Sabtu, 17 November 2012

WANITA TERINDAH


“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
            Ini sebuah kisah nyata yang menginspirasiku. Seorang teman yang mengajarkan dan membuka mataku betapa seharusnya aku mencuci kaki ibuku berulang kali hanya untuk sekedar meminta maaf dan sebagai perwujudan rasa terima kasihku pada beliau.
            Sosok tegar Nampak di wajah kisutnya, haru biru membahana di relung-relung batin terdalamnya. Bagaimana tidak, kami baru saja ditinggal sosok seorang ayah. Menjadi figur ibu sekaligus ayah, tidak pernah terlintas dalam benak ibu akan ia lakoni secepat ini. Usia kakakku baru dua belas tahun, dan aku baru berusia delapan tahun. Tidak banyak yang bisa aku mengerti selain aku akan menjadi anak yatim. Siapa yang sangka, kepergian ayah ternyata menjadi awal perjuangan berat ibuku.
            Menjadi istri kedua bukan hal mudah. Apalagi saat itu ayah dan ibuku terpaut usia yang cukup jauh. Namun, ibu tidak pernah terdengar mengeluhkan masalah itu. Bagi ibuku, setiap keputusan adalah poin kehidupan yang harus dipertanggungjawabkan. Banyak prinsip hidup ibu yang tak bosan-bosannya aku acungkan jempol. Mulai dari semangat hidupnya hingga semangatnya untuk berbagi senyuman. Karena menurutnya, hanya itu yang dapat ia bagikan pada setiap orang. Mungkin karena itu pula, ayahku jatuh cinta pada tulusnya senyuman ibu.
            Untuk ukuran seorang anak laki-laki yang terakhir dalam urutan persaudaraan, aku terbilang sangat lengket dengan ibuku. Ketika ada orang yang mengatakan aku jelek, hitam dan ejekan-ejekan menyakitkan lainnya, ibuku dengan sabar akan mengelus pucuk kepalaku dan berkata bahwa akulah anak lelakinya yang tergagah. Kelak aku akan mendapatkan banyak cinta. Tetapi, jujur aku takut jikalau suatu saat nanti akan seperti tabiat ayahku, walaupun aku kagum akan keberhasilan dalam memenangkan beberapa proyek dan tender, tetapi masih saja seringkali aku kecewa atas perlakuan keluarga ayah terhadapku. Kedekatanku pada ibu terus berlanjut hingga aku beranjak dewasa. Semenjak itu, aku jadi malu dipeluk oleh ibu, aku jadi malu dikecup ibu, aku jadi malu untuk bermanja-manja dengannya walaupun sampai saat ini aku masih melakukannya. Bahkan yang parahnya, aku malu hanya untuk sekedar ucapkan I Love You, Mom.
            Baru saja saudaraku satu-satunya, yang tertua menikahi seorang gadis pujaannya. Terlalu dini menurutku, tapi biarlah. Setidaknya hal itu bisa mengurangi beban ibuku. Ibuku-lah orang yang penuh semangat menyekolahkan kami. Dibantu dengan kehadiran saudaranya, ia pun dengan hasil keringat yang telah ia kumpulkan dari puing-puing semangatnya berusaha agar bagaimana kesuksesan kami berdua dapat terwujud. Jika hanya mengandalkan harta peninggalan ayah, kami tidak adalah artinya. Semua hanya berbuntut perkara. Dan ibuku, sang wanita damai, dengan penuh kebijaksanaan ikhlas melepaskan semua fasilitas itu, termasuk satu unit rumah yang diperuntukkan untuk kami juga diambil alih oleh istri pertama ayahku. Ibuku selalu mengajarkanku untuk tetap bersyukur meski dalam kegetiran teramat sekalipun. Baginya, tidaklah penting tumpukan harta yang menggiurkan dan hanya memuaskan nafsu sesaat. Ilmu dan iman adalah kunci segalanya. Jadi, walaupun ibu tak akan pernah mampu mewariskan harta benda, namun dedikasinya untuk pendidikanku dan saudaraku satu-satunya adalah yang utama.
            Setelah beberapa saat usai pernikahannya yang sederhana, kakakku memboyong ibuku untuk tinggal serta bersama keluarga kecilnya. Mengingat saudaraku telah mapan, aku pun mengizinkan ibu dibawa pergi. Walaupun, sejak saat itu aku mulai merasa ada yang kurang dalam hidupku. Terutama saat ramadhan pertama tanpa ibu. Hanya ibu yang tahu bagaimana cara mengatasi anaknya yang sulit untuk dibangunkan. Karena itu pula, tidak jarang aku lemas seharian karena tidak sempat makan sahur. Bukan tidak dibangunkan, hanya saja tante da nom yang tinggal bersamaku belum tahu cara jitu menyadarkanku dari alam mimpiku. Detik-detik tanpa ibu mulai menimbulkan sesak yang semakin lama semakin menyeruak memenuhi dadaku. Setiap kali ibuku menelpon dan menanyakanku, ingin rasanya aku menghambur dipelukan ibu dan berkata aku rindu. Tetapi kenyataannya, egoisku jauh lebih membumbung ketimbang rasa rinduku. Pantang bagi seorang anak lelaki mengatakan “rindu” pada ibunya. Apalagi dengan perawakanku yang dinilai orang setengah preman dengan rambut ikal dan panjang.
            Ibuku tidak pernah bosan untuk menghubungiku. Kadang saat aku menolak untuk bicara dengannya, ibu menyerahkan gagang telepon kepada saudaraku untuk menanyakan apakah aku ingin bicara dengan ibu. Tapi, lagi dan lagi aku hanya mampu menjawab “tidak”, karena malu dengan kakak. Padahal, aku sangat ingin berbicara berlama-lama dengannya. Pernah suatu ketika aku merasa iri dengan kehadiran keponakanku. Awalnya aku piker dengan lahirnya anak dari saudaraku, sekurang-kurangnya ibu punya hiburan baru. Tetapi, manakala ibu lebih memperhatikan cucu barunya dibanding aku, aku mulai gusar. Seakan memahami amarah pada diriku, ibuku coba memberi perhatian dan pengertian lebih padaku. Pelan-pelan aku mulai sadar, kalau tindakanku bodoh. Alhasil, aku hanya terlihat semakin manja.
            Kebahagiaanku adalah kebahagiaannya, kalimat sederhana yang terbesit di kepalaku ketika ibu berbisik lirih pada doanya untuk setiap keberuntunganku. Semua itu terjadi ketika ibu sedang khusyuk dalam ibadahnya bertemu pada Sang Maha Kaya dan Pemurah. Derai air mata yang terurai deras mencerminkan sebuah pengharapan tulus yang seakan berkata, dicungkil kedua mataku pun hanya untuk menunjukkan keikhlasanku untuk anakku akan aku lakukan. Apalagi jika hanya untuk meluangkan waktu lebih lama saat berjumpa dengan Sang Khalik untuk menengadahkan kedua tangannya memohon yang terbaik untuk kedua anaknya, harapan terakhirnya, harta berharganya, memori termanisnya. Kaku kedua kakiku ingin segera bersujud dan menghampiri ibu dari belakang, mengecup keningnya, dan berkata terima kasih Tuhan untuk malaikat tak bersayap yang Kau kirimkan untuk kami. Tetapi, akulah sang pengecut yang kemudian hanya bisa menutup pintu kamar dan bergegas menjauh meraih remote TV seolah tidak ingin diketahui oleh siapa pun perkara sembabnya mata ini. Dan kejadian malam itu pun berlalu saja.
            Masih banyak lagi tingkahku yang aku sesali telah melakukannya. Aku hanya mampu mengatakan jikalau sampai saat ini aku masih seringkali tidur bersama ibuku setiap kali ia berkunjung dikediaman om dan tanteku pada satu orang temanku. Itupun karena aku merasa nyaman dan yakin jikalau ia tidak akan pernah membocorkan hal ini. Ibuku juga tahu persis dengan tabiatku yang penakut. Untuk itu, ibu juga selalu ada setiap kali aku merasa takut untuk sendiri.
            Usia ibuku kini menginjak paruh baya. Entah apakah aku pernah mengucapkan selamat ulang tahun pada ibuku atau tidak. Aku terlalu sibuk dengan duniaku. Semua itu aku lakukan untuk ibuku. Seperti ibu, beliau yang mengajarkanku tentang arti kerja keras, semangat, dan tanggung jawab. Terkadang miris rasanya ketika menatapi jemari ibu yang mulai keriput. Ingin rasanya aku mengajaknya untuk perawatan di salon mahal, untuk pelayanan terbaik, untuk wanita terindah. Akan tetapi, kemampuanku saat ini masih belum cukup untuk memanjakannya. Teringat manakala ibu dengan telaten mengikir serat kayu pada meubel buatan om-ku dan karyawannya. Atau ketika dengan gigihnya ibu menancapkan paku dan memukulnya dengan sisa tenaganya menggunakan palu yang teramat berat, hanya untuk menyekolahkan kami berdua, buah hati yang dimiliki ibu. Sakit sekali rasanya menyaksikan tiap adegan-adegan memilukan seorang wanita yang paling aku sayangi.
            Ibuku juga pahlawanku. Ketika ada orang yang mengejekku, ibuku dengan lantang mengatakan, “mereka hanya sirik dan iri dengan semua kelebihan yang kau miliki”. Ataukah ketika saudaraku dipuji dokter gigi karena rentetan giginya yang rapi, sedangkan aku tidak. Dengan sabar ibu akan menerangkan jika ketampanan tidak hanya berasal dari fisik, melainkan dari hati. Dan menurutnya ibu sangat bangga dan beruntung memiliki aku dan kakakku. Kami-lah alasan ibu untuk tetap hidup dan berjuang.
            Tepat pada proses penganugerahan gelar bagi wisudawan dan wisudawati salah satu universitas negeri di kotaku, tempatku memperoleh gelar sarjana mudaku, aku akan mengenang satu momen yang paling mendebarkan. Senyum bahagia sekaligus bangga ibu, om, dan tanteku tersirat dengan jelas. Senyum bermakna seolah berkata terima kasih untuk setiap kebahagiaan yang kau berikan, juga untuk kebahagiaan hari ini. Bagaimana tidak, namaku dikumandangkan di depan ratusan wisudawan dan wisudawati universitas tersebut sebagai wisudawan terbaik wakil jurusan yang aku program selama ini. Tidak mudah kawan untuk semua itu. Berapa banyak air mata ibu dan keringatnya yang tercurah hanya untuk satu gelar hari ini. Dan sekarang aku persembahkan hanya untuk wanita tercantik dan akan selalu jadi yang tercantik dalam hidupku. Jika kelak Tuhan meridhoiku untuk dapat memilih pasangan hidupku, maka akan aku pilih yang secantik, sesabar, setegar, sekuat, selembut, sepeka, dan seindah ibuku.
            Hingga saat aku menuturkan sebuah pengakuan jujurku pada temanku, sampai detik itu pula rasa cintaku akan selalu ada untuknya. Tidak akan pernah berubah meski akan ada beribu-ribu jarak diantara kami. Karena yang kami tahu, hati kami tak pernah terpaut jauh. Satu hal yang aku mulai pahami, aku akan mulai berlatih mengungkapkan rasa cintaku padanya, sebelum aku terlambat dan tidak sempat untuk hanya sekedar mengucapkan “aku sayang ibu” sambil menggenggam kedua tangannya dan mengecupnya hangat. Semoga aku masih punya waktu untuk bisa menghabiskan berdua dengannya, melakoni berbagai percakapan dan diskusi ringan layaknya percakapan ibu dan anak lelakinya.
***
            Cerita temanku menghanyutkanku dalam lamunan sejenak tentang aku yang juga tinggal terpisah jauh dengan ibuku sayang. Rasanya jauh lebih berat, mengingat aku anak perempuan yang akan selalu membutuhkan bimbingan seorang ibu. Semoga aku juga masih punya waktu untuk berbakti dan membahagiakan beliau. Semoga masih ada waktu untuk mengantarkan kembang untuknya, karena beliau sangat suka dengan kembang apalagi pada jenis anggrek. Semoga masih ada waktu untuk menyeruput teh hangat dengan camilan khas ibu, pisang goreng crispy yang menjadi favoritku, sambil menikmati terbenamnya matahari di suatu penghujung hari. Amin.
            Sekarang baik aku dan temanku masih memiliki tugas yang teremban sejak menjadi anak mereka. Membahagiakan mereka, sederhana namun terlalu abstrak untuk direalisasikan. Namun bukan tidak mungkin kami akan mewujudkannya, atau mungkin lebih. Sebagai rasa terima kasihku, rasanya tidaklah berlebihan ketika aku membuatkan sebuah sajak sederhana semoga bersahaja untuk perempuan paling menginspirasi hidup kami.
Kelopak mawar yang berguguran pertanda usianya yang menua.
Mereka menjadi pudar dan tidaklah lagi elok untuk dipandang.
Apapun itu, namanya tetap mawar.
Kembang lambang keanggunan.
Tidak jauh berbeda denganmu.
Walau kisut mewarnai tiap elemen kulit padamu.
Riasanmu tetap yang terindah untuk kami.
Karena,
Kami cantik karenamu dan tampan juga karenamu.
Kesederhanaan dan keikhlasanmu membagi sedikit keindahanmu pada keturunannmu.
Betapa kau tidak egois,
Kala kami bosan mendengar pertanyaanmu tentang akhir studi kami.
Padahal kami tahu persis, itu caramu menyemangati kami.
Tetapi dengan berkharisma kau menuturkan.
Mereka masih muda, masih penuh gejolak dan labil.
Luar biasa….
Bahkan kami tak sebesar hatimu untuk memaafkan kolega kami ketika mereka merendahkan kami.
Kau adalah malaikat tak bersayap yang dianugerahkan Tuhan.
Mengisi hari-hari kami dengan pelajaran hidup penuh makna.
Kasihmu terukir kuat di sanubari.
Mendesis, membisikkan, ketika kami rapuh.
Menepuk dan menegarkan, ketika kami tak mampu berdiri dengan kaki kami sendiri.
Tuhan,
Sisakan berpetak-petak lahan surge untuk satu wanita ini.
Ijinkan kami menciptakan satu tiara berhiaskan cinta untuk dikenakannya.
Untuk semua ruang tahu bahwasanya dia pantas untuk disanjung.
Walaupun tak lebih dari-Mu.
Tetapi barang cukuplah untuk membayar,
Hutang yang kami punya.
Meski kami tahu hutang itu tetaplah hutang yang tak akan pernah terlunaskan.
Hingga pada akhirnya,
Ucapan sederhana menyertai tiap langkah doa kami untuk beliau.
WE LOVE YOU MOM..
From us, big hug and kiss just for rising your seconds.
May God Blessing Your Daily and Live.
Amin.
Nhia Hammado

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks buat komentarx..:)