Perkenalkan
aku adalah Myrah, perempuan berusia 24 thn yang hidup penuh keteraturan. Sejak
kecil aku telah dibiasakan sebagai planner
(penyusun rencana) untuk setiap aktivitas. Kebiasaanku itu membentuk diriku
menjadi wanita dengan penuh pertimbangan yang senantiasa mengukur dan menakar
proporsi dari setiap peluang kemungkinan suatu kejadian. Tidak ada yang
menduga, sebelumnya saya bukanlah manusia yang senang dengan keteraturan. Akan
tetapi, sudah tepat kiranya pepatah yang menyebutkan “tajam pisau karena asah”,
semua akan terbina dengan pembiasaan.
Aku
bekerja sebagai pendidik sekaligus psikologi anak usia sekolah. Aku termasuk
wanita yang mencintai pekerjaan. Bagiku, pekerjaan ini adalah panggilan jiwa,
bukan hanya sekedar bekerja untuk gaji. Sebagai wanita yang masih melajang,
saya bukan ukuran perempuan yang tidak menyukai riuh teriakan dan kegaduhan
anak-anak. Justru itulah alasan mengapa aku bertahan denga pekerjaan ini,
walaupun tawaran menjadi insinyur, direktur, atau dokter jauh lebih
menjanjikan. Sifatnya yang tidak monoton, acapkali harus berprofesi sebagai
seniman; kadang menjadi pembina agama; pendidik; bahkan menjadi ibu mereka,
membuat kerinduan menyeruak membahana diantara relung-relung kamar ketika aku
pulang ke kontrakanku.
Besok
adalah hari besar untukku. Seminar mengenai parenting
dan manajemen anak dengan kebutuhan khusus akan dihelad di balai besar yang
bertempatkan di pusat kota. Semua persiapan telah aku mantapkan. Mulai dari
pemilhan materi yang cerdas (bermanfaat dan menarik), sajian slide yang kiranya akan membuat para ibu
sadar dengan apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk tumbuh kembang anaknya,
pakaian yang eye catching; anggun;
namun tetap nyaman untuk aku gunakan, hingga sarapan cukup untuk mencegah
penyakit maag-ku. Terbiasa hidup dalam ketatanan yang apik, membuatku jarang
melewatkan satu item pun dalam daily note untuk tidak aku centang
sebagai bukti kesiapan aku untuk menyajikan hal yang terbaik dalam satu hari. Tetapi,
bukan tidak berarti aku tidak pernah mendapati beberapa pergeseran jadwal
kegiatan. Dan, bisa ditebak, ketika rencana A gagal, maka otomatis akan
berpindah ke rencana B. Bukankah alfabet itu ada 26 banyaknya, dari A hingga Z.
Orang lazim menyebutnya “ke-fleksibelan”.
Gaun,
checked.
Sepatu,
checked.
Materi,
checked.
“Hmm..
saatnya saya mengenakan pakaian dan sedikit memoles wajah agar terlihat menawan
dan segar”, pikirku.
Waktu
berdandan adalah waktu yang paling aku senangi. Mencocokkan antara satu potong
pakaian dengan pakaian lainnya. Mencoba memikirkan polesan wajah yang pantas,
membuatku menjadi wanita paling luar biasa. Meskipun termasuk wanita yang tidak
menghabiskan waktu dandan paling lama, tetapi selalu saja ada kesan ketika aku
mematuk wajah di depan cermin. Hari ini sepertinya ada yang berbeda.
Pandanganku terpaut jauh di sudut kamar melihat siluet berbayang akibat
pantulan cahaya di kamar. Aku dekati dengan deru penasaran yang memburu.
Tap..
Tap..
Ketukan
sepatu yang aku kenakan menggaung memenuhi ruang.
Aura
magis berasa membenamkan setiap nyali yang ada di tubuhku.
Satu..
Dua..
Dan..
Aku
kembali berhenti untuk sekedar membersihkan peluh yang sebesar bulir sari jeruk
dan meyakinkan diri untuk tetap maju mengikuti hasrat penasaranku. Aku
perhatikan tiap-tiap langkah agar kiranya keseimbangan badanku tetap pada sumbu
kewajaran sehingga aku tidak limbung.
Lalu,
rasa yang membuncah itu mengalahkan rasa takutku. Aku hentakkan kain usang yang
menutupinya, dan betapa terperangahnya diriku mendapati sebuah cermin tua. Masih
cantik meski sedikit agak cacat di beberapa ukirannya. Dari pesan yang
disajikan pemahatnya, sang seniman itu nampaknya hendak menunjukkan cantiknya
Indonesia. Aku raba setiap detailnya ukiran yang menyelimuti pinggiran kaca,
sembari aku tiupi debu yang melekat abadi di sisi-sisi cermin tua itu.
Seketika, sekelebat pikiran buruk merampas akal sehat.
“Mungkin
saja ini seperti cermin-cermin yang banyak dicerita fiksi” batinku.
“Sebentar
lagi akan ada kutukan atau apalah yang tiba-tiba menelanku masuk ke dalam
cermin” ketusku diam-diam.
Dan
kenyataan berbicara lain. Tidak aku dapati keanehan atau keajaiban apapun dari
cermin tua ini. Kemudian aku menamainya Queen
of Lily, karena aku sangat mengagumi sang Lady Diana yang identik dengan bunga anggun itu.
Berhari-hari
setelah penemuan magisku itu, yang entah siapa pengirimnya, aku tidak merasakan
sedikit pun kejadian yang seperti sering aku temui dalam novel ataupun film
fiksi misteri favorit-ku. Hingga tiba
suatu hari, aku yang hendak bercermin untuk meyakinkan diriku telah pantas
menyajikan materi dalam sebuah seminar, tiba-tiba tersentak mundur karena
melihat sosok bayangan yang terpantul di cermin itu ternyata bukan diriku. Jika
aku perkirakan, gadis yang tampak berbayang di cermin itu sekitar……22 tahun.
Iya, dia lebih tepat aku sebt adik ketimbang bayangan diriku. Tapi, mengapa itu
terjadi? Apa yang salah dengan cermin tua ini. Aku pikir cermin ini bukan..ahh,
sudahlah. Dari awal harusnya aku sudah curiga, tidak mungkin ada cermin cantik
dan antik tersimpan di sudut ruanganku, jikalau tidak dinaungi aroma mistis.
Aku
memilih untuk tidak mundur dan tetap bersikukuh menatapi gadis dalam cermin
itu. Sejenak, aku melihat aura optimisme dan kesan acuh pada gadis 22 tahun
itu. Parasnya tidak cantik, tapi ia manis. Sangat manis untuk sekedar
dipandangi sekejap. Ketika anda memalingkan wajah sedetik saja, maka rasa rindu
seketika brutal memeluk anda. Memaksa anda untuk kembali meneguk manisnya paras
di cermin itu. Siapa gerangan gadis di cermin itu? Ingin rasanya aku menanyakan
namanya, namun tiba-tiba gadis itu berpaling membelakangiku sehabis merapikan
bagian ujung bajunya yang sedikit terlipat. Spontan tanganku seperti hendak
menggapai jemari kecilnya, dan berkata tunggu dulu. Tetapi aku terbentur oleh
batasan dunia, kaca cermin ini.
“Hai,
kamu mau kemana? Siapa namamu Dik?” sedikit aku keraskan suaraku berharap ia
mendengarku. Namun teryata dia melenggak pergi meninggalkanku dengan
ketidaktahuanku. Lalu seperti diputarkan layar tancap yang kerap warga desa saksikan,
aku bisa dengan jelas menatapi setiap adegan yang terjadi di dalam cermin tua
itu. Aku kemudian menarik satu kursi kayu yang tak jauh dari posisi cermin tua
tadi. Berdecit bunyinya kala beradu dengan lantai kayu sintetik dalam ruangan.
Aku benarkan posisi duduk ku, mengamati bagaimana cermin ini akan menceritakan
siapa dia. Yah, gadis bayanganku di cermin itu.
Tergambar
dalam cermin:
Gadis
itu (entah) memencet tombol-tombol telepon genggamnya menimbulkan bunyi nada
yang tak beraturan.
Tat..tit..tut..
Tut..tit..tat..
Tit..tut..tat..
Tat..tit..tit..
Kurang
lebih seperti itu bunyi yang dihasilkan jemari halusnya. Dan seperti
teknik-teknik penyorotan kamera dalam film, aku dihadapkan pada kalimat yang
tengah dirangkainya di ponsel canggih miliknya. Ia sedang menmbalas pesan
singkat untuk seorang lelaki diseberang sana. Tersirat, jika lelaki itu tengah
melakukan pendekatan dengannya. Sebelum ia membalasnya, tidak ayal dia
mengerutkan kening atau bahkan tersenyum tipis, seksi. Dasar anak muda,
toh..nanti terbuai juga dengan perhatian yang suatu saat akan meluluhkan
meskipun betapa kokohnya pendirian yang diciptakannya. Tetapi tidak, sikap
acuhnya meruntuhkan paradigmaku barusan. Gadis itu malah hanya membalas dengan
satu atau tiga kata-kata singkat. Bisa aku duga, lelaki di seberang sana akan
gusar atau bahkan geram membacanya jika saja ia tidak sabar. Tentu saja, gadis
itu tidak terlalu ambil pusing dengan tanggapan lelaki lawan ngobrolnya. Satu
hal yang ia ketahui, hidup terlalu singkat dengan hanya dipenuhi kekhawatiran
dan kecemasan berlebih. Masih ada banyak bagian dari dunia ini yang belum ia
jabat untuk menyempurnakan kebahagiaannya.
Masih
penasaran, dan aku terus menatapi cermin itu….
Bukan
sekali atau dua kali gadis itu bersikap dingin dengan lelaki yang menurutnya
hanya akan menambah daftar rusuhnya urusan ketika mereka masuk dalam daftar
“urusan yang harus diselesaikan”, tetapi ia telah lihai dalam menolak.
Hampir
semua kegiatan gadis dalam cermin itu dapat aku tonton. Aku seperti memutar
kembali siapa aku di masa lalu. Sikapnya tiap kali menimpali cowok-cowok yang
berusaha mendekatinya dengan ketidakpeduliannya, cara ia bercanda dengan
teman-teman sekelompoknya, bahkan cara dia menghabiskan waktu dan membunuh
kejenuhan rutinitasnya dengan mendengarkan lagu-lagu favoritnya dari
kabel-kabel earphone atau bass
pemutar suara di mobilnya. Semua itu bisa Myrah amati dengan seksama melalui
pantulan yang terbias di cermin.
Dan
sampailah ketika sang cermin itu menunjukkan klimaks dari rentetan adegan dalam
kaca. Kali ini seorang lelaki yang diajaknya saling mengirim pesan seolah
membuatnya penasaran. Iya, penasaran dengan waktu dan alur cerita yang akan
dilalunya tiap kali petang menyahut atas nama siklus alam. Mungkin karena
intens dan kualitas pembicaraan yang berbeda dengan lelaki-lelaki lainnya
korban keacuhannya. Tapi, dengan pembawaannya yang memang seperti itu, dengan
siapa pun dia berinteraksi pasti akan menemui dingin sikapnya. Hal itu yang
ternyata membuat sang lelaki semakin tak gentar untuk meyakinkan jika ia layak
untuk gadis belia tersebut.
Bagaikan
dituntun oleh cermin, Myrah membangkitkan kembali puing-puing masa lalu
bagaimana ia harus merasakan pengabaian dari lelaki-lelaki yang belum tepat
yang ia temui di masa silam. Perihal ignorance
itu telah membuatnya seperti sekarang ini. Berkepribadian dingin, acuh, dengan
penuh keteraturan. Gadis dalam cermin itu memang tidak asing. Ternyata, gadis
itu memanglah refleksi, pantulan bayangan siapa dia saat ini. Dan gadis dalam
cermin itu kini berkontribusi mencipratkan kegamangan pada siapa dia sebenarnya
saat ini. Sesaat ketika ia mengamati cermin pada jam-jam yang berlalu, ia sadar
terkadang ia menertawai bagaimana gadis itu berusaha membuat penasaran sang
lelaki yang ujung-ujungnya ternyata justru membuat dia yang pensaran akan
kegigihan lelaki tersebut. Terkadang ia brtepuk tangan berdecak kagum atas
prinsip yang digenggam erat gadis itu. Atau bahkan ia menangis sedih, tatkala
mendapati kesendiriannya di usianya yang tidak lagi se-belia gadis dalam cermin
itu.
Meskipun
tiap adegan yang terpampang di cermin hanya mempertontonkan sekuen-sekuen
sederhana keseharian gadis belia itu, tetapi ternyata ada makna yang ingin
diajarkan oleh cermin tua itu. Dari penolakan-penolakan yang diterapkan sang
gadis, Myrah ternyata masih harus belajar memilah, kapan harus menolak dan
kapan harus menerima, atau mungkin kapan harus menggantung keputusan. Sekarang
apa yang ia hadapi hanya sebagian ketakutan kecil. Jikalau dulu ia mampu
menganggap enteng segalanya dan bersikap acuh seperti gadis itu, sekarang ia
harus memulai mengkhawatirkan penggunaan strategi untuk tetap bijak dalam
memilih jalan hidup. Apa yang dilakukan gadis dalam cermin itu seakan mencoba
menyadarkanku bagaimana dulu aku mampu melalui tiap rintangan. Mengapa justru
sekarang aku seperti disergap kecemasan dan ketakutan. Benar adanya, tidak ada
yang salah dengan cermin itu. Gadis dalam cermin itu adalah refleksi diriku,
Myrah. Pantulan bayangan yang dibentuk sang cermin memang aku, aku ketika aku
dengan segenap kekuatan menjadi orang yang pantang untuk dihinggapi kegalauan.
Itu memang aku. Sang cermin mencoba mengajarkanku arti berjuang dari refleksi
penolakan.
Ahh..ingin
aku jabat tangan gadis dalam cermin itu, dan akan aku bisikkan kata terima
kasih terdalam untuknya yang mengajarkanku kembali apa arti semangat, bagaimana
menkmati hidup, dan mengesampingkan masalah-masalah yang tidak penting. Ingin
aku ajarkan bagaimana penolakan-penolakan itu menjadi bibit optimisme, ingin,
aku sangat ingin dek. Agar nanti kamu tidak perlu menemukan kecemasan yang
berlebihan yang hanya akan merampas semangat hidupmu di balik bekunya sikapmu.
Cermin..wahai
cermin di dinding yang sakti..
Siapakah
wanita dalam cermin ini?
Dan
cermin kembali memantulkan bayangan diriku..
Yah..diriku
dengan gaun yang akan aku kenakan dalam seminar siang ini.
Dan..uppss..aku
telat lima belas menit.
Kemudian
dentuman sepatuku kembali beradu dengan alas kayu rumah kontrakanku.
Plak..plak..plak..
***
Epilog
Gadis
dalam cermin tadi tersenyum melambai, menghaturkan salam pada bayangannya
beberapa tahun ke depan. Semoga ia bisa jauh lebih baik lagi, lebih optimis,
sistematis, namun tetap fleksibel.
Bogor,
15 Oktober 2014
Thank’s
for my reflection on the mirror to avoiding me to do the wrong think..
Nhia
Hammado
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks buat komentarx..:)