“ apa yang kau inginkan saat kita
benar-benar bersama suatu hari nanti? Aku hanya ingin menghabiskan soreku
denganmu di anjungan yang penuh camar,sederhana.”
Senja diantara riuh ramai ruangan,
mataku hanya terpaut pada sepasang mata yang hanya bisa berbicara dari panah
tajam tatapannya yang ia lepaskan tepat menyentuh bagian terdalam hatiku hingga
penasaran. Namanya Nhia, se-anggun wajahnya. Tapi bukan itu yang membuatku
penasaran, senyum, tawa renyahnya, seolah tak ada masalah dengan kehidupannya,
sempurna. Matanya bulat dan cerah, entah dari mana sihir yang menjadikannya
manusia luar biasa untuk aku pelototi hingga mampus hatiku berdebar tak karuan.
Lamunanku dibuyarkan oleh kata
hatiku yang tak sopan menghampiriku. Pelan-pelan dia membisikkan untuk tidak
pernah berharap menjadi satu bagian dari hidup Anggun. Dia terlalu sempurna
untukku! Entah berapa kata sempurna lagi yang mampu aku sisipkan tiap kali
mataku liar mencuri sepasang mata bola miliknya. Tuhan, hatiku tidak dapat
berbohong. Ia jauh lebih kuat ketimbang logikaku saat ini. Maafkan aku, karena
saat ini yang aku mau hanya menatap matanya.
Dia, dia, dan kemudian dia. Tanpa
sadar laptop aku biarkan mongering
seiring dengan mataku yang semakin perih mengharap ia mampu mengerti arti
pandanganku. Sebelumnya aku pernah bertemu dengannya, tapi rasa kagumku tak
sehebat ini. Masya Allah, dia seperti penyihir yang tiba-tiba saja menyihirku
jadi sosok kaku dan gagu, walau hanya untuk mengatakan “hai”! Atau mungkin,
karena dia dan aku terlalu.., dan aku berusaha menyudahi lamunanku yang terlalu
lancang menjamah keindahan paras anggun.
***
Aku bertemu dengannya beberapa waktu
yang lalu, mungkin lebih tepatnya beberapa bulan yang lalu. Iya, perumpamaan
waktu yang tepat “hampir setahun”. Kala itu, dia sedang bersama seorang lelaki,
aku pikir kekasihnya. Aku pun menertawai diriku yang salah mendiagnosa, karena
ternyata lelaki yang bersamanya hanya rekan bisnisnya. Aku terlampau curiga,
bentuk dari kewaspadaanku agar hatiku siap dengan kemungkinan terburuk.
Tak habisnya mereka aku tatapi,
mengamati tiap jengkal tingkah mereka lalu aku simpulkan mereka hanya teman.
Disitulah awal perdebatan antara hati dan logika ku. Diam-diam hatiku menaruh
kata “ingin” pada sosok anggun. Diam-diam pula logika ku mati-matian melumpuhkan
semangat sang hati dengan menghadirkan sejuta fakta ketidakpantasan ku
mengharapkan ranum pribadinya. Sangat matang untuk gadis seusianya, dewasa,
bersahaja. Semoga kata-kata itu tidak berlebihan untuk aku sematkan pada
lakonnya yang nampak.
***
Hari ini di penghujung senja aku
diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa, untuk kembali menjumpai ciptaan
anggun-Nya, meski harus mencuri-curi kesempatan untuk bisa mencari sepasang
mata itu. Hanya itu yang bisa aku lakukan, yah..setidaknya hanya itu yang bisa
aku lakukan saat ini. Hingga suatu kesempatan aku dan dia diberi waktu untuk
saling mengenal dan kami pun larut pada nyamannya perkenalan itu.
Mungkin ini tidak akan bertahan
lama, didera berbagai masalah sepertinya akan membuat Anggun menyerah pada keadaan.
Aku dan logika merasa malu terlebih dikarenakan perkiraan kami meleset. Dia
masih bertahan dengan perkenalan dan ingin terus mengenalku. Sejujurnya aku
juga ingin mengenalnya lebih jauh, hanya saja ada marka yang harus kami patuhi
dan sedikit kami lunakkan. Tidak mudah, wanita yang pantang menyerah! Justru
terkadang seperti aku yang merasakan lelah itu. Namun, berkali-kali senyumnya
membuatku yakin untuk tetap berdiri pada apa yang aku yakinkan.
Bagaimana mungkin dari kepalanya
terlintas prinsip itu, dan bagaimana mungkin ia begitu meyakini apa yang ia
putuskan sedangkan saya saja yang berumur jauh lebih tua darinya bermental
rapuh. Sebenarnya ia pun rapuh, sangat rapuh. Tetapi keyakinan dan tekadnya
menjadikannya wanita kuat dan kadang-kadang jadi terlihat keras kepala. Dari
pesan singkat yang terkirim untukku, aku kembali mengulang membaca pelan apa
yang ia kirimkan untukku. Kurang lebih seperti ini isinya:
“ Aa, saya percayaki, saya berharap penuh
sama kita. Pernah saya berharap pada sesorang, tetapi tidak sebesar ini.
Mungkin karena aku berharap kita yang terakhir. Apa pun hasil akhirnya saya
bisa terima, asalkan masih berjuangki selama harapan itu masih ada, sekecil
apapun itu tetap disebut perjuangan. Jadi, besok-besok kalaupun harus gagal,toh..kita
sudah pernah mencoba untuk melakukan yang terbaik! Miss you dear..:)”
Ikon senyum selalu saja ia bubuhkan
pada tiap pesan yang ia kirimkan untukku. Kecuali ketika ia sedang marah dan BT dengan sikapku yang sibuk dan selalu
terbuai dengan godaan memejamkan mata di atas empuknya bantal padahal aku
tengah berbicara dengannya. Itu semua lucu untukku. Oh iya, dia tidak hanya
menjadi wanitaku, terkadang dia menjadi adik kecilku [makna kiasan], terkadang
dia menjadi nenek cerewet yang siap meneror, kadang dia berlagak sebagai
pembimbing akademik, kadang dia sok bego walaupun aku tahu persis itu bukan
dia.
Kembali pada sepasang mata bundar
miliknya, entahlah..bisa dibuat gila dan lapar aku apabila mengingat sepasang
mata bundar itu. Gila karena entah kapan aku bisa benar-benar menatapnya dan
menikmati tiap sensasi tatapan yang ia luncurkan padaku. Lapar, karena bundar
tak hanya matanya tapi juga wajahnya yang senantiasa mengingatkanku pada
semangkok bakso.
***
Pernah suatu ketika pada suatu senja
dia bertanya padaku, apa rasanya menjadi satu bagian dari hidupnya. Sehelai
senyum terbias di wajahku, sambil mencoba mencari-cari rangkaian kata yang bisa
aku rencong untuk menjadi seuntai kalimat. Dan aku dapati diriku tak mampu
berucap. Hanya semburat rona merah yang bisa aku bayangkan menari di sekitar
pipinya. Untuk saat ini hanya mampu “membayangkan” sampai suatu saat nanti aku
bisa benar-benar bersamanya. Kemudian ide jahil pun mengawang-awang dari
kepalaku. Aku tanyakan padanya:
“Apa
yang kau inginkan saat kita benar-benar bersama suatu hari nanti?” tanya
diriku.
“Aku hanya ingin menghabiskan
soreku denganmu di anjungan yang penuh camar, sederhana.” akunya sesingkat aku
mampu membayangkan kembali sepasang mata itu.
Angin malam berhembus perlahan
membisikkan imajinasi penuh fantasi pada seonggok otak yang ditaruh Tuhan pada
posisi teratas. Seolah menegaskan, segala sesuatu harus melalui otak kemudian
hati yang berada lebih bawah. Andai saja dapat aku tembus kabut malam itu, akan
aku pacu kedua kakiku berlari sedemikian cepatnya hanya untuk merapikan
singgasana ratu yang telah mencuri setengah akal ku beberapa bulan terakhir
ini. Yang tak bisa juga aku pungkiri, adalah kemampuannya mempermainkan mood dalam diriku. Benar-benar mahluk
utusan Penciptanya yang diberi amanah untuk menguji kesabaranku.
Sudah berkali-kali aku mencoba
membuat semua menjadi realistis untuk aku pahami. Tetapi ada-ada saja yang
mistik dan unik darinya. Seperti disengaja, dia melancarkan hipnotis kepadaku.
Awalnya hanya mengagumi sepasang matanya, kemudian menjadi satu candu yang aku
sebut jatuh cinta. Saat ini tengah aku ubah menjadi “bangun cinta” agar tak ada
kesakitan ataupun penyakit kronis yang mengkontaminasinya. Semoga tetap murni
dalam balutan keikhlasan, setidaknya hanya itu nilai magis yang bisa aku minta
pada Sang Empunya Ciptaan sempurna. Semoga kami dapat disatukan untuk setiap
senja yang kami lalui.
***
Aku
sudahi lamunanku karena senja ternyata telah meninggalkanku digantikan oleh
gelap sempurna. Aku mengakhiri lamunanku dengan berjuta janji yang aku berikan
padanya. Satu harapku, semoga aku-lah janji yang diciptakan Sang Maha Diatas
Maha untuk masa depannya. Amin.
Nhia,
optimis, ceria, seceria virus yang ia suntikkan pada tiap kesempatan memikirkan
sepasang mata bundarnya. Teruslah seperti itu, teruslah menjadi Nhia-ku, sampai
senja berikutnya mempertemukan kita pada dua pasang mata yang saling berpaut
bukan sekedar mengagumi. Namun saling memiliki. Nhia..selamat menyambut petang
sayang, dari pengagum senja dan sepasang mata bola milikmu.
Mawang,
02 Mei 2013
_Nhia
Hammado_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks buat komentarx..:)