“Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?”
Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”,
tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi.
“Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
Ini sebuah
kisah nyata yang menginspirasiku. Seorang teman yang mengajarkan dan membuka
mataku betapa seharusnya aku mencuci kaki ibuku berulang kali hanya untuk
sekedar meminta maaf dan sebagai perwujudan rasa terima kasihku pada beliau.
Sosok tegar
Nampak di wajah kisutnya, haru biru membahana di relung-relung batin
terdalamnya. Bagaimana tidak, kami baru saja ditinggal sosok seorang ayah.
Menjadi figur ibu sekaligus ayah, tidak pernah terlintas dalam benak ibu akan
ia lakoni secepat ini. Usia kakakku baru dua belas tahun, dan aku baru berusia
delapan tahun. Tidak banyak yang bisa aku mengerti selain aku akan menjadi anak
yatim. Siapa yang sangka, kepergian ayah ternyata menjadi awal perjuangan berat
ibuku.
Menjadi
istri kedua bukan hal mudah. Apalagi saat itu ayah dan ibuku terpaut usia yang
cukup jauh. Namun, ibu tidak pernah terdengar mengeluhkan masalah itu. Bagi
ibuku, setiap keputusan adalah poin kehidupan yang harus dipertanggungjawabkan.
Banyak prinsip hidup ibu yang tak bosan-bosannya aku acungkan jempol. Mulai
dari semangat hidupnya hingga semangatnya untuk berbagi senyuman. Karena
menurutnya, hanya itu yang dapat ia bagikan pada setiap orang. Mungkin karena
itu pula, ayahku jatuh cinta pada tulusnya senyuman ibu.
Untuk ukuran
seorang anak laki-laki yang terakhir dalam urutan persaudaraan, aku terbilang
sangat lengket dengan ibuku. Ketika ada orang yang mengatakan aku jelek, hitam
dan ejekan-ejekan menyakitkan lainnya, ibuku dengan sabar akan mengelus pucuk
kepalaku dan berkata bahwa akulah anak lelakinya yang tergagah. Kelak aku akan
mendapatkan banyak cinta. Tetapi, jujur aku takut jikalau suatu saat nanti akan
seperti tabiat ayahku, walaupun aku kagum akan keberhasilan dalam memenangkan
beberapa proyek dan tender, tetapi masih saja seringkali aku kecewa atas
perlakuan keluarga ayah terhadapku. Kedekatanku pada ibu terus berlanjut hingga
aku beranjak dewasa. Semenjak itu, aku jadi malu dipeluk oleh ibu, aku jadi
malu dikecup ibu, aku jadi malu untuk bermanja-manja dengannya walaupun sampai
saat ini aku masih melakukannya. Bahkan yang parahnya, aku malu hanya untuk
sekedar ucapkan I Love You, Mom.
Baru saja
saudaraku satu-satunya, yang tertua menikahi seorang gadis pujaannya. Terlalu
dini menurutku, tapi biarlah. Setidaknya hal itu bisa mengurangi beban ibuku.
Ibuku-lah orang yang penuh semangat menyekolahkan kami. Dibantu dengan
kehadiran saudaranya, ia pun dengan hasil keringat yang telah ia kumpulkan dari
puing-puing semangatnya berusaha agar bagaimana kesuksesan kami berdua dapat
terwujud. Jika hanya mengandalkan harta peninggalan ayah, kami tidak adalah
artinya. Semua hanya berbuntut perkara. Dan ibuku, sang wanita damai, dengan
penuh kebijaksanaan ikhlas melepaskan semua fasilitas itu, termasuk satu unit
rumah yang diperuntukkan untuk kami juga diambil alih oleh istri pertama
ayahku. Ibuku selalu mengajarkanku untuk tetap bersyukur meski dalam kegetiran
teramat sekalipun. Baginya, tidaklah penting tumpukan harta yang menggiurkan
dan hanya memuaskan nafsu sesaat. Ilmu dan iman adalah kunci segalanya. Jadi,
walaupun ibu tak akan pernah mampu mewariskan harta benda, namun dedikasinya
untuk pendidikanku dan saudaraku satu-satunya adalah yang utama.
Setelah
beberapa saat usai pernikahannya yang sederhana, kakakku memboyong ibuku untuk
tinggal serta bersama keluarga kecilnya. Mengingat saudaraku telah mapan, aku
pun mengizinkan ibu dibawa pergi. Walaupun, sejak saat itu aku mulai merasa ada
yang kurang dalam hidupku. Terutama saat ramadhan pertama tanpa ibu. Hanya ibu
yang tahu bagaimana cara mengatasi anaknya yang sulit untuk dibangunkan. Karena
itu pula, tidak jarang aku lemas seharian karena tidak sempat makan sahur.
Bukan tidak dibangunkan, hanya saja tante da nom yang tinggal bersamaku belum
tahu cara jitu menyadarkanku dari alam mimpiku. Detik-detik tanpa ibu mulai
menimbulkan sesak yang semakin lama semakin menyeruak memenuhi dadaku. Setiap
kali ibuku menelpon dan menanyakanku, ingin rasanya aku menghambur dipelukan
ibu dan berkata aku rindu. Tetapi kenyataannya, egoisku jauh lebih membumbung
ketimbang rasa rinduku. Pantang bagi seorang anak lelaki mengatakan “rindu”
pada ibunya. Apalagi dengan perawakanku yang dinilai orang setengah preman
dengan rambut ikal dan panjang.
Ibuku tidak
pernah bosan untuk menghubungiku. Kadang saat aku menolak untuk bicara
dengannya, ibu menyerahkan gagang telepon kepada saudaraku untuk menanyakan
apakah aku ingin bicara dengan ibu. Tapi, lagi dan lagi aku hanya mampu
menjawab “tidak”, karena malu dengan kakak. Padahal, aku sangat ingin berbicara
berlama-lama dengannya. Pernah suatu ketika aku merasa iri dengan kehadiran
keponakanku. Awalnya aku piker dengan lahirnya anak dari saudaraku,
sekurang-kurangnya ibu punya hiburan baru. Tetapi, manakala ibu lebih
memperhatikan cucu barunya dibanding aku, aku mulai gusar. Seakan memahami
amarah pada diriku, ibuku coba memberi perhatian dan pengertian lebih padaku.
Pelan-pelan aku mulai sadar, kalau tindakanku bodoh. Alhasil, aku hanya
terlihat semakin manja.
Kebahagiaanku
adalah kebahagiaannya, kalimat sederhana yang terbesit di kepalaku ketika ibu
berbisik lirih pada doanya untuk setiap keberuntunganku. Semua itu terjadi
ketika ibu sedang khusyuk dalam ibadahnya bertemu pada Sang Maha Kaya dan
Pemurah. Derai air mata yang terurai deras mencerminkan sebuah pengharapan
tulus yang seakan berkata, dicungkil kedua mataku pun hanya untuk menunjukkan
keikhlasanku untuk anakku akan aku lakukan. Apalagi jika hanya untuk meluangkan
waktu lebih lama saat berjumpa dengan Sang Khalik untuk menengadahkan kedua
tangannya memohon yang terbaik untuk kedua anaknya, harapan terakhirnya, harta
berharganya, memori termanisnya. Kaku kedua kakiku ingin segera bersujud dan
menghampiri ibu dari belakang, mengecup keningnya, dan berkata terima kasih
Tuhan untuk malaikat tak bersayap yang Kau kirimkan untuk kami. Tetapi, akulah
sang pengecut yang kemudian hanya bisa menutup pintu kamar dan bergegas menjauh
meraih remote TV seolah tidak ingin
diketahui oleh siapa pun perkara sembabnya mata ini. Dan kejadian malam itu pun
berlalu saja.
Masih banyak
lagi tingkahku yang aku sesali telah melakukannya. Aku hanya mampu mengatakan
jikalau sampai saat ini aku masih seringkali tidur bersama ibuku setiap kali ia
berkunjung dikediaman om dan tanteku pada satu orang temanku. Itupun karena aku
merasa nyaman dan yakin jikalau ia tidak akan pernah membocorkan hal ini. Ibuku
juga tahu persis dengan tabiatku yang penakut. Untuk itu, ibu juga selalu ada
setiap kali aku merasa takut untuk sendiri.
Usia ibuku
kini menginjak paruh baya. Entah apakah aku pernah mengucapkan selamat ulang
tahun pada ibuku atau tidak. Aku terlalu sibuk dengan duniaku. Semua itu aku
lakukan untuk ibuku. Seperti ibu, beliau yang mengajarkanku tentang arti kerja
keras, semangat, dan tanggung jawab. Terkadang miris rasanya ketika menatapi
jemari ibu yang mulai keriput. Ingin rasanya aku mengajaknya untuk perawatan di
salon mahal, untuk pelayanan terbaik, untuk wanita terindah. Akan tetapi,
kemampuanku saat ini masih belum cukup untuk memanjakannya. Teringat manakala
ibu dengan telaten mengikir serat kayu pada meubel
buatan om-ku dan karyawannya. Atau ketika dengan gigihnya ibu menancapkan
paku dan memukulnya dengan sisa tenaganya menggunakan palu yang teramat berat,
hanya untuk menyekolahkan kami berdua, buah hati yang dimiliki ibu. Sakit
sekali rasanya menyaksikan tiap adegan-adegan memilukan seorang wanita yang
paling aku sayangi.
Ibuku juga
pahlawanku. Ketika ada orang yang mengejekku, ibuku dengan lantang mengatakan,
“mereka hanya sirik dan iri dengan semua kelebihan yang kau miliki”. Ataukah
ketika saudaraku dipuji dokter gigi karena rentetan giginya yang rapi,
sedangkan aku tidak. Dengan sabar ibu akan menerangkan jika ketampanan tidak
hanya berasal dari fisik, melainkan dari hati. Dan menurutnya ibu sangat bangga
dan beruntung memiliki aku dan kakakku. Kami-lah alasan ibu untuk tetap hidup
dan berjuang.
Tepat pada
proses penganugerahan gelar bagi wisudawan dan wisudawati salah satu
universitas negeri di kotaku, tempatku memperoleh gelar sarjana mudaku, aku
akan mengenang satu momen yang paling mendebarkan. Senyum bahagia sekaligus
bangga ibu, om, dan tanteku tersirat dengan jelas. Senyum bermakna seolah
berkata terima kasih untuk setiap kebahagiaan yang kau berikan, juga untuk
kebahagiaan hari ini. Bagaimana tidak, namaku dikumandangkan di depan ratusan
wisudawan dan wisudawati universitas tersebut sebagai wisudawan terbaik wakil
jurusan yang aku program selama ini. Tidak mudah kawan untuk semua itu. Berapa
banyak air mata ibu dan keringatnya yang tercurah hanya untuk satu gelar hari
ini. Dan sekarang aku persembahkan hanya untuk wanita tercantik dan akan selalu
jadi yang tercantik dalam hidupku. Jika kelak Tuhan meridhoiku untuk dapat
memilih pasangan hidupku, maka akan aku pilih yang secantik, sesabar, setegar,
sekuat, selembut, sepeka, dan seindah ibuku.
Hingga saat
aku menuturkan sebuah pengakuan jujurku pada temanku, sampai detik itu pula
rasa cintaku akan selalu ada untuknya. Tidak akan pernah berubah meski akan ada
beribu-ribu jarak diantara kami. Karena yang kami tahu, hati kami tak pernah
terpaut jauh. Satu hal yang aku mulai pahami, aku akan mulai berlatih
mengungkapkan rasa cintaku padanya, sebelum aku terlambat dan tidak sempat
untuk hanya sekedar mengucapkan “aku sayang ibu” sambil menggenggam kedua
tangannya dan mengecupnya hangat. Semoga aku masih punya waktu untuk bisa
menghabiskan berdua dengannya, melakoni berbagai percakapan dan diskusi ringan
layaknya percakapan ibu dan anak lelakinya.
***
Cerita
temanku menghanyutkanku dalam lamunan sejenak tentang aku yang juga tinggal
terpisah jauh dengan ibuku sayang. Rasanya jauh lebih berat, mengingat aku anak
perempuan yang akan selalu membutuhkan bimbingan seorang ibu. Semoga aku juga
masih punya waktu untuk berbakti dan membahagiakan beliau. Semoga masih ada
waktu untuk mengantarkan kembang untuknya, karena beliau sangat suka dengan
kembang apalagi pada jenis anggrek. Semoga masih ada waktu untuk menyeruput teh
hangat dengan camilan khas ibu, pisang goreng crispy yang menjadi favoritku, sambil menikmati terbenamnya
matahari di suatu penghujung hari. Amin.
Sekarang
baik aku dan temanku masih memiliki tugas yang teremban sejak menjadi anak
mereka. Membahagiakan mereka, sederhana namun terlalu abstrak untuk direalisasikan.
Namun bukan tidak mungkin kami akan mewujudkannya, atau mungkin lebih. Sebagai
rasa terima kasihku, rasanya tidaklah berlebihan ketika aku membuatkan sebuah
sajak sederhana semoga bersahaja untuk perempuan paling menginspirasi hidup
kami.
Kelopak mawar yang berguguran
pertanda usianya yang menua.
Mereka menjadi pudar dan tidaklah
lagi elok untuk dipandang.
Apapun itu, namanya tetap mawar.
Kembang lambang keanggunan.
Tidak jauh berbeda denganmu.
Walau kisut mewarnai tiap elemen
kulit padamu.
Riasanmu tetap yang terindah untuk
kami.
Karena,
Kami cantik karenamu dan tampan
juga karenamu.
Kesederhanaan dan keikhlasanmu
membagi sedikit keindahanmu pada keturunannmu.
Betapa kau tidak egois,
Kala kami bosan mendengar
pertanyaanmu tentang akhir studi kami.
Padahal kami tahu persis, itu
caramu menyemangati kami.
Tetapi dengan berkharisma kau
menuturkan.
Mereka masih muda, masih penuh
gejolak dan labil.
Luar biasa….
Bahkan kami tak sebesar hatimu
untuk memaafkan kolega kami ketika mereka merendahkan kami.
Kau adalah malaikat tak bersayap
yang dianugerahkan Tuhan.
Mengisi hari-hari kami dengan
pelajaran hidup penuh makna.
Kasihmu terukir kuat di sanubari.
Mendesis, membisikkan, ketika kami
rapuh.
Menepuk dan menegarkan, ketika kami
tak mampu berdiri dengan kaki kami sendiri.
Tuhan,
Sisakan berpetak-petak lahan surge
untuk satu wanita ini.
Ijinkan kami menciptakan satu tiara
berhiaskan cinta untuk dikenakannya.
Untuk semua ruang tahu bahwasanya
dia pantas untuk disanjung.
Walaupun tak lebih dari-Mu.
Tetapi barang cukuplah untuk
membayar,
Hutang yang kami punya.
Meski kami tahu hutang itu tetaplah
hutang yang tak akan pernah terlunaskan.
Hingga pada akhirnya,
Ucapan sederhana menyertai tiap
langkah doa kami untuk beliau.
WE LOVE YOU MOM..
From us, big hug and kiss just for
rising your seconds.
May God Blessing Your Daily and
Live.
Amin.
Nhia Hammado
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks buat komentarx..:)