Jumat, 29 Maret 2013

Sang ILaLang: Ketika Suku Berbicara


Wilayah padang rerumputan tengah gusar karena isu yang bertiup seperti angin menyapa diantara penghuni padang. Kawasan itu telah lama terbagi menjadi suku-suku yang beragam. Ada suku Bagea yang penghuninya pun beraneka sifat dan watak. Namun ada yang khas dari mereka, pekerja keras namun seringkali bersifat antipasti dengan penghuni lainnya. Ada lagi suku Mantaga yang kebanyakan dari mereka masih senang dengan animisme dan dinamisme yang berkembang. Dan aku sang ilalang berasal dari suku Makassau yang kebanyakan dari kami keras, berprinsip, bahkan nyaris terlihat anarkis. Banyak hama dan serangga yang takut pada rumpun kami. Aku bangga menjadi sang ilalang, kokoh terterpa angin, bergoyang meliuk mengikuti irama angin, dan mawas terhadap serangan juga hama.

Jauh dari suku rumpun kami, ada wilayah yang jumlah anginnya jauh melebihi wilayah kami. Terlihat banyak gunung dan kawasan yang masih kosong. Warna tanahnya pun berbeda, cokelat bahkan nyaris kemerahan. Subhanallah..sungguh perbedaan yang indah. Di tanah mereka yang tergenang air ada gerombolan bakau dengan kokoh. Seperti kami, mereka pun bersuku-suku. Ada bibit yang terbawa angin, ada yang sengaja ditanam dan dikembangbiakkan, dan ada yang telah tumbuh sejak nenek moyang ada. Aku selalu tertarik dengan cerita tentang wilayah baru itu. Terlebih kepada satu tanaman yang mereka sebut akasia. Kekagumanku aku simpan dengan rapi hingga suatu ketika takdir mempertemukanku pada akasia. Aku sang ilalang terpaut jauh beberapa meter dari tinggi akasia. Walaupun rumpun kami bisa tumbuh menjulang tinggi, tapi tak akan pernah menyamai tinggi akasia. Batangnya kokoh, warna daunnya rupawan, dahannya merunduk kala angin berlalu, terkesan kaku dan diam, tapi tidak apalah, namanya juga tanaman berkharisma.

Aku, sang ialalang, mulai mengenal dan mencoba menggapai rindangnya akasia. Teduh, tenang, bersahaja, perkasa. Itu gambaran kekagumanku padanya. Sungguh ciptaan-Nya yang sempurna. Tanpa sadar aku larut tenggelam mengaguminya. Seperti gayung bersambut, aku sang ilalang yang berbunga sederhana, bahkan kadang tak berbunga, dipujinya sebagai tanaman anggun dan elegan. Belum pernah ada tanaman [pohon] yang menyebutku seperti itu. Harapanku satu-satunya adalah tetap tumbuh di sampingnya. Merasakan tiap oksigen yang dihasilkannya, menyapanya setiap kali mentari berangkat untuk bertugas, dan mengucapkan salam ketika rembulan mengganti jam kerja sang surya. Sebelumnya aku pernah dekat dengan tanaman-tanaman lainnya, ada yang menusuk, gersang, tumbuh kekar tanpa memperdulikanku, dan ada yang tumbuh sendiri sekenanya tanpa rasa peka ditubuhnya.

Yang menganehkannya, semua tanaman-tanaman sebelumnya tumbuh dalam jangka waktu lama disampingku. Ada yang berkesan dan ada yang hambar. Tetapi rasanya aku ikhlas jika mereka harus dicabut dari sampingku. Tidak mengapa, toh..akan ada tanaman baru yang akan menemaniku. Untuk kali ini, aku nyaman disampingnya. Dia melindungiku dari terik, terpaan angin kencang, dan guyuran hujan lebat. Seolah tak ada celah untuk aku tersakiti. Sang akasia, akasiaku, lelakiku.

Sebulan lebih lamanya aku tumbuh bersama akasia. Banyak cerita, kenangan, suka, duka, air mata, canda tawa, mimpi, dan yang lebih gilanya kami berencana akan bertualang berdua di kawasan baru untuk mewujudkan semua mimpi kami. Kenyataan berkata lain. Pagi itu matahari sangat terik. Cuaca yang paling kami tidak senangi. Karena kami suka hujan, tidak ada kekeringan dan kegalauan. Sangat berbeda dengan cuaca hari ini, debu pun turut mengaburkan pandangan kami. Tamparan berat untuk kami. Hari ini aku harus tercabut dari daratan yang aku pijaki. Terpisah jauh dari akasia. Dan coba tebak alasannya adalah karena suku. Ia tak cocok untuk tetap tumbuh disampingku. Aku pun dinilai tak baik untuk terus bersamanya. Masih banyak tanaman suku lain yang tepat untuk hidup disampingku.

Bukan alasan itu yang aku harapkan menjadi patokan kepindahanku ke wilayah lain untuk tetap tumbuh. Tetapi, hanya alasan itu yang aku dapati ketika aku rapatkan dengan rumpun ilalang lainnya. Dengan berat aku pun “harus” menyampaikannya pada akasia. Sederhana jawabannya, kita memang salah. Dari awal kedekatan kita sudah salah. Seperti yang aku katakan, kau terlalu indah untuk tumbuh tertutup di sampingku. Rimbunnya daunku akan menghambat pertumbuhanmu. Mereka telah tepat untuk memisahkan kita. Namun ingat, aku tidak akan pernah menyesal bisa tumbuh kokoh disampingmu, menyayangimu, dan menjadi yang terbaik dalam beberapa hari..walaupun singkat, terima kasih ilalang.
           
Air mataku jatuh bertumpah ruah, entah berapa banyak aku habiskan. Cinta yang perlahan aku tumbuhkan harus hancur ketika suku telah berbicara. Aku tahu aku bukan tanaman pertama yang harus perih karena suku. Dua kawan yang aku kenal lama, sebelumnya harus menggadaikan cinta dan kasih sayangnya karena suku. Tak aku sangka perbedaan suku menjadi pembatas nyata di kisah cintaku. Harusnya perbedaan menjadi anugerah yang indah, tetapi itu yang mematahkan rasa kami. Padahal kami tumbuh di tanah yang disebut Indonesia, yang notabene sangat beragam dan menjujung tinggi keberagaman. Sudahlah..biar ini menjadi kisahku. Insya Allah, besok, lusa, jika aku masih diberi kesempatan untuk menjadi ilalang dewasa, aku akan menghargai perbedaan itu. Ini yang terbaik untuk kita dinda, kata akasia menutup kisahku dan dia.

Mawang, 30 Maret 2013
Aku yang patah hati, dipatahkan oleh keadaan.
Aku tidak membencinya, hanya saja aku ingin berdiam merenungi.
Bukan salah mu, aku atau kita. Adat-lah tembok besar itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks buat komentarx..:)