Bogor, 27
Oktober 2015
Dengan penuh
hormat, aku menyapamu.
Hai sang
pemberi rindu. Akan aku ceritakan bagaimana aku merenda rindu tanpa jarummu.
Aku berdiri
di sini engkau di sana, di tempatmu.
Aku merindu,
engkau tidak.
Aku
mengkhawatirkanmu, engkau tidak.
Aku
memipikanmu, engkau tidak sekali pun.
Aku
berbincang tentangmu, cermin menertawaiku.
Aku kabarkan
rasaku bersama gulungan penat, sang penat ternyata lelah mendengar celoteh
tentangmu.
Aku kisahkan
tentang rinduku, semesta mencemooh.
Lalu aku duduk
bersimpuh menghadap-Nya, untungnya saja Ia selalu mendengarku.
Tapi aku
malu.
Malu karena
tak jua mendapat jarum darimu.
Malu karena
ternyata aku sendiri, sendiri memeluk rasa ini.
Biarlah aku
bawa pergi saja (lagi).
Seperti yang
kemarin.
Seperti yang
sudah-sudah.
Kalau esok
masih akan ada hari, jangan cari aku.
Aku takut,
semuanya telah hambar.
Karena
melarut bersama rindu yang tak berbalas.
Hai sang
pembuat rindu, aku haturkan salam hormat untukmu.
Aku ada,
engkau tak ada.
Aku
memilihmu, engkau memilih yang lain.
Aku diam,
engkau bingung.
Aku pergi,
kau masih tak beranjak dari tempatmu.
Baiklah,
Aku undur
diri.
Aku pamit.
Aku pergi,
karena engkau meminta.
Meski bukan
lewat lisan.
Aku pamit.
Aku pergi.
Tenanglah,
ketika kau menengok..
Aku tak lagi
di belakangmu.
Cukup sudah
doa-doaku untukmu.
Aku pamit.
Aku pergi.
Tidak akan
ada lagi sapaan selamat pergantian waktu.
Tidak akan
lagi perhatian menjijikkan.
Karena aku
pamit.
Aku pergi.
Mungkin aku
tidak bernilai untukmu.
Atau aku
hanya selingan.
Entahlah.
Harusnya aku
cukup pintar untuk mengetahui ini.
Tapi
kenyataannya aku memang bodoh!
Bodoh karena
masih saja disini, padahal telah berpamitan.
Oke..
Aku pamit.
Aku pergi.
Selesai
(seperti sebelum-sebelumnya).
_Aku Pamit,
Aku Pergi_
NAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks buat komentarx..:)