Pagi ini seorang Hyan telah bersiap-siap.
Belum lagi berujar burung-burung pagi ia telah bangun. Belum lagi sang mentari
menjelma di angkasa biru ia telah keluar dari peraduan tidurnya. Belum lagi
sang sejuk embun berganti hangat dan pesona pagi, justru ia telah tegap berada
di bumi. Pagi ini Hyan memang harus bangun sedini mungkin, tiada seperti
biasanya. Ada presentasi besar yang harus Hyan tampilkan nanti kepada pimpinannya
di kantor.
Penasaran menyertai Hyan pagi itu,
menangkap sedikit lukis Orange sinar
mentari pagi yang hanya segaris, ia keluar dari rumahnya. Melalui pintu depan
rumahnya Hyan menapaki menuju arah datangnya cahaya. Sekelebat dingin embun
menusuk pori-pori, halus terasa. Lembut. Hal ini mengingatkan Hyan pada sebuah
impian sederhana masa kecilnya, menyentuh kekakuan sang salju. Tapi, entah
kapan. Hyan masih menggapai angan-angan hingga kini.
Winter, kala dingin
yang menusuk raga akan terasa nyaman ketika kita telah temukan baju hangat nan
tebal, seperti cinta yang menghangatkan setelah lama berada dalam kekakuaan.
“Tenang sekali pagi ini, walau basah
karena embun tapi sejuk seperti ini yang aku suka.” Gumam Hyan sendiri.
Cukup lama Hyan menikmati pesona
indahnya alam seperti ini. Jarang-jarang sekali ia bisa menikmati semua ini
karena biasanya ia harus bangun sedikit terlambat dan hasilnya? tergesa-gesa Hyan
ke kantor tanpa sempat menikmati pagi yang selalu mengiringinya.
Tik.tik.tik. detik jam sport Hyan
bersuara. Suara kecil yang menyadarkan ia untuk tidak berlama-lama terpesona.
Ada keseriusan hari yang harus dijalani. Segera Hyan kembali ke rumahnya
mengambil beberapa tool yang telah ia
persiapkan untuk penampilannya hari ini.
Semangat gontai tak mau ia tunjukkan,
justru membara raga mengalahkan kabut pagi yang akan segera berganti kemilau
mentari. Hyan tak mau kalah dengan mentari pagi ini yang seperti biasanya terus
bergerak maju untuk terus membara di angkasa sana. KEEP MOVE ON!, itulah jati
diri seorang lelaki menurut Hyan, lelaki dengan segala prioritas
prinsip-prinsip hidupnya.
“Pagi mas. Ceria sekali tampaknya?”
supir bus kantor seperti biasa menyapa Hyan sambil mengangkat alisnya.
“Iya, saya mau mengajukan proyek di
kantor. Mudah-mudahan disetujui oleh Kepala Departemen.”
Si supir membalas dengan senyuman sambil
sibuk mengendalikan kendaraannya. “Mudah-mudahan sukses mas ya.” Hyan pun
bergegas berjalan menuju satu tempat duduk di bagian belakang bus. Tempat yang
menjadi favoritnya, di sebelah jendela yang besar. Tempat ia bisa dan biasa melihat
langit luas dengan lebih leluasa.
Tidak lupa Hyan pasangkan kedua penutup telinga,
konektor penghasil musik dari ponselnya. Belum pagi pun melanda sehingga ia
mencoba istirahat sebentar, karena butuh waktu 45 menit untuk mencapai
kantornya, Hyan bisa melanjutkan lelap tidurnya. Namun terkadang rasa kantuknya
tidak menggoda kembali sehingga justru makin hanyut Hyan melihat terbitnya
mentari.
Di ujung langit, garis-garis kekuningan
mewarnai. Suasana begitu senyap karena banyaknya penumpang lain yang mempunyai
tujuan sama dengan Hyan hanya tertidur. Kantuk pada mereka tiada tertahan
mungkin, tetapi perihal tersebut justru dinikmatinya karena tiada gangguan
obrolan yang harus Hyan ladeni selama perjalanan. Hyan bisa bahagia bersama
awal munculnya sang pagi.
Bus yang membawanya tepat berhenti di depan sebuah
gedung besar tempat ia biasa datang untuk bekerja. Berjalan pelan Hyan hendak
turun dari busnya, tersadar cepat ia saat tahu ia telah akan tiba. Mungkin
kesenduan pagi memberatkan kepalanya hingga tertidur pulalah ia beberapa saat
yang lalu.
“Terima kasih pak.” Sebelum turun Hyan
memberikan sebuah ucapan.
Hingga dijawab segera oleh si supir,
“Iya mas, semoga sukses.” Hyan melirik sebentar lalu berjalan tegap ia. Walau
tahu bahwa gontai raganya lebih kuat mengakar namun segera tanpa ragu Hyan menguatkan
diri.
Selama berjalan dipandanginya langit
yang sudah kokoh cerahnya pagi ini, lalu menunduk berharap secerah itulah nasib
pengajuan proyeknya nanti. Setelahnya Hyan memandang lurus ke pintu utama
gedung itu. Masih seperti biasa, terbuka lebar buat siapa saja yang datang
sesuai kualifikasi perusahaan atau bagi siapapun yang ingin pergi dari
perusahaan untuk mencari petualangan lainnya di luar sana.
“Pagi bang Ye.” Hyan menyapa ramah
seorang pegawai lain yang juga telah datang seperti dirinya.
“Hai Hyan, tidak seperti biasanya?”
balas lelaki tersebut sambil mengangkat satu alisnya yang tebal. Penasaran juga
ia rupanya.
“Iya bang, hari ini sengaja datang lebih
awal agar lebih confident saja
nanti.” Hyan menerangkan.
Sedikit tersentak bang Ye menepuk
keningnya,“Oh iya, maaf saya lupa. Kamu
nanti mau mengajukan proyek ya ke kepala Departemen kan? Bagaimana
persiapannya? Semoga sukses ya.”
“Terima kasih bang.” Timpal Hyan dengan
senyuman lalu segera beranjak ke meja kerjanya setelah bersantap tegur-sapa kepada
rekan kerjanya.
Setelah duduk tenag di meja kerjanya,
Hyan membuka beberapa folder yang berisikan hasil-hasil analisis yang pernah
dilakukan. Hal ini untuk menambahkan bukti-bukti yang telah Hyan kumpulkan
sebelumnya agar Kepala Departemennya yakin untuk menyetujui pengajuan proyek
yang ia lakukan.
Jam berganti beriringan dengan
makinnaiknya matahari yang makin membentuk kemiringan dengan angka pasti yang
semakin besar terhadap satu titik pandangan di bumi tempat Hyan berpijak saat
itu. Ia melihatnya melalui satu jendela. Mulai dari derajat-derjat terkecil
kemiringannya selaras dengan derajat-derajat kenaikan suhu. Makin terang
hamburan sinarnya, semakin panas jua terasa di pori kulit anda.
Hyan kembali melirik jam tangan
sportnya, tiada terasa kesibukan di kantor telah menyertainya dari pagi tadi.
Hinga kini, hingga saat yang Hyan tunggu tiba juga. Tepat di waktu yang
ditentukan, ia bergerak maju dari ruang kerjanya menuju ruang meeting. Setelah ia buka gagang pintunya,
Hyan meliht ke dalam ruangan dan masih kosong. Ia sedikit bingung, namun ia
lebih rasional pikiran nyata pun menyergapnya. Ia masih melihat sekeliling
ruangan, segera menyalakan infocus dan menstabilakan layarnya.
Setelah semua persiapan selesai, tidak
lama pun Kepala Departemen, Wakil Kepala Departemen dan Supervisor Hyan pun
Datang. Duduk tenang menghadap-hadap Hyan yang telah bersiap berdiri di depan
ruangan. Bersiap, ACTION!
“Saya dengar kamu sudah menyampaikan proposal
permohonan suatu proyek. benar saudara Hyan?” Kepala Departemen memulai.
"Benar sekali bu, saya ingin
mengajukannya demi kontribusi nyata saya terhadap kemajuan perusahaan ini.”
“Ya, itu yang benar-benar saya harapkan.
Baiklah silahkan anda mulai.” Sang pimpinan mempersilahkan Hyan.
“Baiklah, terima kasih. Saya akan
memulai untuk menerangkan lebih rinci lagi mengenai proyek yang proposalnya
telah saya ajukan beberapa waktu lalu, mengenai Metoda Analisis Termodifikasi pada
Logam Tembaga (Cu) yang terdapat dalam Air Produksi Pulp.”
Setelah awalan baik yang dibuka oleh
Hyan, maka berlanjutlah ketenangan penyampaian yang ia lakukan. Hingga yang
terlihat selama hampir tiga puluh menit tersebut adalah agukan pelan yang
berarti tanda setuju dari tiga orang penting yang hadir di sana terhadap
pemaparan yang Hyan uraikan.
“Satu hal pasti yang ingin saya ketahui.
”Kepala Depertemen memulai saja pembicaraan setelah Hyan menyelesaikan
sekumpulan penerangannya akan proyeknya tersebut.
“Silahkan bu.” Timpal Hyan segera tiada
panik menyertainya.
“Bagaimana anda bisa memastikan hasil
yang didapat benar-benar akurat dan teliti ketika kuantitas senyawa di dalam sample kecil? Mungkin kadarnya ppm (part per million) atau ppb (part per billion)?” Sambil sedikit
mengkerutkan dahi sembari merangkulkan tangan di depan tubuhnya, Kepala
Departeman bertanya.
Sejenak Hyan terdiam, sedikit membuka
beberapa lembar dokumen pendukung yang sebelumnya telah ia persiapkan untuk
dibawa ke ruangan tersebut. “Baiklah bu, saya bisa nyatakan dengan pasti bahwa
reaksi pada senyawa logam tesbut akan memberikan warna serta endapan yang jelas
terlihat dengan mata. Analis bisa mengukurnya dengan metoda sesederhana
Gravimetri.”
“Apa menurut anda, hal itu tidak memakan
waktu yang lama, sedangkan masalah ini harus segera diselesaikan oleh
perusahaan karena menyangkut kaulitas produksi kita.” Pertanyaan lanjutan
segera dilanjutkan Kepala Departemen, sebuah persaingan rumit terlihat jelas
dalam percakapan keduanya.
Lagi-lagi Hyan tertegun, berpikir
lalu berujar. “Saya yakin analis mampu mnyelesaikannya dalam waktu cepat. Hal
ini dikarenakan sample yang diberikan dalam tiga waktu yaitu pagi
siang dan malam bisa langsung dianalisis hingga keesokan paginya semua data
sudah bisa dipakai.”
“Saya tahu metoda yang anda ajukan
sangat efisien dan benar-benar bagus, tapi yang saya khawatirkan adalah metoda
ini belum mampu serta valid.”
Segera Hyan menjawab mantap, “Saya
yakin valid bu.”
“Anda yakin? Anda sudah coba?”
Kembali Kepala Departemen menjarah keyakinan Hyan.
Hingga kali ini Hyan benar-benar
sedikt terdiam, tiada bujar lagi ia. Suara kecil pun enggan ia ucapkan. Ia tahu
arah pembicaraan ini sia-sia. Namun, tetap Hyan mencoba. “Data-data yang saya
kumpulkan valid bu. Semuanya berstandar
Internasional.”
“Hyan, tetap yang saya butuhkan uji
konkrit. Kita harus uji dahulu semua metoda ini. Sementara perusahaan, butuh
penyelesaiaan masalah ini dalam waktu dekat. Harus segera.” Ia menerangkan
sambil bergerak memberikan kejelasan roman kepastiannya.
Hyan hanya bisa terduduk diam tanpa
berkata sepatah apapun, ia hanya coba dengarkan apa yang disampaikan apa yang
dijelaskan sang pimpinan kepadanya. Hingga suara sang pemimpin seperti
menghilang karena arah pemusatan pikirannya justru pada proyeknya yang lalu
berkenan tentang Penjernihan Air Produksi Pulp yang ditolak karena instalasinya
kelewat mahal atau pengajuan proyek Pembuatan Membran Semipermeabel dalam
Penyerapan Logam pada Air Produksi Pulp yang juga turut ditolak karena bahan
pembuatnya yang sulit dicari serta mahal.
“Jelas Hyan?” Suara lantang Kepala
Departemen menegaskan Hyan untuk tersadar dari lamunan lalunya.
Hyan hanya bisa menjawab cepat tanpa
tahu akan apa yang sebelumnya dibicarakan oleh pimpinannya, “Jelas bu.” Air
muka Hyan pun berubah drastis. Tertunduk ia. Kecewa, lagi.
“Baiklah, jika begitu saya putuskan
untuk tidak dapat meng-approve proposal
anda kali ini. Setuju semuanya?” sang pimpinan melihat ke arah Hyan dan ke arah
Wakilnya serta Supervisor Hyan. Anggukan tanda setuju hanya menjadi akhir dari meeting hari itu. Kesemuanya segera
keluar dan hanya tinggal Hyan sendiri dalam ruangan terduduk diam memandangi
setumpuk dokumen terbaik yang ia bawa agar mendapat persetujuaan. Tapi
begitulah, kegagalan pengajuan proyek harus Hyan hadapi, untuk kesekian kalinya
lagi.
Hyan segera membenahi semuanya,
menumpuk dokumen-dokumennya menjadi satu serta merapikan meja ruangan yang
tiada kotor dari awal mulainya meeeting hingga
berakhir seperti saat itu.
“Hmm, gagal lagi.” Sambil menghela
nafas panjang Hyan bergumam datar dan berjalan keluar ruangan. Menutupnya rapat
pintu ruangan tersebut dan segera kembali ke meja kerjanya lagi. Ada deadline analisis lainnya yang harus
juga ia selesaikan segera.
Sesampainya Hyan di meja kerjanya ia
memandang analis lain yang sedang bekerja. Tatapan Hyan yang sendu diyakinkan
juga dengan roman wajahnya yang pasrah membuat rekan-rekan kerjanya enggan
bertanya agar tidak makin memperburuk suasana hati.
Sejenak Hyan membongkar laci meja
kerjanya, niat hati awalnya hendak menumpuk satu dokumen-dokumen yang dibawanya
tapi justru ide dan pemikiran lainnya segera terlintas. Buru-buru Hyan
mengambil berkas lain dari laci kerjanya dan menyimpan dokumen yang barusan ia
bawa dari ruangan meeting tadi.
Berjalan cepat Hyan menuju satu
arah, ruangan Supervisornya. Ia ketuk pelan dan terdengar sahutan dari dalam
ruang tersebut. “Masuk,” jawaban datar dari dalam itulah yang membuat Hyan
mulai membuka pintu.
“Hyan, silahkan duduk.” Supervisor
melirik sedikit Hyan karena fokus pada satu buku tebal yang sedang dibacanya.
“Baik pak, terima kasih.” Hyan duduk
sembari meletakkan dokumen yang ia baru ambil dari lacinya.
“Ada hal yang ingin kamu bicarakan
Hyan?” Kata si Supervisor kepada Hyan sambil menutup buku tebal yang ia baca. Fundamental of Chemistry, Hyan sedikit
melirik juduk buku tersebut sebelum bersuara.
“Begini pak, saya tahu ide untuk
proyek saya barusan telah ditolak dan memang tidak akan ada harapan lagi untuk
disetujui di kemudian hari kelak. Oleh karena itu saya ingin mencoba
peruntungan lain pak. Mengajukan ide proyek berikutnya.” Segera Hyan memulai
dengan semangat yang memabara. Ya, begitulah seorang Hyan saat satu hal gagal
terjadi maka di matanya ada hal lain yang mungkin saja bisa dilakukan. Tanpa
pernah menyerah untuk sebuah harapan.
“Hyan, kamu tadi tidak mendengarkan
dengan seksama apa yang Pimpinan Depertemen katakan. Untuk saat ini sebaiknya kamu
fokus menyelesaikan beban analisis yang sudah menjadi tanggung jawab kamu.” Pak
Supervisor mejekaskan dengan tenang.”
“Tapi pak, saya yakin saya bisa
menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan kepada saya sambil mengajukan proyek
baru.”
“Saya mengerti dengan kemauan serta
kemampuan kamu. Kamu harus sadari Hyan, kita perusahaan multinasional bukan
lembaga riset. Kepedulian serta antusias kamu yang amat sangat besar terhadap research memamng luar biasa dan juga hal
itu didukung dengan bakat kamu.”
“Oleh karena itulah pak, saya mau
kembangkan bakat sekaligus juga turut berkontribusi pada perusahaan ini.”
“Saya
paham kamu sangat peduli, tapi tetap saja keputusan pimpinan kepada saya adalah
kamu, Hyan, untuk sementara bekerja sesuai sengan tugas dan kewajiban yang
diembankan padamu.”
“Saya mohon, dengarkan penjelasan
saya dahulu mengenai proyek ini pak.” Hyan meyakinkan. “Proyek ini berkenaan
tentang Bioremediation pak.
Penggunaan isolat enzim pada limbah hasil produksi Pulp perusahaan ini pak.”
“Hyan, kamu sudah pikirkan isolatnya
dari mana? Serta kemampuannnya seperti apa? Belum kan? Jangan membebani pikiran
kamu sendiri.”
Hyan hanya terdiam, apa yang
dikatakan Supervisornya benar. Tapi menurut Hyan dalam hati semua itu bisa
dicari segera.
“Saya berharap kamu mengerti, bahwa
perusahaan ini tidak dapat memberikan dana serta waktu terhadap riset kamu.
Para pimpinan membutuhkan shortcut
yang pasti terhadap penyelesaiaan permasalahan yang ada. Saya mengerti ide-ide
yang kamu berikan selalu menarik dan bagus dalam penyelesaiaan beberapa masalah
di perusahaan ini. Tapi sayangnya belum valid
seratus persen.” Penuh ketenangan dan penjelasan runut sang Supervisor
menerangkan pada Hyan.
“Baiklah, mohon maaf saya mengganggu
kesibukan bapak.” Hyana hanya bisa menjawab singkat. Ia telah tau bahwa ada
arahan yang jelas tentang ide barunya tersebut.
“Untuk saat ini saya inginkan kamu
tunjukkan kepada pimpinan bahwa kamu punya
kualitasa dalam penyelesaiaan tugas serta beban kerja yang kamu emban.
Jika kamu sudah tunjukkan progress
selama hari-hari kamu bekerja, setelahnya saya yakin tanpa perlu kamu ajukan
pun nanti pimpinan akan mempercayakan kamu untuk proyek lain ke depannya.”
“Iya pak.” Jawab Hyan singkat. Walau
sebenarnya Hyan ingin mengatakan bahwa ia tidak dapat menunggu terlalu lama
lagi. Keberhasilan proyek yang ia sendiri ajaukan serta tangani akan memnerikan
nilai positif di mata para pimpinan. Semua orang di perusahaan itu juga tahu
hal itu. Semua usaha yang Hyana lakukan juga karena perkembangan karirnya.
Supervisornya pun menambahkan, “Saya
harap kamu tidak tergesa-gesa dalam bersikap serta memutuskan. Jika
kesempatannya datang kamu pasti telah matang untuk apapun itu.”
Hyan hanya mengangguk pelan lalu
dengan tenang jaulah ia keluar ruangan Supervisornya tersebut. Perjalanannya
justru mengarahkan ia ke toilet pria, tidak langsung menuju meja kerjanya.
Hyan mencuci mukanya, berkaca pada
cermin bersih toilet smabil mengenang apa yang dikatakan Supervisornya bahwa
kepentingan perusahaan adalah mengarah kepada pengaplikasiann sebuah metoda,
bukan research. Hyan tertunduk,
sempat kecewa ia dengan pilihannya bekerja pada perusahaan ini. Awalnya ia
berharapa dapat mengembangkan potensinya, tapi apa daya. Realita dunia kerja
berbicara berbeda.
Sekembalinya dari toilet Hyan memilih
jalan lain yang melalui arah menuju pintu depan gedung tersebut. Pintu yang
tadi pagi jadi pintu awal semangat ia bekerja, seperti awal pertama ia bekerja.
Semangat dengan harapan serta mimpi-mimpinya. Pintu yang kini Hyan pandangi
lama itu, kelak mungkin saja bisa menjadi tempat keluarnya ia dari perusahaan
ini. Perpisahan untuk menuju dunia baru di luar sana yang barangkali mampu
memberikan pengharapan yang Hyan harapakan. “Who Knows?” hanya gumaman
sederhana itu yang bisa Hyan katakan sembari tersenyum dan berjalan menuju
ruangannya, meja kerjanya, yang saat ini jadi tanggung jawabnya. Jadi sandaran
untuk Hyan.
Tanpa harus berdilema ria, Hyan
melanjutkan pekerjaannya. Ia tahu bahwa hari ini lagi-lagi bukan hari
keberuntungannya untuk menyampaikan ide-ide briliannya. Berkeluh kesah tiadalah
prinsip yang mengakar dalam diri Hyan.
Tiada lepas asanya untuk terus
berusaha hingga bersua dengan apa yang disebutk kesuksesan. Hyan hanya jadi
teringat sebuah tulisan yang buram dan samar siapa sang pencetusnya, tapi
tulisan itu menjadi pegangan Hyan dan diikrarkannya tiada ragu. Seorang Hyan,
ingin menggenggam dunia di tangannya, dunia bukanlah menjadi salah satu hal yang
menempati satu ruang di hatinya. Tiada ingin seorang Hyan hanya pasrah dan
bernaung pada takdir yang ia terima selama masih bisa terus dicoba.
Selayaknya sebuah hati sang idaman
nantinya yang selalu akan Hyan perjuangkan, tnapa harus dipaksakan.
“Bagaimana hasilnya tadi?”
percakapan tersebut dimulai ketika istirahat siang berlangsung, di cafetaria perusahaan tepatnya.
“Yaah, begitulah bang Ye.” Awab
Hyana datar, menunduk. Lebih memperhatikan makan siangnya ketimbang pertanyaan
seniornya tersebut.
“Kelihatan dari wajahnya nih. Sendu
sekali.” Ucap pria tersebut sambil tersenyum berharap apa yang dikatakannnya
menjadi penghibur bagi Hyan.
“Takdirnya sudah begitulah bang.
Pengajuan proyek baru saya ditolak lagi oleh pimpinan. Saya ya, bisa apa lagi kan.
Terima saja.” Jawab Hyan tenang sambil tersenyum membalas senyuman seniornya
tersebut dan juga ingin menunjukkan bahwa ia baik-baik saja tanpa perlu ada hal
yang dikhawatirkan.
“Mungkin bukan waktunya, lain kali
ada kesempatan kok. Sabar aja.” Balas senior Hyan menimpali.
“Iya bang.” Jawaban singkat itu saja
yang jelas-jelas ingin Hyan katakan karena Hyan dari awal memang telah lebih
dahulu tertarik pada makan siangnya ketimbang harus memabahas kegagalan yang
barusan terjadi. Justru Hyan sedikit tersenyum, senyum tersembunyi yang tidak
ingin ia tunjukkan pada orang-orang di sekelilingnya, termasuk kepada seniornya
tersebut.
Alasan senyumnya itu adalah pernyataan
aneh yag pernah ia dengar dari teman baiknya dulu ketika masih menyandang
status mahasiawa. Seorang temannya tersebut berpendapat bahwa, “Kegagalan yang
terjadi di awal sesungguhnya adalah awal dari kegagalan-kegagalan lainnya”.
Kala itu, pernyataan tersebut benar-benar memberikan tawa riang. Apalagi saat
ada seorang teman yang ditolak cintanya. Benar-benar menjadi bahan tertawaan. Masa-masa
menjadi mahasiswa yang sangat membekas bagi Hyan.
Hyan bergegas menyelesaikan makan
siangnya selayaknya ia juga ingin segera bergegas menyelesaikan hari ini. Ia
ingin beristirahat dan bangun lagi esok hari. Setiap malam seorang Hyan selalu
menyempatkan diri memandangi satu poster besar di kamarnya yang berlatar
gugusan bintang, Andromeda bertuliskan ‘Masih Punya Mimpikah Hari Esok?’
Seperti harapan Hyan, waktu berlalu
begitu cepat karena fokusnya ia dalam bekerja. Kini ia telah menunggu bus yang
membawanya pulang. Waktu secepatnya selayaknya semudah menekan tombol rewind pada suatu pemutar musik. Pandangannya
kembali tertuju pada langit biru senja. Birunya yang tiada samar ditambah
dengan elok bias warna cerah mentari, kuning kemerahan, yang bergulir pulang ke peraduannya sangatlah
menarik hati dan jutaan pasang mata yang meneliti.
Sebentar saja, bus telah berlalu.
Beranjak pelan meninggalkan bayang-bayang gedung tempat Hyan bekerja, samar.
Hyan pun sudah duduk manis di kursi belakang, favoritnya.
Kali ini ia merasa lelah, tiada berbeda
seperti senja-senja di waktu yang lalu ketika Hyan pulang. Hyan lebih memilih
memasang kembali konektor musik yang tertancap dari ponselnya menuju telinga.
Alunan nadanya tenang, playlist
berisi lagu favoritnya berdendang mesra. Hyan menutup mata sejenak, ia memilih
beristirahat selama perjalaan pulang sama dengan pilihan orang-orang lain di
dalam bus tersebut.
Hari ini ingin ia tutup dengan tenang,
setenang hamparan senja. Esok hari akan jadi hari-hari biasa sang pekerja
pengejar harapan.
Waktu berputar, Hyan kembali dalam
sekelumit keseharian yang harus dijalani dan melupakan sejenak ide-ide yang ada
di ruas-ruas dalam otaknya. Bosan barangkali terasa namun begitulah Hyan
berusaha berjalan hingga ia sendiri saja tidak tahu kejutan-kejutan apa saja
yang menantinya di depan sana.
Hingga suatu pagi seorang temannya
meminta sebuah pertolongan untuk dapat membantu dalam hal pengajuan permohonan
pinjaman ke suatu Bank swasta. Hyan yang telah punya pengalaman dalam hal ini
tanpa ragu meyanggupi untuk membantu hingga ia akhirnya memohon cuti sehari
kapada Supervisornya.
“Jemput ya, sob?” Hyan berbicara melalui
ponsel kepada temannya tersebut.
“Ok, sip bro. Nanti jam 10. Tunggu
saja.” Jawab pembicara lainnya.
Tak berapa lama pun apa yang Hyan tunggu
akhirnya datang jua. Temannya yangs atu ini menyambut dengan senyum riang dan
membuka pintu mobilnya. “Masuk bro.”
Hyan hanya mengangguk kauat alalu masuk
sembari membalas senyum riang temannya tersebut. “Apa kabar kerjaan?”
“Kerjaan? Baik dong, lancar bro.” Jawab
temannya sambil terus fokus melajukan kendaraannya.
“Cuti hari ini sob?”
“Iya lah, capek juga terus-terusan kerja
bro.”
“Haha,” tertawa juga temennya Hyan tersebut
mendengarnya sedikit berkeluh kesah. Sembari menyandarkan miring tubuhnya Hyan
meraih player music dan terdengarlah
beberapa alunan lagu.
Selama perjalanan yang disertai tawa
lepas temannya mendengar Hyan bercerita mengenai pekerjaannya, cukup menghibur
kala tiap-tiap macet tiba. Hingga tiada terasa telah sampai keduanya pada apa
yang mereka tuju. Setelah memarkirkan mobil, keduanya masuk ke dalam dan disambut
sapaan hangat security hingga memberi
petunjuk apa yang sebaiknya diperbuat.
Praktis Hyan hanya bertugas menemani
temennya tersebut hingga menemui bagian customer
care Bank. Sisanya temannya tersebut telah berdua-ria dengan pegawai manis
di sana, sedangkan Hyan harus menunggu di kursi yang sudah tersedia.
Tiada yang menarik di sekeliling Hyan
selain melihat orang-orang lain yang menghadapi nasib menunggu seperti Hyan.
Entah itu untuk keperluan pribadi atau keperluan lainnya. Hyan justru melihat
suasana baru ketimbang narus di kantor saat ini.
Untuk menghilangkan gundahnya Hyan
berdiri dan pelan-pelan melangkah, mengambil brosur yang biasa banyak tersedia
di area tungu tersebut. Mungkin itulah salah satu kegunaan banyaknya brosur
tertumpuk di sana, ketimbang harus ditemani ponsel lagi. Hyan memang sedikit
miris melihat orang-orang yang hanya mengisi kesendirian mereka dengan lebih
nyaman bersaman ponsel. Padahal sedang berada di ruang publik.
“Hyan.” Suara lembut itu terdengar
sedikit mengejutkan Hyan yang saat ini fokus membaca bait demi bait informasi
dalam brosur.
Hyan secepatnya menoleh ke arah datangnya
suara, “Tennry?” terkejut jua Hyan saat melihat sosok di hadapannya. Sama
halnya dengan perempuan tersebut, terkejut tiada percaya.
“Kok bisa di sini?” secepatnya perempuan
tesebut bertanya ingin tahu.
“Hmm, saya menemani teman tuh.” Sambil
menunjuk ke satu arah di seberang sana.
“Oh, begitu. Ya ampun, sudah lama sekali
ya kita tidak bertemu. Kerja di kota ini sekarang?” Tanyanya lagi.
“Tidak, saya kerja di luar kota. Tapi
saat ini domisili saja di kota ini.” Hyan menerangkan.
‘Baiklah kalau begitu, saya harus
kembali lagi ke ruangan kerja saya. Selamat menunggu ya.” Senyum riang melepas
kepergian perempuan itu.
Hyan hanya menatapnya menjauh, perempuan
dengan pakaian biru dongker sebagai seragam kerjanya itu masuk ke salah satu
ruangan yang bertuliskan staff only.
Kembali Hyan bergelut lagi dalam kesendiriannya di antara banyak orang di sana
untuk menunggu temannya selesai. Tetapi satu hal yang membuat Hyan tersenyum
kecil, hingga akhirnya bergumam pelan sambil menunduk menatap brosur yang ia
genggam sejak tadi, “Cantik.”
Tanpa Hyan duga justru temannya telah
berada di belakangnya, menepuk punggung Hyan. “Yuk bro.”
Hyan berbalik, “Beres sob?”
“Beres dong, kan cuma mengajukan dokumen
permohonan pinjaman saja. Jika nanti benar di approve ya pihak Bank akan segera menghubungi untuk transaksinya.”
“Mau kemana lagi?” tanya Hyan setelah
menaruh kembali para brosur.
“Kita ngopi dulu lah, masih pagi kan?”
kata teman Hyan memberi saran.
“Ok sob, tapi traktir ya?” balas Hyan
sambil mengangkat alisnya dan tersenyum licik.
“Iya deh iya. Traktir. Buat kamu apa sih
yang gak bro.” Sambil merangkul punggung Hyan dan berjalan keluar menuju area
parkir.
Tepat saat Hyan akan keluar, berlalu jualah
perempuan yang ia temui tadi. Temannya yang lebih dahulu berjalan ke parkiran
tiada hirau raga ia terhadap ketertinggalan langkah yang terjadi pada Hyan
karena adanya hal mengganjal, sedikit.
“Sudah mau pulang ya?” si perempuan itu
berbicara terlebih dahulu.
“Iya, sudah selesai kok keperluan di
sini.” Jawab Hyan tenang.
Senyum itu tiada hilang dari bibir si
perempuan,”Minta nomornya boleh Hyan? Lain waktu mudah-mudahan kita bisa
ngobrol santai. Tidak seperti sekarang ini, saya lagi kerja.’
“Boleh kok, saya juga mengerti kesibukan
orang yang sedang bekerja.” Senyum balasan Hyan pun tak kalah manis.” Hyan pun
mengambil ponselnya dan kedua insan tersebut sibuk berbagi angka pada
ponselnya.
Hyan pun hanya melepas senyum terakhir
setelah transaksi legal tersebut terjadi, dia berjalan keluar gedung sementara
perempuan yang satu itu berbalik menuju ruang kerjanya. Hanya punggung mereka
yang saling berhadapan kokoh. Opposite.
Hyan, temannya serta kendaraan yang
mereka duduki kini beranjak berlalu dari area parkir menuju salah satu cafe
terbaik di kota tersebut untuk sedikit bersantai. Selama perjalanan hanya diisi dengan riuh
suara temannya Hyan yang menyetir sambil berdendang mengikuti alunan nadanya
Steven & Coconut Tree. Hyan lebih menyibukkan diri dengan lamunan
panjangnya tanpa peduli terhadap kreasi suara yang dibuat-buat oleh temannya
atau pada desak-desakan sekeliling kendaraan saat menghadapi macetnya lampu
merah.
Kenangan bergulir cepat, Hyan teringat.
“Kita
main yuk.” Suara kecil dari gadis cilik itu menggema ketika bel tanda istirahat
berbunyi.
Anak-anak
lain sibuk berhamburan keluar, begitu jualah Hyan kecil dan teman-teman Sekolah
Dasar lainnya. Hyan beranjak mengikuti
arah suara tadi, ia telah melihat lima teman lainnya berada di sana. Dua orang
anak lelaki sekelas serta sebayanya, ada juga tiga gadis kecil riang menyambuat
Hyan.
“Hyan,
ayo main.” Gadis kecil itu kembali bersuara, kali ini jelas mengarah pada Hyan
kecil.
“Iya.” Hyan
bersuara tak kalah riang mengikuti arah teman-temannya yang telah lebih dahulu
berlari menjauh menuju taman sekolah.
Keenam
anak-anak berusia delapan tahunan asyik bernyanyi serta bermain riang di taman.
Suatu lukisan hidup yang di dalamnya hanya diwarnai oleh alur keceriaaan. Tiada
beban kala itu karena memang dunia anak-anak adalah dunia bermain yang ceria.
Saat itulah justru indahnya masa kecil terasa sempurna bagi Hyan.
“Main
raja-putri yuk.” Slah seorang teman lelaki Hyan menyarankan.
“Iya
yuk, capek terus-terusan main lari-larian.” Timpal yang satunya lagi, si gadis
kecil tadi diawal berteriak riang pada Hyan.
“Aku
jadi rajanya.” Segera suasana malah ribut karena pemilihan tokoh tanpa rias
dalam permainan tersebut. Sedangkan Hyan? Lebih memilih diam terlebih dahulu
saat semuanya saling berargumen siapa yang paling pantas untuk memerankan satu
tokoh.
Saat
itulah, satu gadis kecil lain yang sedari awal lebih banyak diam menghampiri
Hyan kala yang lain masih sibuk berpendapat dalam berperan rupa di sana.
“Kamu
tidak ikut Hyan?” tanya si gadis.
“Ikut.
Tapi saya tidak berharap jadi raja kok.” Jawab Hyan.
Si gadis
tersebut heran dengan jawaban tenang Hyan, ”Lho? Milih jadi apa?”
“Jadi
Ksatrianya.” Jawab Hyan dengan senyum mantap.
“Kenapa
pilih itu?” tanya si gadis kecil makin heran.
“Jika
saya jadi ksatrianya, saya bisa melindungi tuan putri.” Hyan brujar.
“Tapi
kamu tidak bisa berpasangan dengan tuan putrinya jika pilih jadi ksatria.” si
gadis berpendapat.
“Tidak
apa.” Jawab Hyan dengan senyumna lagi tanpa ragu.
Seorang
Hyan, tampak sudah dari kecilnya memilih sesuatu yang berbeda dari kebanyakan
pilihan orang. Pilihan yang telah ia pilih pun tiada pernah disesali bahkan
justru diperjuangkan. Seperti satu mimpi yang tiada pernah juga ia pernah mau
lupakan, menyentuh anggun bersih salju.
Setelah
perdebatan panjang diantara teman-temannya, akhirnya bermain juga mereka.
Tersebutlah
suatu kerajaan yang memilili seorang ratu serta dua orang anaknya yang cantik jelita.
Hingga karena kecantikan keduanya akhirnya hendak dinikahkan dengan raja dari
kerajaan lainnya, namun apa daya ketika raja dari kerajaan lain itu jendak
datang melamar, kedua anak raja tersebut diculik. Maka diutuslah seorang
ksatria istana untuk menyelamatkan keduanya.
Setelah
melalui perjalanan panjang dan
pertempuran hebat, sang ksatria berhasil membebaskan kedua putri tersebut dan
mengalahkan sang penculik. Kemudian mereka kembali ke istana dengan selamat.
Ratu istana
dan raja dari kerajaan lain tersebut telah lama menunggu kedatangan mereka,
turut bersuka cita. Raja dari kerajaan lain tersebt akhirnya memilih satu
diantara dua putri cantik jelita tersebut hingga di adakanlah pesta pernikahan
yang meriah.
Tahukah
kamu bagaimana dengan putri cantik lainnya? Ia telah lebih dahulu jatuh hati
kepada sang ksatria karena keberanian ksatria tersebut dan menyampaikan isi
hatinya itu kepada ratu agar ia tidak dipilih raja dari kerajaan lain yang hendak
melamar. Ratu pun mengabulkan apa yang diminta salah satu putrinya tersebut.
Di akhir
cerita hanya pernikahan raja dan salah satu putri tersebut yang terjadi.
Sedangkan putri lain yang jatuh hati pada sang ksatria masih menyimpan
perasaannya dan menunggu sang ksatria benar-benar datang padanya.
Anda
pasti sudah tahu siapa yang berperan meiunjadi sang ksatria, tapi siapa sangka
yang berperan sebagai putri cantik jelita yang menyimpan perasaan padanya
adalah seorang perempuan dewasa yang kini ditemui lagi oleh sang ksatria
tersebut setelah berpisah hampir tujuh tahun lamanya.
Hyan tersadar dari lamunan masa
kecilnya, kini ia dan temannya sudah tiba di cafe yang dituju. Duduk berdua saling tertawa lepas kedua lelaki di
sana mengenang masa-masa kuliah dahulu. Tapi sejenak Hyan melihat keluar ruang cafe, menatap mentari dan langit biru
yang harmonis kala itu sambil bergumam satu nama kecil, “Tennry”. Hari-hari ke
depan Hyan harap ada kejutan tak terduga lainnya yang ingin ia nantikan.
Setelah satu hari pertemuan bermakna
tersebut, entah kenapa arus imteraksi serta koneksinya mengarah pada satu nama.
Apakah itu melalui sosial media, pesan singkat maupun panggilan ponsel yang
sekedar berisikan cerita-cerita atau sapaan ringan. Walaupun Hyan tiada lagi
memiliki waktu untuk bertemu dengan perempuan tersebut, tetapi semua lancar.
Hingga parahnya justru ketika Hyan
menyadari ada satu perempuan di kantornya yang berbeda Departemen dengannya
ternyata mirip dengan Tennry. Hingga tiap hari apalagi saat makan siang selalu
Hyan temui sosoknya. Hal yang tiada Hyan sadari tersebut lama kelamaan membuat
ia kemungkinan jatuh hati pada teman masa sekolah dasarnya dulu, Tennry.
Interaksi dominan yang terjadi antara
Hyan-Tennry, serta tiap harinya Hyan besua dengan sosok yang rupanya seperti
Tennry benar-benar mengejutkan hati Hyan saat ia menyadari bahwa ia menyukai
pribadi Tennry.
Seorang Hyan bisa jatuh hati jua kiranya
setelah lama ia tiada mengucap kata itu lagi karena sibuk pada pekerjaannya.
Mengecap rasa indah yang banyak para penafsir, filusuf selalu karangkan dalam
sajak-sajak tunggal nan menggagumkan.
Hyan, dulunya telah mengarungi dunianya
bersama perempuan-perempuan yang di dekati ternyata bersua kembali juga dengan
Tennry yang dulunya juga telah menjalani hari-hari haru bersama banyak lelaki,
entah kenapa dipertemukan kembali.
“Sepertinya saya jatuh hati sob.” Hyan
memulai pembicaraan baru saat kembali jalan dengan teman yang ia temani kala di
Bank waktu itu.
Terkejut, si teman cepat bertanya.
“Serius bro? Sama siapa? Pegawai baru di kantor yang kamu ceritakan tempo
hari?”
Hyan menggeleng, “Bukan.” Sambil
mengaduk-aduk ice capuccino-nya.
Di cafe
tempat mereka biasa duduk, minggu pagi siang cerah. Hyan akhirnya mulai
bercerita mengenai kedekatannya dengan Tennry dua bulan terakhir ini.
“Terus siapa?” kembali temannya bertanya.
“Teman masa kecil yang bertemu kembali.”
Tenag, Hyan brujar
“Wuih, klasik nih. Sudah bro, jangan
cerita yang berat-berat.” Sedikit melengahkan suasan agar kembali santai.
“Serius ini.” Kata Hyan sedikit
tersenyum.
“Iya bro, saya tahu kamu serius.
Maksudnya jangan terlalu ber-roman ria.”
Hyan pun heran, “Maksudnya?”
“Maksudnya, sudah dinyataain belaum?”
“Nyatain?” Hyan sedikit terkejut.
“Diajak jalan keluar saja belum pernah”.
Justru temannya Hyan lebih terkejut lagi,
“Apa? Belum ada ketemuan dan jalan. Nah, ini nih bro yang jangan
klasik-klasikan. Semenjak kuliah aja saya kenal kamu bro, tidak berubah ya.
Selalu saja seperti ini jika benar-benar ketemu gadis pujaan, sedangkan
perempuan yang bukan pujaan hanya kamu dekati lalu pergi tanpa memberi
kepastian.” Jelas sang teman mengenang masa-masa kuliah dahulu.
Hyan hanya tertunduk dan mengangguk
pelan menandakan apa yang diutarakan temannya tersebut adalah benar adanya.
“Jika memang sudah dekat dan kamu yakin
dialah sosok bidadari yang selama ini kamu selalu nyatakan untuk kamu cari bro,
maka sebaiknya jangan tunda-tunda lagi.”
“Iya sih, tapi saya belum ketemu dengan
waktu yang tepat sob.” Hyan beralasan.
“Sibuk karena pekerjaan? Sudahlah jangan
menambah daftar panjang alasan-alasan tidak logis begitu dong bro. Seperti yang
selalu saya katakan Cinta Itu Rasional.” Sambil menunjuk satu jarinya, teman
Hyan mengingatkan sesuatu.
“Iya, saya tahu.” Hyan menjawab pelan.
“Karenanya, saya hanya ingin dengar kamu
sudah ada kemajuan dalam hal ini nantinya bro. Tidak perlulah saya ajarkan kamu
kan?”
“Ya iyalah.” Jawab Hyan cepat hinga
keduanya tertawa lepas kembali.
Hyan hanya ingin menemukan waktu yang
tepat saja untuk mengungkapkannya. Kapan? Entahlah. Tetapi yang jelas Hyan
punya rencana akan mengajak Tennry untuk keluar di satu malam cerah yang belum
tahu kapan setting serta tepatnya
tempatnya kelak.
Memilih-milih waktu, seorang Hyan
akhirnya temukan semua yang ia butuhkan. Hampir-hampir Hyan juga malah telah
memastikan perakiraan cuaca segala.
Sebuah pesan singkat ia kirimkan seusai
makan siang kepada Tennry yang tiada balasannya. Hyan tahu dan sudah biasa
dengan hal ini. Ia tahu jika Tennry tidak selalu bisa mengecek pesan masuk
dalam ponselnya.
Pesan singkat itu hanya berbunyi, “Jika
kamu tidak keberatan, malam ini saya tunggu kamu di Homeland tepat saat makan
malam.”
Hanya itu saja, tiada apapun yang Hyan
tulis agar terkesan ada sesuatu yang serius ingin disampaikan dan Tennry pun
mau menyempatkan waktunya untuk bertemu Hyan.
Namun hingga sore hari pun tiada balasan
dari Tennry, sempat cemas dan ragu melanda Hyan bagai ombak menggulung dengan
kecepatan 100 KM/jam menubruk tepian karag di pantai. Selama perjalanan pulang
dari kantor, Hyan yang biasanya tertidur pulas kini tampak tiada bisa
memejamkan matanya. Deras musik yang mengalir di telingannya bukan lagi jadi
tasbih-tasbih di bibirnya karena lamunannya semakin meluas karena melihat
mentari senja yang hendak pulang kandang. Menantikan kejutan apa lagi yang
terjadi pada kisahnya kali ini.
Sesampainya Hyan di rumah segera ia
bergegas bersiap, melihat kembali ponselnya namun tetap tiada balasan. Nihil.
Keluar rumah dan masuk ke dalam mobilnya, menstater dan menjalankan kendaraan
tersebut pada satu tujuan.
Sialnya, macet menyertainya hingga tiada
daya bagi seorang Hyan. Hujan menemaninya selama perjalanan menuju Homeland.
Kala dalam perjalanan Hyan sempat mengutuk pelan prakiraan cuaca yang invalid.
Butir-butir air hujan yang tersapu di
kaca depannya semakin mengesalkan bagi Hyan. Hal tak terduga ini benar-benar
membuatnya jengkel setengah mati. Beruntungnya Hyan, setibanya di Homeland
hujan pun reda. Punya titik-titk kecil dari langit yang sedikit memberi nuansa
dingin pada pori kulinya.
Hampir setengah jam Hyan berseliweran di
area Homealang yang sepi tersebut. Tennry tidak datang, karena tidak akan sulit
mnacari seorang perempuan dewasa di luas taman bermain yang cukup sepi itu.
Hyan melihat ke arah jam tangan sportnya
lalu mengecek ulang ponselnya jika saja ada informasi yang Tennry mau
sampaikan. Namun tetap, tiada. Hyan malah berjalan pelan menuju mobil
klasiknya, terduduk diam ia di sana beebrapa saat. Hening.
Pelan ia menstater mobilnya, mengingat
filosofi yang diterangkan temannya tempo hari yang lalu dan memberikan
semanagat kuat Hyan untuk mengunjungi kediaman Tennry. Begitulah Winter, saat kita temukan cinta di
dalamnya, seakan-akan menemukan baju hangat yang selama ini kita butuhkan dan
nantikan.
Sebentar saja, Hyan telah berada di
depan pintu kediaman Tennry. Memencet bel tanda keberadaannya di sana. Pintu
pun terbuka tanpa Hyan harus menunggu lama. Tennry di sana yang langsung
membukakan, seakan fisarat hatinya benar bahwa Hyan akan datang juga bagai
telepati tiada batas kesalahannya.
“Hyan.” Tennry menyebut nama itu saat
telah yakin melihat sosok siapa yang berdiri tepat di depannya.
“Pesan singkat saya sudah kamu terima?
Sudah dibaca?” Tanya Hyan menyambung segera.
“Hmm.” Terdiam tertahan.
“Ada apa?” tanya Hyan pelan.
“Jujur Hyan, saya ragu.”
Hyan sedikit terkejut dengan pernyataan
tersebut. “Ragu?” Hyan meminta penjelasan.
“Iya, ragu dengan keadaaan ini.” Tennry
berujar tanpa mau menatap wajah Hyan.
“Saya tidak pernah ragu.” Terlontar
cepat kata-kata itu dari bibir Hyan yang membuat Tennry terpedaya untuk melihat
Hyan.
“Kamu ingat ketika kita dekat sekali
saat kecil dulu, bermain bersama. Hingga akhirnya kita terpisah karena berbeda
SMP. Namun suatu waktu saya melihat kamu datang di sekolah saya, duduk manis
dalam mobil itu. Saya hanya melirik tanpa kamu tahu dan tersenyum hingga
akhirnya saya berlalu pergi. Apa kamu ingat juga, saat saya menyapa kamu di
hari pertama pengenalan kala SMA. Saya tersenyum lagi untuk kamu dari tempat
duduk saya di belakang tanpa juga sosok yang diberi senyum tersebut sadari.
Hingga setelah sekian lama terpisah karena kita hanya setahunan saja satu SMA,
lalu kini kita bertemu lagi. Saat saya sadari ternyata selalu ada kamu dalam
tiap stage-stage kehidupan saya walau
hanya seperti bayang-bayang yang seketiak hilang tanpa jejaknya. Tanpa saya
duga dan saya sadari, saya jatuh hati dan tidak pernah ragu untuk ungkapkannya
kini.” Hyan berhenti sejenak lalu menghela nafas panjang, pandangan sempat
menghadap langit sebentar, berbintang. Lalu memandang Tennry lagi.
Tennry hanya memandang harap Hyan,
“Benarkah?”
Hyan terdiam sejenak dan berkata pelan
dengan senyum tipisnya, “Iya. Kamu, Tennry.”
“Terima kasih. Tunggu.” Hanya itu yang
Tennry ucapkan lalu bergegas kembali ke dalam kamarnya meninggalkan Hyan yang
justru terheran-heran sendiri berdiri.
Beberapa menit Hyan berdiri menunggu
tanpa isyarat apapun di depan pintu menanti Tennry kembali. Malah ia lebih
memilih membelakangi pintu masuk dan mengarahkan matanya ke langit cerah
berbintang. Hyan berbisik sedikit, “Ternyata perakiraan cuaca tidak salah
juga.” Hyan pun tersenyum.
Hingga suara pelan menyahuti kegiatan Hyan
memandang bintang malam, “Hyan.”
Hyan berbalik cepat karena mendengar
suara yang ia kenal itu, memang hanya datang dari satu orang.
“Yuk, katanya mau ke Homeland.” Itu
Tennry, mempesona dandanannya hingga berdecak kagum rupa Hyan kini.
“Ayo, jangan melamun.” Suara Tennry
menyadarkan Hyan karena hanya mematung memandang satu bidadari cantik di
hadapannya. Bergegas Hyan menuju mobilnya bersama Tennry, menstater mobil dan
menjalankan menuju tempat yang menjadi kenangan dalam kisah Hyan kali ini.
Esok hari, siapa yang tahu akan datang
kejutan apa lagi yang singgah bernaung padanya. Hyan siap menerima
kejutan-kejutan itu dengan satu rasa, bahagia.
Begitulah Winter, saat kita temukan cinta di dalamnya, seakan-akan menemukan
baju hangat yang selama ini kita butuhkan dan nantikan.
Bogor, Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks buat komentarx..:)