
Jauh dari suku rumpun kami, ada
wilayah yang jumlah anginnya jauh melebihi wilayah kami. Terlihat banyak gunung
dan kawasan yang masih kosong. Warna tanahnya pun berbeda, cokelat bahkan
nyaris kemerahan. Subhanallah..sungguh perbedaan yang indah. Di tanah mereka
yang tergenang air ada gerombolan bakau dengan kokoh. Seperti kami, mereka pun
bersuku-suku. Ada bibit yang terbawa angin, ada yang sengaja ditanam dan
dikembangbiakkan, dan ada yang telah tumbuh sejak nenek moyang ada. Aku selalu
tertarik dengan cerita tentang wilayah baru itu. Terlebih kepada satu tanaman
yang mereka sebut akasia. Kekagumanku aku simpan dengan rapi hingga suatu
ketika takdir mempertemukanku pada akasia. Aku sang ilalang terpaut jauh
beberapa meter dari tinggi akasia. Walaupun rumpun kami bisa tumbuh menjulang
tinggi, tapi tak akan pernah menyamai tinggi akasia. Batangnya kokoh, warna
daunnya rupawan, dahannya merunduk kala angin berlalu, terkesan kaku dan diam,
tapi tidak apalah, namanya juga tanaman berkharisma.
Aku, sang ialalang, mulai mengenal
dan mencoba menggapai rindangnya akasia. Teduh, tenang, bersahaja, perkasa. Itu
gambaran kekagumanku padanya. Sungguh ciptaan-Nya yang sempurna. Tanpa sadar
aku larut tenggelam mengaguminya. Seperti gayung bersambut, aku sang ilalang
yang berbunga sederhana, bahkan kadang tak berbunga, dipujinya sebagai tanaman
anggun dan elegan. Belum pernah ada tanaman [pohon] yang menyebutku seperti
itu. Harapanku satu-satunya adalah tetap tumbuh di sampingnya. Merasakan tiap
oksigen yang dihasilkannya, menyapanya setiap kali mentari berangkat untuk
bertugas, dan mengucapkan salam ketika rembulan mengganti jam kerja sang surya.
Sebelumnya aku pernah dekat dengan tanaman-tanaman lainnya, ada yang menusuk,
gersang, tumbuh kekar tanpa memperdulikanku, dan ada yang tumbuh sendiri
sekenanya tanpa rasa peka ditubuhnya.
Yang menganehkannya, semua
tanaman-tanaman sebelumnya tumbuh dalam jangka waktu lama disampingku. Ada yang
berkesan dan ada yang hambar. Tetapi rasanya aku ikhlas jika mereka harus
dicabut dari sampingku. Tidak mengapa, toh..akan ada tanaman baru yang akan
menemaniku. Untuk kali ini, aku nyaman disampingnya. Dia melindungiku dari
terik, terpaan angin kencang, dan guyuran hujan lebat. Seolah tak ada celah
untuk aku tersakiti. Sang akasia, akasiaku, lelakiku.
Sebulan lebih lamanya aku tumbuh
bersama akasia. Banyak cerita, kenangan, suka, duka, air mata, canda tawa,
mimpi, dan yang lebih gilanya kami berencana akan bertualang berdua di kawasan baru
untuk mewujudkan semua mimpi kami. Kenyataan berkata lain. Pagi itu matahari
sangat terik. Cuaca yang paling kami tidak senangi. Karena kami suka hujan,
tidak ada kekeringan dan kegalauan. Sangat berbeda dengan cuaca hari ini, debu
pun turut mengaburkan pandangan kami. Tamparan berat untuk kami. Hari ini aku
harus tercabut dari daratan yang aku pijaki. Terpisah jauh dari akasia. Dan coba
tebak alasannya adalah karena suku. Ia tak cocok untuk tetap tumbuh
disampingku. Aku pun dinilai tak baik untuk terus bersamanya. Masih banyak
tanaman suku lain yang tepat untuk hidup disampingku.
Bukan alasan itu yang aku harapkan
menjadi patokan kepindahanku ke wilayah lain untuk tetap tumbuh. Tetapi, hanya
alasan itu yang aku dapati ketika aku rapatkan dengan rumpun ilalang lainnya. Dengan
berat aku pun “harus” menyampaikannya pada akasia. Sederhana jawabannya, kita
memang salah. Dari awal kedekatan kita sudah salah. Seperti yang aku katakan,
kau terlalu indah untuk tumbuh tertutup di sampingku. Rimbunnya daunku akan
menghambat pertumbuhanmu. Mereka telah tepat untuk memisahkan kita. Namun ingat,
aku tidak akan pernah menyesal bisa tumbuh kokoh disampingmu, menyayangimu, dan
menjadi yang terbaik dalam beberapa hari..walaupun singkat, terima kasih
ilalang.
Air mataku jatuh bertumpah ruah,
entah berapa banyak aku habiskan. Cinta yang perlahan aku tumbuhkan harus
hancur ketika suku telah berbicara. Aku tahu aku bukan tanaman pertama yang
harus perih karena suku. Dua kawan yang aku kenal lama, sebelumnya harus
menggadaikan cinta dan kasih sayangnya karena suku. Tak aku sangka perbedaan
suku menjadi pembatas nyata di kisah cintaku. Harusnya perbedaan menjadi
anugerah yang indah, tetapi itu yang mematahkan rasa kami. Padahal kami tumbuh
di tanah yang disebut Indonesia, yang notabene sangat beragam dan menjujung
tinggi keberagaman. Sudahlah..biar ini menjadi kisahku. Insya Allah, besok,
lusa, jika aku masih diberi kesempatan untuk menjadi ilalang dewasa, aku akan menghargai
perbedaan itu. Ini yang terbaik untuk kita dinda, kata akasia menutup kisahku
dan dia.
Mawang, 30 Maret 2013
Aku yang patah hati,
dipatahkan oleh keadaan.
Aku tidak membencinya, hanya
saja aku ingin berdiam merenungi.
Bukan salah mu, aku atau kita.
Adat-lah tembok besar itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks buat komentarx..:)