratku, sembari kupandangi parasku di cermin. Tersentak sendiri, ingin meneteskan air mata. Ya Tuhan, kesempurnaan macam apa lagi yang aku cari. Aku telah begitu sempurna Engkau ciptakan. Hanya saja ukuranku yang lebih besar dengan wanita pada umumnya. Tapi, bukankah itu semua harus aku syukuri, bukan malah aku jadikan benalu yang membuat jarak antara aku dan Kau duhai Kekasihku. Malu rasanya hatiku, segera aku dirikan shalat, semoga masih ada ampun untuk ketidaksyukuranku selama ini.
            Seusai aku puas meluapkan haru penyesalan pada Dia Yang Maha Mendengar, kuraih laptop yang berjarak tak jauh dariku. Kuketik semua yang aku rasakan di penghujung malam ini. Termasuk di dalamnya rasa syukurku untuk bakat yang dianugerahkan-Nya padaku. Dengan menulis, aku membuat tekad untuk menjadikannya sarana ibadah dan ikhtiarku dalam menyebar agama dan berbuat kebaikan. Kupasrahkan setiap takdir yang terjadi atasku. Ternyata, aksi menghabiskan waktu kemarin sore dengan membaca tiap cerita yang ada pada folderku membuka mataku untuk tidak lagi mengeluh. Jika ada yang ingin aku keluhkan, cukup aku tuliskan pada selembar kertas. Kemudian aku bakar kertas itu, dan wush..semua hilang menjadi arang yang berterbangan di udara. Seperti kertas yang berisi umpatan-umpatanku yang kemudian terbakar habis dan berubah menjadi arang bersama udara. Terpatri sudah dalam batinku, my word is my power. Jika aku tak mampu mengatakan lewat lisanku, izinkan aku mengatakannya lewat tulisanku. Thanks God, for everything..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks buat komentarx..:)