Jumat, 08 Agustus 2014

Season: Winter (Hyan Session)

Pagi ini seorang Hyan telah bersiap-siap. Belum lagi berujar burung-burung pagi ia telah bangun. Belum lagi sang mentari menjelma di angkasa biru ia telah keluar dari peraduan tidurnya. Belum lagi sang sejuk embun berganti hangat dan pesona pagi, justru ia telah tegap berada di bumi. Pagi ini Hyan memang harus bangun sedini mungkin, tiada seperti biasanya. Ada presentasi besar yang harus Hyan tampilkan nanti kepada pimpinannya di kantor.
Penasaran menyertai Hyan pagi itu, menangkap sedikit lukis Orange sinar mentari pagi yang hanya segaris, ia keluar dari rumahnya. Melalui pintu depan rumahnya Hyan menapaki menuju arah datangnya cahaya. Sekelebat dingin embun menusuk pori-pori, halus terasa. Lembut. Hal ini mengingatkan Hyan pada sebuah impian sederhana masa kecilnya, menyentuh kekakuan sang salju. Tapi, entah kapan. Hyan masih menggapai angan-angan hingga kini.
Winter, kala dingin yang menusuk raga akan terasa nyaman ketika kita telah temukan baju hangat nan tebal, seperti cinta yang menghangatkan setelah lama berada dalam kekakuaan.  
“Tenang sekali pagi ini, walau basah karena embun tapi sejuk seperti ini yang aku suka.” Gumam Hyan sendiri.
Cukup lama Hyan menikmati pesona indahnya alam seperti ini. Jarang-jarang sekali ia bisa menikmati semua ini karena biasanya ia harus bangun sedikit terlambat dan hasilnya? tergesa-gesa Hyan ke kantor tanpa sempat menikmati pagi yang selalu mengiringinya.  
Tik.tik.tik. detik jam sport Hyan bersuara. Suara kecil yang menyadarkan ia untuk tidak berlama-lama terpesona. Ada keseriusan hari yang harus dijalani. Segera Hyan kembali ke rumahnya mengambil beberapa tool yang telah ia persiapkan untuk penampilannya hari ini.
Semangat gontai tak mau ia tunjukkan, justru membara raga mengalahkan kabut pagi yang akan segera berganti kemilau mentari. Hyan tak mau kalah dengan mentari pagi ini yang seperti biasanya terus bergerak maju untuk terus membara di angkasa sana. KEEP MOVE ON!, itulah jati diri seorang lelaki menurut Hyan, lelaki dengan segala prioritas prinsip-prinsip hidupnya.
“Pagi mas. Ceria sekali tampaknya?” supir bus kantor seperti biasa menyapa Hyan sambil mengangkat alisnya.
“Iya, saya mau mengajukan proyek di kantor. Mudah-mudahan disetujui oleh Kepala Departemen.”
Si supir membalas dengan senyuman sambil sibuk mengendalikan kendaraannya. “Mudah-mudahan sukses mas ya.” Hyan pun bergegas berjalan menuju satu tempat duduk di bagian belakang bus. Tempat yang menjadi favoritnya, di sebelah jendela yang besar. Tempat ia bisa dan biasa melihat langit luas dengan lebih leluasa.
Tidak lupa Hyan pasangkan kedua penutup telinga, konektor penghasil musik dari ponselnya. Belum pagi pun melanda sehingga ia mencoba istirahat sebentar, karena butuh waktu 45 menit untuk mencapai kantornya, Hyan bisa melanjutkan lelap tidurnya. Namun terkadang rasa kantuknya tidak menggoda kembali sehingga justru makin hanyut Hyan melihat terbitnya mentari.
Di ujung langit, garis-garis kekuningan mewarnai. Suasana begitu senyap karena banyaknya penumpang lain yang mempunyai tujuan sama dengan Hyan hanya tertidur. Kantuk pada mereka tiada tertahan mungkin, tetapi perihal tersebut justru dinikmatinya karena tiada gangguan obrolan yang harus Hyan ladeni selama perjalanan. Hyan bisa bahagia bersama awal munculnya sang pagi.
   Bus yang membawanya tepat berhenti di depan sebuah gedung besar tempat ia biasa datang untuk bekerja. Berjalan pelan Hyan hendak turun dari busnya, tersadar cepat ia saat tahu ia telah akan tiba. Mungkin kesenduan pagi memberatkan kepalanya hingga tertidur pulalah ia beberapa saat yang lalu.
“Terima kasih pak.” Sebelum turun Hyan memberikan sebuah ucapan.
Hingga dijawab segera oleh si supir, “Iya mas, semoga sukses.” Hyan melirik sebentar lalu berjalan tegap ia. Walau tahu bahwa gontai raganya lebih kuat mengakar namun segera tanpa ragu Hyan menguatkan diri.
Selama berjalan dipandanginya langit yang sudah kokoh cerahnya pagi ini, lalu menunduk berharap secerah itulah nasib pengajuan proyeknya nanti. Setelahnya Hyan memandang lurus ke pintu utama gedung itu. Masih seperti biasa, terbuka lebar buat siapa saja yang datang sesuai kualifikasi perusahaan atau bagi siapapun yang ingin pergi dari perusahaan untuk mencari petualangan lainnya di luar sana.
“Pagi bang Ye.” Hyan menyapa ramah seorang pegawai lain yang juga telah datang seperti dirinya.
“Hai Hyan, tidak seperti biasanya?” balas lelaki tersebut sambil mengangkat satu alisnya yang tebal. Penasaran juga ia rupanya.
“Iya bang, hari ini sengaja datang lebih awal agar lebih confident saja nanti.” Hyan menerangkan.
Sedikit tersentak bang Ye menepuk keningnya,“Oh iya, maaf saya lupa. Kamu  nanti mau mengajukan proyek ya ke kepala Departemen kan? Bagaimana persiapannya? Semoga sukses ya.”
“Terima kasih bang.” Timpal Hyan dengan senyuman lalu segera beranjak ke meja kerjanya setelah bersantap tegur-sapa kepada rekan kerjanya.
Setelah duduk tenag di meja kerjanya, Hyan membuka beberapa folder yang berisikan hasil-hasil analisis yang pernah dilakukan. Hal ini untuk menambahkan bukti-bukti yang telah Hyan kumpulkan sebelumnya agar Kepala Departemennya yakin untuk menyetujui pengajuan proyek yang ia lakukan.
Jam berganti beriringan dengan makinnaiknya matahari yang makin membentuk kemiringan dengan angka pasti yang semakin besar terhadap satu titik pandangan di bumi tempat Hyan berpijak saat itu. Ia melihatnya melalui satu jendela. Mulai dari derajat-derjat terkecil kemiringannya selaras dengan derajat-derajat kenaikan suhu. Makin terang hamburan sinarnya, semakin panas jua terasa di pori kulit anda.
Hyan kembali melirik jam tangan sportnya, tiada terasa kesibukan di kantor telah menyertainya dari pagi tadi. Hinga kini, hingga saat yang Hyan tunggu tiba juga. Tepat di waktu yang ditentukan, ia bergerak maju dari ruang kerjanya menuju ruang meeting. Setelah ia buka gagang pintunya, Hyan meliht ke dalam ruangan dan masih kosong. Ia sedikit bingung, namun ia lebih rasional pikiran nyata pun menyergapnya. Ia masih melihat sekeliling ruangan, segera menyalakan infocus  dan menstabilakan layarnya.
Setelah semua persiapan selesai, tidak lama pun Kepala Departemen, Wakil Kepala Departemen dan Supervisor Hyan pun Datang. Duduk tenang menghadap-hadap Hyan yang telah bersiap berdiri di depan ruangan. Bersiap, ACTION!
“Saya dengar kamu sudah menyampaikan proposal permohonan suatu proyek. benar saudara Hyan?” Kepala Departemen memulai.
"Benar sekali bu, saya ingin mengajukannya demi kontribusi nyata saya terhadap kemajuan perusahaan ini.”
“Ya, itu yang benar-benar saya harapkan. Baiklah silahkan anda mulai.” Sang pimpinan mempersilahkan Hyan.
“Baiklah, terima kasih. Saya akan memulai untuk menerangkan lebih rinci lagi mengenai proyek yang proposalnya telah saya ajukan beberapa waktu lalu, mengenai Metoda Analisis Termodifikasi pada Logam Tembaga (Cu) yang terdapat dalam Air Produksi Pulp.”
Setelah awalan baik yang dibuka oleh Hyan, maka berlanjutlah ketenangan penyampaian yang ia lakukan. Hingga yang terlihat selama hampir tiga puluh menit tersebut adalah agukan pelan yang berarti tanda setuju dari tiga orang penting yang hadir di sana terhadap pemaparan yang Hyan uraikan.
“Satu hal pasti yang ingin saya ketahui. ”Kepala Depertemen memulai saja pembicaraan setelah Hyan menyelesaikan sekumpulan penerangannya akan proyeknya tersebut.
“Silahkan bu.” Timpal Hyan segera tiada panik menyertainya.
“Bagaimana anda bisa memastikan hasil yang didapat benar-benar akurat dan teliti ketika kuantitas senyawa di dalam sample kecil? Mungkin kadarnya ppm (part per million) atau ppb (part per billion)?” Sambil sedikit mengkerutkan dahi sembari merangkulkan tangan di depan tubuhnya, Kepala Departeman bertanya.
Sejenak Hyan terdiam, sedikit membuka beberapa lembar dokumen pendukung yang sebelumnya telah ia persiapkan untuk dibawa ke ruangan tersebut. “Baiklah bu, saya bisa nyatakan dengan pasti bahwa reaksi pada senyawa logam tesbut akan memberikan warna serta endapan yang jelas terlihat dengan mata. Analis bisa mengukurnya dengan metoda sesederhana Gravimetri.”
“Apa menurut anda, hal itu tidak memakan waktu yang lama, sedangkan masalah ini harus segera diselesaikan oleh perusahaan karena menyangkut kaulitas produksi kita.” Pertanyaan lanjutan segera dilanjutkan Kepala Departemen, sebuah persaingan rumit terlihat jelas dalam percakapan keduanya.
            Lagi-lagi Hyan tertegun, berpikir lalu berujar. “Saya yakin analis mampu mnyelesaikannya dalam waktu cepat. Hal ini dikarenakan sample  yang diberikan dalam tiga waktu yaitu pagi siang dan malam bisa langsung dianalisis hingga keesokan paginya semua data sudah bisa dipakai.”
            “Saya tahu metoda yang anda ajukan sangat efisien dan benar-benar bagus, tapi yang saya khawatirkan adalah metoda ini belum mampu serta valid.”
            Segera Hyan menjawab mantap, “Saya yakin valid bu.”
            “Anda yakin? Anda sudah coba?” Kembali Kepala Departemen menjarah keyakinan Hyan.
            Hingga kali ini Hyan benar-benar sedikt terdiam, tiada bujar lagi ia. Suara kecil pun enggan ia ucapkan. Ia tahu arah pembicaraan ini sia-sia. Namun, tetap Hyan mencoba. “Data-data yang saya kumpulkan valid bu. Semuanya berstandar Internasional.”
            “Hyan, tetap yang saya butuhkan uji konkrit. Kita harus uji dahulu semua metoda ini. Sementara perusahaan, butuh penyelesaiaan masalah ini dalam waktu dekat. Harus segera.” Ia menerangkan sambil bergerak memberikan kejelasan roman kepastiannya.
            Hyan hanya bisa terduduk diam tanpa berkata sepatah apapun, ia hanya coba dengarkan apa yang disampaikan apa yang dijelaskan sang pimpinan kepadanya. Hingga suara sang pemimpin seperti menghilang karena arah pemusatan pikirannya justru pada proyeknya yang lalu berkenan tentang Penjernihan Air Produksi Pulp yang ditolak karena instalasinya kelewat mahal atau pengajuan proyek Pembuatan Membran Semipermeabel dalam Penyerapan Logam pada Air Produksi Pulp yang juga turut ditolak karena bahan pembuatnya yang sulit dicari serta mahal.
            “Jelas Hyan?” Suara lantang Kepala Departemen menegaskan Hyan untuk tersadar dari lamunan lalunya.
            Hyan hanya bisa menjawab cepat tanpa tahu akan apa yang sebelumnya dibicarakan oleh pimpinannya, “Jelas bu.” Air muka Hyan pun berubah drastis. Tertunduk ia. Kecewa, lagi.
            “Baiklah, jika begitu saya putuskan untuk tidak dapat meng-approve proposal anda kali ini. Setuju semuanya?” sang pimpinan melihat ke arah Hyan dan ke arah Wakilnya serta Supervisor Hyan. Anggukan tanda setuju hanya menjadi akhir dari meeting hari itu. Kesemuanya segera keluar dan hanya tinggal Hyan sendiri dalam ruangan terduduk diam memandangi setumpuk dokumen terbaik yang ia bawa agar mendapat persetujuaan. Tapi begitulah, kegagalan pengajuan proyek harus Hyan hadapi, untuk kesekian kalinya lagi.  
            Hyan segera membenahi semuanya, menumpuk dokumen-dokumennya menjadi satu serta merapikan meja ruangan yang tiada kotor dari awal mulainya meeeting hingga berakhir seperti saat itu.
            “Hmm, gagal lagi.” Sambil menghela nafas panjang Hyan bergumam datar dan berjalan keluar ruangan. Menutupnya rapat pintu ruangan tersebut dan segera kembali ke meja kerjanya lagi. Ada deadline analisis lainnya yang harus juga ia selesaikan segera.
            Sesampainya Hyan di meja kerjanya ia memandang analis lain yang sedang bekerja. Tatapan Hyan yang sendu diyakinkan juga dengan roman wajahnya yang pasrah membuat rekan-rekan kerjanya enggan bertanya agar tidak makin memperburuk suasana hati.
            Sejenak Hyan membongkar laci meja kerjanya, niat hati awalnya hendak menumpuk satu dokumen-dokumen yang dibawanya tapi justru ide dan pemikiran lainnya segera terlintas. Buru-buru Hyan mengambil berkas lain dari laci kerjanya dan menyimpan dokumen yang barusan ia bawa dari ruangan meeting tadi.
            Berjalan cepat Hyan menuju satu arah, ruangan Supervisornya. Ia ketuk pelan dan terdengar sahutan dari dalam ruang tersebut. “Masuk,” jawaban datar dari dalam itulah yang membuat Hyan mulai membuka pintu.
            “Hyan, silahkan duduk.” Supervisor melirik sedikit Hyan karena fokus pada satu buku tebal yang sedang dibacanya.
            “Baik pak, terima kasih.” Hyan duduk sembari meletakkan dokumen yang ia baru ambil dari lacinya.
            “Ada hal yang ingin kamu bicarakan Hyan?” Kata si Supervisor kepada Hyan sambil menutup buku tebal yang ia baca. Fundamental of Chemistry, Hyan sedikit melirik juduk buku tersebut sebelum bersuara. 
            “Begini pak, saya tahu ide untuk proyek saya barusan telah ditolak dan memang tidak akan ada harapan lagi untuk disetujui di kemudian hari kelak. Oleh karena itu saya ingin mencoba peruntungan lain pak. Mengajukan ide proyek berikutnya.” Segera Hyan memulai dengan semangat yang memabara. Ya, begitulah seorang Hyan saat satu hal gagal terjadi maka di matanya ada hal lain yang mungkin saja bisa dilakukan. Tanpa pernah menyerah untuk sebuah harapan.
            “Hyan, kamu tadi tidak mendengarkan dengan seksama apa yang Pimpinan Depertemen katakan. Untuk saat ini sebaiknya kamu fokus menyelesaikan beban analisis yang sudah menjadi tanggung jawab kamu.” Pak Supervisor mejekaskan dengan tenang.”
            “Tapi pak, saya yakin saya bisa menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan kepada saya sambil mengajukan proyek baru.”
            “Saya mengerti dengan kemauan serta kemampuan kamu. Kamu harus sadari Hyan, kita perusahaan multinasional bukan lembaga riset. Kepedulian serta antusias kamu yang amat sangat besar terhadap research memamng luar biasa dan juga hal itu didukung dengan bakat kamu.”
            “Oleh karena itulah pak, saya mau kembangkan bakat sekaligus juga turut berkontribusi pada perusahaan ini.”
            “Saya paham kamu sangat peduli, tapi tetap saja keputusan pimpinan kepada saya adalah kamu, Hyan, untuk sementara bekerja sesuai sengan tugas dan kewajiban yang diembankan padamu.”
            “Saya mohon, dengarkan penjelasan saya dahulu mengenai proyek ini pak.” Hyan meyakinkan. “Proyek ini berkenaan tentang Bioremediation pak. Penggunaan isolat enzim pada limbah hasil produksi Pulp perusahaan ini pak.”
            “Hyan, kamu sudah pikirkan isolatnya dari mana? Serta kemampuannnya seperti apa? Belum kan? Jangan membebani pikiran kamu sendiri.”
            Hyan hanya terdiam, apa yang dikatakan Supervisornya benar. Tapi menurut Hyan dalam hati semua itu bisa dicari segera.
            “Saya berharap kamu mengerti, bahwa perusahaan ini tidak dapat memberikan dana serta waktu terhadap riset kamu. Para pimpinan membutuhkan shortcut yang pasti terhadap penyelesaiaan permasalahan yang ada. Saya mengerti ide-ide yang kamu berikan selalu menarik dan bagus dalam penyelesaiaan beberapa masalah di perusahaan ini. Tapi sayangnya belum valid seratus persen.” Penuh ketenangan dan penjelasan runut sang Supervisor menerangkan pada Hyan.
            “Baiklah, mohon maaf saya mengganggu kesibukan bapak.” Hyana hanya bisa menjawab singkat. Ia telah tau bahwa ada arahan yang jelas tentang ide barunya tersebut.
            “Untuk saat ini saya inginkan kamu tunjukkan kepada pimpinan bahwa kamu punya  kualitasa dalam penyelesaiaan tugas serta beban kerja yang kamu emban. Jika kamu sudah tunjukkan progress selama hari-hari kamu bekerja, setelahnya saya yakin tanpa perlu kamu ajukan pun nanti pimpinan akan mempercayakan kamu untuk proyek lain ke depannya.”
            “Iya pak.” Jawab Hyan singkat. Walau sebenarnya Hyan ingin mengatakan bahwa ia tidak dapat menunggu terlalu lama lagi. Keberhasilan proyek yang ia sendiri ajaukan serta tangani akan memnerikan nilai positif di mata para pimpinan. Semua orang di perusahaan itu juga tahu hal itu. Semua usaha yang Hyana lakukan juga karena perkembangan karirnya.
            Supervisornya pun menambahkan, “Saya harap kamu tidak tergesa-gesa dalam bersikap serta memutuskan. Jika kesempatannya datang kamu pasti telah matang untuk apapun itu.”
            Hyan hanya mengangguk pelan lalu dengan tenang jaulah ia keluar ruangan Supervisornya tersebut. Perjalanannya justru mengarahkan ia ke toilet pria, tidak langsung menuju meja kerjanya.
            Hyan mencuci mukanya, berkaca pada cermin bersih toilet smabil mengenang apa yang dikatakan Supervisornya bahwa kepentingan perusahaan adalah mengarah kepada pengaplikasiann sebuah metoda, bukan research. Hyan tertunduk, sempat kecewa ia dengan pilihannya bekerja pada perusahaan ini. Awalnya ia berharapa dapat mengembangkan potensinya, tapi apa daya. Realita dunia kerja berbicara berbeda.
            Sekembalinya dari toilet Hyan memilih jalan lain yang melalui arah menuju pintu depan gedung tersebut. Pintu yang tadi pagi jadi pintu awal semangat ia bekerja, seperti awal pertama ia bekerja. Semangat dengan harapan serta mimpi-mimpinya. Pintu yang kini Hyan pandangi lama itu, kelak mungkin saja bisa menjadi tempat keluarnya ia dari perusahaan ini. Perpisahan untuk menuju dunia baru di luar sana yang barangkali mampu memberikan pengharapan yang Hyan harapakan. “Who Knows?” hanya gumaman sederhana itu yang bisa Hyan katakan sembari tersenyum dan berjalan menuju ruangannya, meja kerjanya, yang saat ini jadi tanggung jawabnya. Jadi sandaran untuk Hyan.
            Tanpa harus berdilema ria, Hyan melanjutkan pekerjaannya. Ia tahu bahwa hari ini lagi-lagi bukan hari keberuntungannya untuk menyampaikan ide-ide briliannya. Berkeluh kesah tiadalah prinsip yang mengakar dalam diri Hyan.
            Tiada lepas asanya untuk terus berusaha hingga bersua dengan apa yang disebutk kesuksesan. Hyan hanya jadi teringat sebuah tulisan yang buram dan samar siapa sang pencetusnya, tapi tulisan itu menjadi pegangan Hyan dan diikrarkannya tiada ragu. Seorang Hyan, ingin menggenggam dunia di tangannya, dunia bukanlah menjadi salah satu hal yang menempati satu ruang di hatinya. Tiada ingin seorang Hyan hanya pasrah dan bernaung pada takdir yang ia terima selama masih bisa terus dicoba.
            Selayaknya sebuah hati sang idaman nantinya yang selalu akan Hyan perjuangkan, tnapa harus dipaksakan.
            “Bagaimana hasilnya tadi?” percakapan tersebut dimulai ketika istirahat siang berlangsung, di cafetaria perusahaan tepatnya.
            “Yaah, begitulah bang Ye.” Awab Hyana datar, menunduk. Lebih memperhatikan makan siangnya ketimbang pertanyaan seniornya tersebut.  
            “Kelihatan dari wajahnya nih. Sendu sekali.” Ucap pria tersebut sambil tersenyum berharap apa yang dikatakannnya menjadi penghibur bagi Hyan.
            “Takdirnya sudah begitulah bang. Pengajuan proyek baru saya ditolak lagi oleh pimpinan. Saya ya, bisa apa lagi kan. Terima saja.” Jawab Hyan tenang sambil tersenyum membalas senyuman seniornya tersebut dan juga ingin menunjukkan bahwa ia baik-baik saja tanpa perlu ada hal yang dikhawatirkan.
            “Mungkin bukan waktunya, lain kali ada kesempatan kok. Sabar aja.” Balas senior Hyan menimpali.
            “Iya bang.” Jawaban singkat itu saja yang jelas-jelas ingin Hyan katakan karena Hyan dari awal memang telah lebih dahulu tertarik pada makan siangnya ketimbang harus memabahas kegagalan yang barusan terjadi. Justru Hyan sedikit tersenyum, senyum tersembunyi yang tidak ingin ia tunjukkan pada orang-orang di sekelilingnya, termasuk kepada seniornya tersebut.
Alasan senyumnya itu adalah pernyataan aneh yag pernah ia dengar dari teman baiknya dulu ketika masih menyandang status mahasiawa. Seorang temannya tersebut berpendapat bahwa, “Kegagalan yang terjadi di awal sesungguhnya adalah awal dari kegagalan-kegagalan lainnya”. Kala itu, pernyataan tersebut benar-benar memberikan tawa riang. Apalagi saat ada seorang teman yang ditolak cintanya. Benar-benar menjadi bahan tertawaan. Masa-masa menjadi mahasiswa yang sangat membekas bagi Hyan.
Hyan bergegas menyelesaikan makan siangnya selayaknya ia juga ingin segera bergegas menyelesaikan hari ini. Ia ingin beristirahat dan bangun lagi esok hari. Setiap malam seorang Hyan selalu menyempatkan diri memandangi satu poster besar di kamarnya yang berlatar gugusan bintang, Andromeda bertuliskan ‘Masih Punya Mimpikah Hari Esok?’
Seperti harapan Hyan, waktu berlalu begitu cepat karena fokusnya ia dalam bekerja. Kini ia telah menunggu bus yang membawanya pulang. Waktu secepatnya selayaknya semudah menekan tombol rewind pada suatu pemutar musik. Pandangannya kembali tertuju pada langit biru senja. Birunya yang tiada samar ditambah dengan elok bias warna cerah mentari, kuning kemerahan,  yang bergulir pulang ke peraduannya sangatlah menarik hati dan jutaan pasang mata yang meneliti.
Sebentar saja, bus telah berlalu. Beranjak pelan meninggalkan bayang-bayang gedung tempat Hyan bekerja, samar. Hyan pun sudah duduk manis di kursi belakang, favoritnya.
Kali ini ia merasa lelah, tiada berbeda seperti senja-senja di waktu yang lalu ketika Hyan pulang. Hyan lebih memilih memasang kembali konektor musik yang tertancap dari ponselnya menuju telinga. Alunan nadanya tenang, playlist berisi lagu favoritnya berdendang mesra. Hyan menutup mata sejenak, ia memilih beristirahat selama perjalaan pulang sama dengan pilihan orang-orang lain di dalam bus tersebut.
Hari ini ingin ia tutup dengan tenang, setenang hamparan senja. Esok hari akan jadi hari-hari biasa sang pekerja pengejar harapan.
Waktu berputar, Hyan kembali dalam sekelumit keseharian yang harus dijalani dan melupakan sejenak ide-ide yang ada di ruas-ruas dalam otaknya. Bosan barangkali terasa namun begitulah Hyan berusaha berjalan hingga ia sendiri saja tidak tahu kejutan-kejutan apa saja yang menantinya di depan sana.
Hingga suatu pagi seorang temannya meminta sebuah pertolongan untuk dapat membantu dalam hal pengajuan permohonan pinjaman ke suatu Bank swasta. Hyan yang telah punya pengalaman dalam hal ini tanpa ragu meyanggupi untuk membantu hingga ia akhirnya memohon cuti sehari kapada Supervisornya.
“Jemput ya, sob?” Hyan berbicara melalui ponsel kepada temannya tersebut.
“Ok, sip bro. Nanti jam 10. Tunggu saja.” Jawab pembicara lainnya.  
Tak berapa lama pun apa yang Hyan tunggu akhirnya datang jua. Temannya yangs atu ini menyambut dengan senyum riang dan membuka pintu mobilnya. “Masuk bro.”
Hyan hanya mengangguk kauat alalu masuk sembari membalas senyum riang temannya tersebut. “Apa kabar kerjaan?”
“Kerjaan? Baik dong, lancar bro.” Jawab temannya sambil terus fokus melajukan kendaraannya.
“Cuti hari ini sob?”
“Iya lah, capek juga terus-terusan kerja bro.”
“Haha,” tertawa juga temennya Hyan tersebut mendengarnya sedikit berkeluh kesah. Sembari menyandarkan miring tubuhnya Hyan meraih player music dan terdengarlah beberapa alunan lagu.
Selama perjalanan yang disertai tawa lepas temannya mendengar Hyan bercerita mengenai pekerjaannya, cukup menghibur kala tiap-tiap macet tiba. Hingga tiada terasa telah sampai keduanya pada apa yang mereka tuju. Setelah memarkirkan mobil, keduanya masuk ke dalam dan disambut sapaan hangat security hingga memberi petunjuk apa yang sebaiknya diperbuat.
Praktis Hyan hanya bertugas menemani temennya tersebut hingga menemui bagian customer care Bank. Sisanya temannya tersebut telah berdua-ria dengan pegawai manis di sana, sedangkan Hyan harus menunggu di kursi yang sudah tersedia.
Tiada yang menarik di sekeliling Hyan selain melihat orang-orang lain yang menghadapi nasib menunggu seperti Hyan. Entah itu untuk keperluan pribadi atau keperluan lainnya. Hyan justru melihat suasana baru ketimbang narus di kantor saat ini.
Untuk menghilangkan gundahnya Hyan berdiri dan pelan-pelan melangkah, mengambil brosur yang biasa banyak tersedia di area tungu tersebut. Mungkin itulah salah satu kegunaan banyaknya brosur tertumpuk di sana, ketimbang harus ditemani ponsel lagi. Hyan memang sedikit miris melihat orang-orang yang hanya mengisi kesendirian mereka dengan lebih nyaman bersaman ponsel. Padahal sedang berada di ruang publik.
“Hyan.” Suara lembut itu terdengar sedikit mengejutkan Hyan yang saat ini fokus membaca bait demi bait informasi dalam brosur.
Hyan secepatnya menoleh ke arah datangnya suara, “Tennry?” terkejut jua Hyan saat melihat sosok di hadapannya. Sama halnya dengan perempuan tersebut, terkejut tiada percaya.
“Kok bisa di sini?” secepatnya perempuan tesebut bertanya ingin tahu.
“Hmm, saya menemani teman tuh.” Sambil menunjuk ke satu arah di seberang sana.
“Oh, begitu. Ya ampun, sudah lama sekali ya kita tidak bertemu. Kerja di kota ini sekarang?” Tanyanya lagi.
“Tidak, saya kerja di luar kota. Tapi saat ini domisili saja di kota ini.” Hyan menerangkan.
‘Baiklah kalau begitu, saya harus kembali lagi ke ruangan kerja saya. Selamat menunggu ya.” Senyum riang melepas kepergian perempuan itu.
Hyan hanya menatapnya menjauh, perempuan dengan pakaian biru dongker sebagai seragam kerjanya itu masuk ke salah satu ruangan yang bertuliskan staff only. Kembali Hyan bergelut lagi dalam kesendiriannya di antara banyak orang di sana untuk menunggu temannya selesai. Tetapi satu hal yang membuat Hyan tersenyum kecil, hingga akhirnya bergumam pelan sambil menunduk menatap brosur yang ia genggam sejak tadi, “Cantik.”
Tanpa Hyan duga justru temannya telah berada di belakangnya, menepuk punggung Hyan. “Yuk bro.”
Hyan berbalik, “Beres sob?”
“Beres dong, kan cuma mengajukan dokumen permohonan pinjaman saja. Jika nanti benar di approve ya pihak Bank akan segera menghubungi untuk transaksinya.”
“Mau kemana lagi?” tanya Hyan setelah menaruh kembali para brosur.
“Kita ngopi dulu lah, masih pagi kan?” kata teman Hyan memberi saran.
“Ok sob, tapi traktir ya?” balas Hyan sambil mengangkat alisnya dan tersenyum licik.
“Iya deh iya. Traktir. Buat kamu apa sih yang gak bro.” Sambil merangkul punggung Hyan dan berjalan keluar menuju area parkir.
 Tepat saat Hyan akan keluar, berlalu jualah perempuan yang ia temui tadi. Temannya yang lebih dahulu berjalan ke parkiran tiada hirau raga ia terhadap ketertinggalan langkah yang terjadi pada Hyan karena adanya hal mengganjal, sedikit.
“Sudah mau pulang ya?” si perempuan itu berbicara terlebih dahulu.
“Iya, sudah selesai kok keperluan di sini.” Jawab Hyan tenang.
Senyum itu tiada hilang dari bibir si perempuan,”Minta nomornya boleh Hyan? Lain waktu mudah-mudahan kita bisa ngobrol santai. Tidak seperti sekarang ini, saya lagi kerja.’
“Boleh kok, saya juga mengerti kesibukan orang yang sedang bekerja.” Senyum balasan Hyan pun tak kalah manis.” Hyan pun mengambil ponselnya dan kedua insan tersebut sibuk berbagi angka pada ponselnya.
Hyan pun hanya melepas senyum terakhir setelah transaksi legal tersebut terjadi, dia berjalan keluar gedung sementara perempuan yang satu itu berbalik menuju ruang kerjanya. Hanya punggung mereka yang saling berhadapan kokoh. Opposite.
Hyan, temannya serta kendaraan yang mereka duduki kini beranjak berlalu dari area parkir menuju salah  satu cafe terbaik di kota tersebut untuk sedikit bersantai.  Selama perjalanan hanya diisi dengan riuh suara temannya Hyan yang menyetir sambil berdendang mengikuti alunan nadanya Steven & Coconut Tree. Hyan lebih menyibukkan diri dengan lamunan panjangnya tanpa peduli terhadap kreasi suara yang dibuat-buat oleh temannya atau pada desak-desakan sekeliling kendaraan saat menghadapi macetnya lampu merah.
Kenangan bergulir cepat, Hyan teringat.

“Kita main yuk.” Suara kecil dari gadis cilik itu menggema ketika bel tanda istirahat berbunyi.
Anak-anak lain sibuk berhamburan keluar, begitu jualah Hyan kecil dan teman-teman Sekolah Dasar lainnya. Hyan beranjak  mengikuti arah suara tadi, ia telah melihat lima teman lainnya berada di sana. Dua orang anak lelaki sekelas serta sebayanya, ada juga tiga gadis kecil riang menyambuat Hyan.
“Hyan, ayo main.” Gadis kecil itu kembali bersuara, kali ini jelas mengarah pada Hyan kecil.
“Iya.” Hyan bersuara tak kalah riang mengikuti arah teman-temannya yang telah lebih dahulu berlari menjauh menuju taman sekolah.
Keenam anak-anak berusia delapan tahunan asyik bernyanyi serta bermain riang di taman. Suatu lukisan hidup yang di dalamnya hanya diwarnai oleh alur keceriaaan. Tiada beban kala itu karena memang dunia anak-anak adalah dunia bermain yang ceria. Saat itulah justru indahnya masa kecil terasa sempurna bagi Hyan.
“Main raja-putri yuk.” Slah seorang teman lelaki Hyan menyarankan.
“Iya yuk, capek terus-terusan main lari-larian.” Timpal yang satunya lagi, si gadis kecil tadi diawal berteriak riang pada Hyan.
“Aku jadi rajanya.” Segera suasana malah ribut karena pemilihan tokoh tanpa rias dalam permainan tersebut. Sedangkan Hyan? Lebih memilih diam terlebih dahulu saat semuanya saling berargumen siapa yang paling pantas untuk memerankan satu tokoh.
Saat itulah, satu gadis kecil lain yang sedari awal lebih banyak diam menghampiri Hyan kala yang lain masih sibuk berpendapat dalam berperan rupa di sana.
“Kamu tidak ikut Hyan?” tanya si gadis.
“Ikut. Tapi saya tidak berharap jadi raja kok.” Jawab Hyan.
Si gadis tersebut heran dengan jawaban tenang Hyan, ”Lho? Milih jadi apa?”
“Jadi Ksatrianya.” Jawab Hyan dengan senyum mantap.
“Kenapa pilih itu?” tanya si gadis kecil makin heran.
“Jika saya jadi ksatrianya, saya bisa melindungi tuan putri.” Hyan brujar.
“Tapi kamu tidak bisa berpasangan dengan tuan putrinya jika pilih jadi ksatria.” si gadis berpendapat.
“Tidak apa.” Jawab Hyan dengan senyumna lagi tanpa ragu.
Seorang Hyan, tampak sudah dari kecilnya memilih sesuatu yang berbeda dari kebanyakan pilihan orang. Pilihan yang telah ia pilih pun tiada pernah disesali bahkan justru diperjuangkan. Seperti satu mimpi yang tiada pernah juga ia pernah mau lupakan, menyentuh anggun bersih salju.
Setelah perdebatan panjang diantara teman-temannya, akhirnya bermain juga mereka.
Tersebutlah suatu kerajaan yang memilili seorang ratu serta dua orang anaknya yang cantik jelita. Hingga karena kecantikan keduanya akhirnya hendak dinikahkan dengan raja dari kerajaan lainnya, namun apa daya ketika raja dari kerajaan lain itu jendak datang melamar, kedua anak raja tersebut diculik. Maka diutuslah seorang ksatria istana untuk menyelamatkan keduanya.
Setelah melalui perjalanan  panjang dan pertempuran hebat, sang ksatria berhasil membebaskan kedua putri tersebut dan mengalahkan sang penculik. Kemudian mereka kembali ke istana dengan selamat.
Ratu istana dan raja dari kerajaan lain tersebut telah lama menunggu kedatangan mereka, turut bersuka cita. Raja dari kerajaan lain tersebt akhirnya memilih satu diantara dua putri cantik jelita tersebut hingga di adakanlah pesta pernikahan yang meriah.
Tahukah kamu bagaimana dengan putri cantik lainnya? Ia telah lebih dahulu jatuh hati kepada sang ksatria karena keberanian ksatria tersebut dan menyampaikan isi hatinya itu kepada ratu agar ia tidak dipilih raja dari kerajaan lain yang hendak melamar. Ratu pun mengabulkan apa yang diminta salah satu putrinya tersebut.
Di akhir cerita hanya pernikahan raja dan salah satu putri tersebut yang terjadi. Sedangkan putri lain yang jatuh hati pada sang ksatria masih menyimpan perasaannya dan menunggu sang ksatria benar-benar datang padanya.
Anda pasti sudah tahu siapa yang berperan meiunjadi sang ksatria, tapi siapa sangka yang berperan sebagai putri cantik jelita yang menyimpan perasaan padanya adalah seorang perempuan dewasa yang kini ditemui lagi oleh sang ksatria tersebut setelah berpisah hampir tujuh tahun lamanya.

Hyan tersadar dari lamunan masa kecilnya, kini ia dan temannya sudah tiba di cafe yang dituju. Duduk berdua saling tertawa lepas kedua lelaki di sana mengenang masa-masa kuliah dahulu. Tapi sejenak Hyan melihat keluar ruang cafe, menatap mentari dan langit biru yang harmonis kala itu sambil bergumam satu nama kecil, “Tennry”. Hari-hari ke depan Hyan harap ada kejutan tak terduga lainnya yang ingin ia nantikan.
Setelah satu hari pertemuan bermakna tersebut, entah kenapa arus imteraksi serta koneksinya mengarah pada satu nama. Apakah itu melalui sosial media, pesan singkat maupun panggilan ponsel yang sekedar berisikan cerita-cerita atau sapaan ringan. Walaupun Hyan tiada lagi memiliki waktu untuk bertemu dengan perempuan tersebut, tetapi semua lancar.
Hingga parahnya justru ketika Hyan menyadari ada satu perempuan di kantornya yang berbeda Departemen dengannya ternyata mirip dengan Tennry. Hingga tiap hari apalagi saat makan siang selalu Hyan temui sosoknya. Hal yang tiada Hyan sadari tersebut lama kelamaan membuat ia kemungkinan jatuh hati pada teman masa sekolah dasarnya dulu, Tennry.
Interaksi dominan yang terjadi antara Hyan-Tennry, serta tiap harinya Hyan besua dengan sosok yang rupanya seperti Tennry benar-benar mengejutkan hati Hyan saat ia menyadari bahwa ia menyukai pribadi Tennry.
Seorang Hyan bisa jatuh hati jua kiranya setelah lama ia tiada mengucap kata itu lagi karena sibuk pada pekerjaannya. Mengecap rasa indah yang banyak para penafsir, filusuf selalu karangkan dalam sajak-sajak tunggal nan menggagumkan.
Hyan, dulunya telah mengarungi dunianya bersama perempuan-perempuan yang di dekati ternyata bersua kembali juga dengan Tennry yang dulunya juga telah menjalani hari-hari haru bersama banyak lelaki, entah kenapa dipertemukan kembali.

“Sepertinya saya jatuh hati sob.” Hyan memulai pembicaraan baru saat kembali jalan dengan teman yang ia temani kala di Bank waktu itu.
Terkejut, si teman cepat bertanya. “Serius bro? Sama siapa? Pegawai baru di kantor yang kamu ceritakan tempo hari?”
Hyan menggeleng, “Bukan.” Sambil mengaduk-aduk ice capuccino-nya.
Di cafe tempat mereka biasa duduk, minggu pagi siang cerah. Hyan akhirnya mulai bercerita mengenai kedekatannya dengan Tennry dua bulan terakhir ini.
“Terus siapa?” kembali temannya bertanya.
“Teman masa kecil yang bertemu kembali.” Tenag, Hyan brujar
“Wuih, klasik nih. Sudah bro, jangan cerita yang berat-berat.” Sedikit melengahkan suasan agar kembali santai.
“Serius ini.” Kata Hyan sedikit tersenyum.
“Iya bro, saya tahu kamu serius. Maksudnya jangan terlalu ber-roman ria.”
Hyan pun heran, “Maksudnya?”
“Maksudnya, sudah dinyataain belaum?”
“Nyatain?” Hyan sedikit terkejut. “Diajak jalan keluar saja belum pernah”.
Justru temannya Hyan lebih terkejut lagi, “Apa? Belum ada ketemuan dan jalan. Nah, ini nih bro yang jangan klasik-klasikan. Semenjak kuliah aja saya kenal kamu bro, tidak berubah ya. Selalu saja seperti ini jika benar-benar ketemu gadis pujaan, sedangkan perempuan yang bukan pujaan hanya kamu dekati lalu pergi tanpa memberi kepastian.” Jelas sang teman mengenang masa-masa kuliah dahulu.
Hyan hanya tertunduk dan mengangguk pelan menandakan apa yang diutarakan temannya tersebut adalah benar adanya.
“Jika memang sudah dekat dan kamu yakin dialah sosok bidadari yang selama ini kamu selalu nyatakan untuk kamu cari bro, maka sebaiknya jangan tunda-tunda lagi.”
“Iya sih, tapi saya belum ketemu dengan waktu yang tepat sob.” Hyan beralasan.
“Sibuk karena pekerjaan? Sudahlah jangan menambah daftar panjang alasan-alasan tidak logis begitu dong bro. Seperti yang selalu saya katakan Cinta Itu Rasional.” Sambil menunjuk satu jarinya, teman Hyan mengingatkan sesuatu.
“Iya, saya tahu.” Hyan menjawab pelan.
“Karenanya, saya hanya ingin dengar kamu sudah ada kemajuan dalam hal ini nantinya bro. Tidak perlulah saya ajarkan kamu kan?”
“Ya iyalah.” Jawab Hyan cepat hinga keduanya tertawa lepas kembali.
Hyan hanya ingin menemukan waktu yang tepat saja untuk mengungkapkannya. Kapan? Entahlah. Tetapi yang jelas Hyan punya rencana akan mengajak Tennry untuk keluar di satu malam cerah yang belum tahu kapan setting serta tepatnya tempatnya kelak.

Memilih-milih waktu, seorang Hyan akhirnya temukan semua yang ia butuhkan. Hampir-hampir Hyan juga malah telah memastikan perakiraan cuaca segala.
Sebuah pesan singkat ia kirimkan seusai makan siang kepada Tennry yang tiada balasannya. Hyan tahu dan sudah biasa dengan hal ini. Ia tahu jika Tennry tidak selalu bisa mengecek pesan masuk dalam ponselnya.
Pesan singkat itu hanya berbunyi, “Jika kamu tidak keberatan, malam ini saya tunggu kamu di Homeland tepat saat makan malam.”
Hanya itu saja, tiada apapun yang Hyan tulis agar terkesan ada sesuatu yang serius ingin disampaikan dan Tennry pun mau menyempatkan waktunya untuk bertemu Hyan.
Namun hingga sore hari pun tiada balasan dari Tennry, sempat cemas dan ragu melanda Hyan bagai ombak menggulung dengan kecepatan 100 KM/jam menubruk tepian karag di pantai. Selama perjalanan pulang dari kantor, Hyan yang biasanya tertidur pulas kini tampak tiada bisa memejamkan matanya. Deras musik yang mengalir di telingannya bukan lagi jadi tasbih-tasbih di bibirnya karena lamunannya semakin meluas karena melihat mentari senja yang hendak pulang kandang. Menantikan kejutan apa lagi yang terjadi pada kisahnya kali ini.
Sesampainya Hyan di rumah segera ia bergegas bersiap, melihat kembali ponselnya namun tetap tiada balasan. Nihil. Keluar rumah dan masuk ke dalam mobilnya, menstater dan menjalankan kendaraan tersebut pada satu tujuan.
Sialnya, macet menyertainya hingga tiada daya bagi seorang Hyan. Hujan menemaninya selama perjalanan menuju Homeland. Kala dalam perjalanan Hyan sempat mengutuk pelan prakiraan cuaca yang invalid.
Butir-butir air hujan yang tersapu di kaca depannya semakin mengesalkan bagi Hyan. Hal tak terduga ini benar-benar membuatnya jengkel setengah mati. Beruntungnya Hyan, setibanya di Homeland hujan pun reda. Punya titik-titk kecil dari langit yang sedikit memberi nuansa dingin pada pori kulinya.
Hampir setengah jam Hyan berseliweran di area Homealang yang sepi tersebut. Tennry tidak datang, karena tidak akan sulit mnacari seorang perempuan dewasa di luas taman bermain yang cukup sepi itu.
Hyan melihat ke arah jam tangan sportnya lalu mengecek ulang ponselnya jika saja ada informasi yang Tennry mau sampaikan. Namun tetap, tiada. Hyan malah berjalan pelan menuju mobil klasiknya, terduduk diam ia di sana beebrapa saat. Hening.
Pelan ia menstater mobilnya, mengingat filosofi yang diterangkan temannya tempo hari yang lalu dan memberikan semanagat kuat Hyan untuk mengunjungi kediaman Tennry. Begitulah Winter, saat kita temukan cinta di dalamnya, seakan-akan menemukan baju hangat yang selama ini kita butuhkan dan nantikan.
Sebentar saja, Hyan telah berada di depan pintu kediaman Tennry. Memencet bel tanda keberadaannya di sana. Pintu pun terbuka tanpa Hyan harus menunggu lama. Tennry di sana yang langsung membukakan, seakan fisarat hatinya benar bahwa Hyan akan datang juga bagai telepati tiada batas kesalahannya.
“Hyan.” Tennry menyebut nama itu saat telah yakin melihat sosok siapa yang berdiri tepat di depannya.
“Pesan singkat saya sudah kamu terima? Sudah dibaca?” Tanya Hyan menyambung segera.
“Hmm.” Terdiam tertahan.
“Ada apa?” tanya Hyan pelan.
“Jujur Hyan, saya ragu.”
Hyan sedikit terkejut dengan pernyataan tersebut. “Ragu?” Hyan meminta penjelasan.
“Iya, ragu dengan keadaaan ini.” Tennry berujar tanpa mau menatap wajah Hyan.
“Saya tidak pernah ragu.” Terlontar cepat kata-kata itu dari bibir Hyan yang membuat Tennry terpedaya untuk melihat Hyan.
“Kamu ingat ketika kita dekat sekali saat kecil dulu, bermain bersama. Hingga akhirnya kita terpisah karena berbeda SMP. Namun suatu waktu saya melihat kamu datang di sekolah saya, duduk manis dalam mobil itu. Saya hanya melirik tanpa kamu tahu dan tersenyum hingga akhirnya saya berlalu pergi. Apa kamu ingat juga, saat saya menyapa kamu di hari pertama pengenalan kala SMA. Saya tersenyum lagi untuk kamu dari tempat duduk saya di belakang tanpa juga sosok yang diberi senyum tersebut sadari. Hingga setelah sekian lama terpisah karena kita hanya setahunan saja satu SMA, lalu kini kita bertemu lagi. Saat saya sadari ternyata selalu ada kamu dalam tiap stage-stage kehidupan saya walau hanya seperti bayang-bayang yang seketiak hilang tanpa jejaknya. Tanpa saya duga dan saya sadari, saya jatuh hati dan tidak pernah ragu untuk ungkapkannya kini.” Hyan berhenti sejenak lalu menghela nafas panjang, pandangan sempat menghadap langit sebentar, berbintang. Lalu memandang Tennry lagi.
Tennry hanya memandang harap Hyan, “Benarkah?”
Hyan terdiam sejenak dan berkata pelan dengan senyum tipisnya, “Iya. Kamu, Tennry.”
“Terima kasih. Tunggu.” Hanya itu yang Tennry ucapkan lalu bergegas kembali ke dalam kamarnya meninggalkan Hyan yang justru terheran-heran sendiri berdiri.
Beberapa menit Hyan berdiri menunggu tanpa isyarat apapun di depan pintu menanti Tennry kembali. Malah ia lebih memilih membelakangi pintu masuk dan mengarahkan matanya ke langit cerah berbintang. Hyan berbisik sedikit, “Ternyata perakiraan cuaca tidak salah juga.” Hyan pun tersenyum.
Hingga suara pelan menyahuti kegiatan Hyan memandang bintang malam, “Hyan.”
Hyan berbalik cepat karena mendengar suara yang ia kenal itu, memang hanya datang dari satu orang.
“Yuk, katanya mau ke Homeland.” Itu Tennry, mempesona dandanannya hingga berdecak kagum rupa Hyan kini.
“Ayo, jangan melamun.” Suara Tennry menyadarkan Hyan karena hanya mematung memandang satu bidadari cantik di hadapannya. Bergegas Hyan menuju mobilnya bersama Tennry, menstater mobil dan menjalankan menuju tempat yang menjadi kenangan dalam kisah Hyan kali ini.
Esok hari, siapa yang tahu akan datang kejutan apa lagi yang singgah bernaung padanya. Hyan siap menerima kejutan-kejutan itu dengan satu rasa, bahagia.
Begitulah Winter, saat kita temukan cinta di dalamnya, seakan-akan menemukan baju hangat yang selama ini kita butuhkan dan nantikan.             

Bogor, Januari 2014



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks buat komentarx..:)