Di tengah demonstrasi
mahasiswa yang menolak kenaikan BBM.
Aku hanya bisa termenung, sambil memikirkan apa yang
sebenarnya mahasiswa-mahasiswa itu teriakkan. Untuk siapakah pembelaan yang
mereka perjuangkan? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang saling berbenturan
menuntut jawaban.
Tepat disebelahku duduklah sepasang ibu dan bapak
yang nampaknya telah memasuki usia paruh baya. Wanita itu terbalut dalam kemeja
wanita berwarna lembut, dan prianya menggunakan kemeja batik dengan peci hitam
di kepalanya khas Makassar. Terik matahari cukup membuat penumpang pete-pete
(mobil angkutan umum) merasa jenuh bin kepanasan. Sedangkan udara di luar sana
membuatku sesak tak karuan. Apalagi aku baru saja melahap sebuah duren yang
cukup memberikan efek panas luar biasa dikerongkonganku. Salahku juga tak
mendengar nasihat ibu untuk tidak makan duren dulu, mengingat cuaca Makassar
saat itu sedang terik-teriknya. Mungkin ini teguran dan cara Tuhan untuk
membersihkan Indonesia. Entah itu pemimpin ataupun warga negaranya. Negara
kotor yang perlu dicuci untuk menghilangkan dosanya, setidaknya mengurangi
dosa.
“Rakyat butuh disejahterakan, bukan dimisikinkan!”
Begitu teriakan mahasiswa yang seakan tak kenal
lelah untuk meneriakkan suara batin rakyat. Walaupun ada juga mereka yang hanya
unjuk diri demi sebuah label “pejuang reformasi”. Terlepas dari apakah itu
tulus dari niat mereka ataupun hanya sekedar ingin terlihat “hebat”. Tak urung
banyak komentar yang terlontar dari para penumpang pete-pete. Ada yang setuju
diperjuangkan nasibnya, ada yang mendumel lantaran aktivitasnya terhambat oleh
karena demonstrasi mahasiswa. Ada juga yang asik-asik saja menikmati
keterlambatannya menuju tempat aktivitasnya. Dan aku hanya bisa
mengangguk-angguk kecut, karena aku juga merasa kepanasan dan sesak
sesungguhnya. Tetapi, sebagai mahasiswa aku juga mendukung aksi protes itu.
Hanya saja cara mereka dengan menutup jalan tanpa pemberitahuan mungkin masih
kurang tepat.
Disela pergelutan kata batinku, tak sengaja mataku
mendapati tingkah setia kedua orangtua disampingku. Sang suami bertanya apa
yang sedang terjadi. Kemudian sang istri menjelaskan dengan sabar dan lembut
kepada suaminya jika mahasiswa sedang berdemo dengan bahasa Makassar yang khas.
Sang suami hanya mengangguk pelan. Terlihat kebijaksanaan pada wajah sang
bapak, dan paras keibuan pada sang istri. Lalu, tak sengaja pula aku melihat
tangan mereka berdua tak pernah lepas, saling bergenggaman satu sama lain.
Seolah diantara mereka berkata jangan pernah lepaskan aku. Aku pikir hanya remaja
saja yang berlaku demikian, ternyata orang tua pun bisa bermesraan seperti ini.
Lama mengamati tingkah mereka yang terus menunjukkan kemesraan, aku larut dalam
lamunanku. Mungkinkah aku akan menemukan seorang yang setia seperti pasangan
ini. Mereka saling melontarkan kalimat-kalimat sederhana yang saling membuat
suasana di pete-pete menjadi tak sesak. Aku pun menikmati suasana mereka.
Hingga perjalanan siang itu tak terasa membosankan.
Senyum simpul aku lontarkan lantaran mata sang istri
menangkap gelagatku yang terus saja memperhatikan mereka. Ramah, itu yang bisa
aku simpulkan dari senyum ibu itu. Wajahnya tak begitu cantik, namun senyum,
tutur katanya kepada suaminya, dan setiap rasa kasih sayang yang ditunjukkannya
kepada suaminya membuat ibu ini spesial di mataku. Mungkin bapak itu mempunyai
pikiran yang sama denganku saat memilihnya menjadi istri. Ahh, apa yang aku
lakukan dengan pikiranku ini, dasar Nhia konyol! Kemudian, melihat bapak itu,
dia berpostur tinggi nampaknya saat masih muda. Karena tubuhnya yang agak
tinggi dibanding dengan postur-postur tubuh lelaki paruh bayah pada umumnya.
Kulitnya juga jauh lebih putih dibanding istrinya. Dan bisa aku simpulkan bapak
ini tergolong “cakep” pada saat mudanya. Menurutku, bapak ini bisa dapat yang lebih
dari istrinya sekarang. Tapi, mungkin beliau punya alasan lain dan itulah
namanya jodoh. Tersenyum sendiri dengan ide-ide dan buah pikirku yang outstanding.
Selama dalam perjalanan yang dipenuhi teriakan
penolakan kenaikan BBM, aku hanya sibuk memperhatikan setiap sudut dan sisi
dari pete-pete ini. Termasuk mengamati tingkah kocak para penumpang yang
beraneka ragam. Sesekali aku mengamati pasangan itu, karena mereka cukup
menarik untuk diamati. Sosok lain yang cukup menyita perhatianku adalah gadis
modis di depanku. Bisa ditebak dia seorang mahasiswa. Menenteng handbag yang lagi nge-trend, map cerah berisi kertas-kertas
yang mungkin saja tugas, laporan atau hanya kertas biasa. Satu hal juga yang
menambah kuatnya alibiku adalah dia menggunakan 3-B; Blackberry, behel gigi, dan boyband
yang terdengar dari ringtone telepon
genggam miliknya. Sangat khas untuk ukuran gadis, remaja, dan cewek zaman
sekarang. Kata orang bukan gadis modis kalau tidak punya 3-B itu, artinya saya
sendiri bukan termasuk golongan gadis modis. Karena tak satu pun yang aku
miliki dari 3-B itu. Cantik dengan body aduhai, sungguh berbanding terbalik
dengan diriku.
Terlepas dari semua kegiatan orang di pete-pete, aku
pun sebenarnya tengah galau. Itu tuh,
sejenis penyakit yang lagi nge-hits di
golongan remaja. Sejenis syndrome sakit
hati akut yang malah dijadikan hobi sama mereka. Galau yang aku rasakan bukan
karena baru putus, atau karena tidak punya kekasih. Tapi, karena deadline skripsi dan ujian meja yang
serasa mencekik leher. Walaupun sulit untuk memungut serpihan-serpihan
semangat, tapi akan aku usahakan.
Hah..lelah, penat, panas, dan bosan juga kalau
begini terus. Duduk manis di atas pete-pete. Pete-pete, sejuta cerita hadir di
dalamnya. Gaya hidup modis, kesibukan, bahkan keromantisan demi sebuah arti
kesetiaan.
Lampu merah jalan pettarani, pete-pete berhenti
hendak menurunkan penumpang. Ternyata yang turun adalah pasangan suami-istri
tadi. Pada saat mobil berhenti, sang istri seperti memberi isyarat pada
suaminya untuk turun. Dengan sebuah senyum hangat, ibu itu seolah berkata
padaku untuk pamit duluan. Tiba-tiba aku tersentak, ya Allah..ternyata bapak
tadi buta. Dan yang paling mencengangkan, istrinya sabar menuntunnya untuk
turun dari pete-pete. Dengan perlahan pasangan itu pun turun dari pete-pete. Subhanallah..di
zaman yang pelik dan susah seperti ini aku masih dapat melihat sebuah bentuk
kasih sayang dan kesetiaan. Selama ini aku kurang percaya masih adakah cinta
sejati dan penerapan kalimat “menerima apa adanya”. Aku pun tak lepas berdecak
kagum pada mereka.
Tak berapa lama selang kepergian sepasang laki-bini yang membuatku kagum pada
mereka, gadis modis itu pun turun
depan salah satu kampus negeri di kota daeng. Kemudian batinku seolah berdialog
denganku. Nhia, bersyukurlah. Tidak perlu hidup seperti gadis itu untuk
bahagia. Toh, tadi kau sudah lihat sendiri jika ada orang yang bisa menerima
kita apa adanya tanpa memandang bagaimana dan siapa kita. Dan pete-pete pun
kembali melaju mengikuti rute yang harus ia lalui.
Di dalam pete-pete selama kurang lebih satu setengah
jam lamanya, aku belajar lebih dari satu setengah makna hidup. Sangat banyak
yang membungkam egoku saat melihat pasangan suami-istri tadi. Aku beruntung dan
Tuhan telah mengukir itu sejak lama. Mungkin harus lebih banyak belajar sabar,
bersyukur, dan ikhlas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks buat komentarx..:)