Minggu, 04 November 2012

PETE-PETE


Di tengah demonstrasi mahasiswa yang menolak kenaikan BBM.
Aku hanya bisa termenung, sambil memikirkan apa yang sebenarnya mahasiswa-mahasiswa itu teriakkan. Untuk siapakah pembelaan yang mereka perjuangkan? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang saling berbenturan menuntut jawaban.
Tepat disebelahku duduklah sepasang ibu dan bapak yang nampaknya telah memasuki usia paruh baya. Wanita itu terbalut dalam kemeja wanita berwarna lembut, dan prianya menggunakan kemeja batik dengan peci hitam di kepalanya khas Makassar. Terik matahari cukup membuat penumpang pete-pete (mobil angkutan umum) merasa jenuh bin kepanasan. Sedangkan udara di luar sana membuatku sesak tak karuan. Apalagi aku baru saja melahap sebuah duren yang cukup memberikan efek panas luar biasa dikerongkonganku. Salahku juga tak mendengar nasihat ibu untuk tidak makan duren dulu, mengingat cuaca Makassar saat itu sedang terik-teriknya. Mungkin ini teguran dan cara Tuhan untuk membersihkan Indonesia. Entah itu pemimpin ataupun warga negaranya. Negara kotor yang perlu dicuci untuk menghilangkan dosanya, setidaknya mengurangi dosa.
“Rakyat butuh disejahterakan, bukan dimisikinkan!”
Begitu teriakan mahasiswa yang seakan tak kenal lelah untuk meneriakkan suara batin rakyat. Walaupun ada juga mereka yang hanya unjuk diri demi sebuah label “pejuang reformasi”. Terlepas dari apakah itu tulus dari niat mereka ataupun hanya sekedar ingin terlihat “hebat”. Tak urung banyak komentar yang terlontar dari para penumpang pete-pete. Ada yang setuju diperjuangkan nasibnya, ada yang mendumel lantaran aktivitasnya terhambat oleh karena demonstrasi mahasiswa. Ada juga yang asik-asik saja menikmati keterlambatannya menuju tempat aktivitasnya. Dan aku hanya bisa mengangguk-angguk kecut, karena aku juga merasa kepanasan dan sesak sesungguhnya. Tetapi, sebagai mahasiswa aku juga mendukung aksi protes itu. Hanya saja cara mereka dengan menutup jalan tanpa pemberitahuan mungkin masih kurang tepat.
Disela pergelutan kata batinku, tak sengaja mataku mendapati tingkah setia kedua orangtua disampingku. Sang suami bertanya apa yang sedang terjadi. Kemudian sang istri menjelaskan dengan sabar dan lembut kepada suaminya jika mahasiswa sedang berdemo dengan bahasa Makassar yang khas. Sang suami hanya mengangguk pelan. Terlihat kebijaksanaan pada wajah sang bapak, dan paras keibuan pada sang istri. Lalu, tak sengaja pula aku melihat tangan mereka berdua tak pernah lepas, saling bergenggaman satu sama lain. Seolah diantara mereka berkata jangan pernah lepaskan aku. Aku pikir hanya remaja saja yang berlaku demikian, ternyata orang tua pun bisa bermesraan seperti ini. Lama mengamati tingkah mereka yang terus menunjukkan kemesraan, aku larut dalam lamunanku. Mungkinkah aku akan menemukan seorang yang setia seperti pasangan ini. Mereka saling melontarkan kalimat-kalimat sederhana yang saling membuat suasana di pete-pete menjadi tak sesak. Aku pun menikmati suasana mereka. Hingga perjalanan siang itu tak terasa membosankan.
Senyum simpul aku lontarkan lantaran mata sang istri menangkap gelagatku yang terus saja memperhatikan mereka. Ramah, itu yang bisa aku simpulkan dari senyum ibu itu. Wajahnya tak begitu cantik, namun senyum, tutur katanya kepada suaminya, dan setiap rasa kasih sayang yang ditunjukkannya kepada suaminya membuat ibu ini spesial di mataku. Mungkin bapak itu mempunyai pikiran yang sama denganku saat memilihnya menjadi istri. Ahh, apa yang aku lakukan dengan pikiranku ini, dasar Nhia konyol! Kemudian, melihat bapak itu, dia berpostur tinggi nampaknya saat masih muda. Karena tubuhnya yang agak tinggi dibanding dengan postur-postur tubuh lelaki paruh bayah pada umumnya. Kulitnya juga jauh lebih putih dibanding istrinya. Dan bisa aku simpulkan bapak ini tergolong “cakep” pada saat mudanya. Menurutku, bapak ini bisa dapat yang lebih dari istrinya sekarang. Tapi, mungkin beliau punya alasan lain dan itulah namanya jodoh. Tersenyum sendiri dengan ide-ide dan buah pikirku yang outstanding.
Selama dalam perjalanan yang dipenuhi teriakan penolakan kenaikan BBM, aku hanya sibuk memperhatikan setiap sudut dan sisi dari pete-pete ini. Termasuk mengamati tingkah kocak para penumpang yang beraneka ragam. Sesekali aku mengamati pasangan itu, karena mereka cukup menarik untuk diamati. Sosok lain yang cukup menyita perhatianku adalah gadis modis di depanku. Bisa ditebak dia seorang mahasiswa. Menenteng handbag yang lagi nge-trend, map cerah berisi kertas-kertas yang mungkin saja tugas, laporan atau hanya kertas biasa. Satu hal juga yang menambah kuatnya alibiku adalah dia menggunakan 3-B; Blackberry, behel gigi, dan boyband yang terdengar dari ringtone telepon genggam miliknya. Sangat khas untuk ukuran gadis, remaja, dan cewek zaman sekarang. Kata orang bukan gadis modis kalau tidak punya 3-B itu, artinya saya sendiri bukan termasuk golongan gadis modis. Karena tak satu pun yang aku miliki dari 3-B itu. Cantik dengan body aduhai, sungguh berbanding terbalik dengan diriku.
Terlepas dari semua kegiatan orang di pete-pete, aku pun sebenarnya tengah galau. Itu tuh, sejenis penyakit yang lagi nge-hits di golongan remaja. Sejenis syndrome sakit hati akut yang malah dijadikan hobi sama mereka. Galau yang aku rasakan bukan karena baru putus, atau karena tidak punya kekasih. Tapi, karena deadline skripsi dan ujian meja yang serasa mencekik leher. Walaupun sulit untuk memungut serpihan-serpihan semangat, tapi akan aku usahakan.
Hah..lelah, penat, panas, dan bosan juga kalau begini terus. Duduk manis di atas pete-pete. Pete-pete, sejuta cerita hadir di dalamnya. Gaya hidup modis, kesibukan, bahkan keromantisan demi sebuah arti kesetiaan.
Lampu merah jalan pettarani, pete-pete berhenti hendak menurunkan penumpang. Ternyata yang turun adalah pasangan suami-istri tadi. Pada saat mobil berhenti, sang istri seperti memberi isyarat pada suaminya untuk turun. Dengan sebuah senyum hangat, ibu itu seolah berkata padaku untuk pamit duluan. Tiba-tiba aku tersentak, ya Allah..ternyata bapak tadi buta. Dan yang paling mencengangkan, istrinya sabar menuntunnya untuk turun dari pete-pete. Dengan perlahan pasangan itu pun turun dari pete-pete. Subhanallah..di zaman yang pelik dan susah seperti ini aku masih dapat melihat sebuah bentuk kasih sayang dan kesetiaan. Selama ini aku kurang percaya masih adakah cinta sejati dan penerapan kalimat “menerima apa adanya”. Aku pun tak lepas berdecak kagum pada mereka.
Tak berapa lama selang kepergian sepasang laki-bini yang membuatku kagum pada mereka, gadis modis itu pun turun depan salah satu kampus negeri di kota daeng. Kemudian batinku seolah berdialog denganku. Nhia, bersyukurlah. Tidak perlu hidup seperti gadis itu untuk bahagia. Toh, tadi kau sudah lihat sendiri jika ada orang yang bisa menerima kita apa adanya tanpa memandang bagaimana dan siapa kita. Dan pete-pete pun kembali melaju mengikuti rute yang harus ia lalui.
Di dalam pete-pete selama kurang lebih satu setengah jam lamanya, aku belajar lebih dari satu setengah makna hidup. Sangat banyak yang membungkam egoku saat melihat pasangan suami-istri tadi. Aku beruntung dan Tuhan telah mengukir itu sejak lama. Mungkin harus lebih banyak belajar sabar, bersyukur, dan ikhlas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks buat komentarx..:)