Kamis, 30 Oktober 2014

Reflection of The Ignorance



Perkenalkan aku adalah Myrah, perempuan berusia 24 thn yang hidup penuh keteraturan. Sejak kecil aku telah dibiasakan sebagai planner (penyusun rencana) untuk setiap aktivitas. Kebiasaanku itu membentuk diriku menjadi wanita dengan penuh pertimbangan yang senantiasa mengukur dan menakar proporsi dari setiap peluang kemungkinan suatu kejadian. Tidak ada yang menduga, sebelumnya saya bukanlah manusia yang senang dengan keteraturan. Akan tetapi, sudah tepat kiranya pepatah yang menyebutkan “tajam pisau karena asah”, semua akan terbina dengan pembiasaan.
Aku bekerja sebagai pendidik sekaligus psikologi anak usia sekolah. Aku termasuk wanita yang mencintai pekerjaan. Bagiku, pekerjaan ini adalah panggilan jiwa, bukan hanya sekedar bekerja untuk gaji. Sebagai wanita yang masih melajang, saya bukan ukuran perempuan yang tidak menyukai riuh teriakan dan kegaduhan anak-anak. Justru itulah alasan mengapa aku bertahan denga pekerjaan ini, walaupun tawaran menjadi insinyur, direktur, atau dokter jauh lebih menjanjikan. Sifatnya yang tidak monoton, acapkali harus berprofesi sebagai seniman; kadang menjadi pembina agama; pendidik; bahkan menjadi ibu mereka, membuat kerinduan menyeruak membahana diantara relung-relung kamar ketika aku pulang ke kontrakanku.
Besok adalah hari besar untukku. Seminar mengenai parenting dan manajemen anak dengan kebutuhan khusus akan dihelad di balai besar yang bertempatkan di pusat kota. Semua persiapan telah aku mantapkan. Mulai dari pemilhan materi yang cerdas (bermanfaat dan menarik), sajian slide yang kiranya akan membuat para ibu sadar dengan apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk tumbuh kembang anaknya, pakaian yang eye catching; anggun; namun tetap nyaman untuk aku gunakan, hingga sarapan cukup untuk mencegah penyakit maag-ku. Terbiasa hidup dalam ketatanan yang apik, membuatku jarang melewatkan satu item pun dalam daily note untuk tidak aku centang sebagai bukti kesiapan aku untuk menyajikan hal yang terbaik dalam satu hari. Tetapi, bukan tidak berarti aku tidak pernah mendapati beberapa pergeseran jadwal kegiatan. Dan, bisa ditebak, ketika rencana A gagal, maka otomatis akan berpindah ke rencana B. Bukankah alfabet itu ada 26 banyaknya, dari A hingga Z. Orang lazim menyebutnya “ke-fleksibelan”.
Gaun, checked.
Sepatu, checked.
Materi, checked.
“Hmm.. saatnya saya mengenakan pakaian dan sedikit memoles wajah agar terlihat menawan dan segar”, pikirku.
Waktu berdandan adalah waktu yang paling aku senangi. Mencocokkan antara satu potong pakaian dengan pakaian lainnya. Mencoba memikirkan polesan wajah yang pantas, membuatku menjadi wanita paling luar biasa. Meskipun termasuk wanita yang tidak menghabiskan waktu dandan paling lama, tetapi selalu saja ada kesan ketika aku mematuk wajah di depan cermin. Hari ini sepertinya ada yang berbeda. Pandanganku terpaut jauh di sudut kamar melihat siluet berbayang akibat pantulan cahaya di kamar. Aku dekati dengan deru penasaran yang memburu.
Tap..
Tap..
Ketukan sepatu yang aku kenakan menggaung memenuhi ruang.
Aura magis berasa membenamkan setiap nyali yang ada di tubuhku.
Satu..
Dua..
Dan..
Aku kembali berhenti untuk sekedar membersihkan peluh yang sebesar bulir sari jeruk dan meyakinkan diri untuk tetap maju mengikuti hasrat penasaranku. Aku perhatikan tiap-tiap langkah agar kiranya keseimbangan badanku tetap pada sumbu kewajaran sehingga aku tidak limbung.
Lalu, rasa yang membuncah itu mengalahkan rasa takutku. Aku hentakkan kain usang yang menutupinya, dan betapa terperangahnya diriku mendapati sebuah cermin tua. Masih cantik meski sedikit agak cacat di beberapa ukirannya. Dari pesan yang disajikan pemahatnya, sang seniman itu nampaknya hendak menunjukkan cantiknya Indonesia. Aku raba setiap detailnya ukiran yang menyelimuti pinggiran kaca, sembari aku tiupi debu yang melekat abadi di sisi-sisi cermin tua itu. Seketika, sekelebat pikiran buruk merampas akal sehat.
“Mungkin saja ini seperti cermin-cermin yang banyak dicerita fiksi” batinku.
“Sebentar lagi akan ada kutukan atau apalah yang tiba-tiba menelanku masuk ke dalam cermin” ketusku diam-diam.
Dan kenyataan berbicara lain. Tidak aku dapati keanehan atau keajaiban apapun dari cermin tua ini. Kemudian aku menamainya Queen of Lily, karena aku sangat mengagumi sang Lady Diana yang identik dengan bunga anggun itu.
Berhari-hari setelah penemuan magisku itu, yang entah siapa pengirimnya, aku tidak merasakan sedikit pun kejadian yang seperti sering aku temui dalam novel ataupun film fiksi misteri favorit-ku. Hingga tiba suatu hari, aku yang hendak bercermin untuk meyakinkan diriku telah pantas menyajikan materi dalam sebuah seminar, tiba-tiba tersentak mundur karena melihat sosok bayangan yang terpantul di cermin itu ternyata bukan diriku. Jika aku perkirakan, gadis yang tampak berbayang di cermin itu sekitar……22 tahun. Iya, dia lebih tepat aku sebt adik ketimbang bayangan diriku. Tapi, mengapa itu terjadi? Apa yang salah dengan cermin tua ini. Aku pikir cermin ini bukan..ahh, sudahlah. Dari awal harusnya aku sudah curiga, tidak mungkin ada cermin cantik dan antik tersimpan di sudut ruanganku, jikalau tidak dinaungi aroma mistis.
Aku memilih untuk tidak mundur dan tetap bersikukuh menatapi gadis dalam cermin itu. Sejenak, aku melihat aura optimisme dan kesan acuh pada gadis 22 tahun itu. Parasnya tidak cantik, tapi ia manis. Sangat manis untuk sekedar dipandangi sekejap. Ketika anda memalingkan wajah sedetik saja, maka rasa rindu seketika brutal memeluk anda. Memaksa anda untuk kembali meneguk manisnya paras di cermin itu. Siapa gerangan gadis di cermin itu? Ingin rasanya aku menanyakan namanya, namun tiba-tiba gadis itu berpaling membelakangiku sehabis merapikan bagian ujung bajunya yang sedikit terlipat. Spontan tanganku seperti hendak menggapai jemari kecilnya, dan berkata tunggu dulu. Tetapi aku terbentur oleh batasan dunia, kaca cermin ini.
“Hai, kamu mau kemana? Siapa namamu Dik?” sedikit aku keraskan suaraku berharap ia mendengarku. Namun teryata dia melenggak pergi meninggalkanku dengan ketidaktahuanku. Lalu seperti diputarkan layar tancap yang kerap warga desa saksikan, aku bisa dengan jelas menatapi setiap adegan yang terjadi di dalam cermin tua itu. Aku kemudian menarik satu kursi kayu yang tak jauh dari posisi cermin tua tadi. Berdecit bunyinya kala beradu dengan lantai kayu sintetik dalam ruangan. Aku benarkan posisi duduk ku, mengamati bagaimana cermin ini akan menceritakan siapa dia. Yah, gadis bayanganku di cermin itu.
Tergambar dalam cermin:
Gadis itu (entah) memencet tombol-tombol telepon genggamnya menimbulkan bunyi nada yang tak beraturan.
Tat..tit..tut..
Tut..tit..tat..
Tit..tut..tat..
Tat..tit..tit..
Kurang lebih seperti itu bunyi yang dihasilkan jemari halusnya. Dan seperti teknik-teknik penyorotan kamera dalam film, aku dihadapkan pada kalimat yang tengah dirangkainya di ponsel canggih miliknya. Ia sedang menmbalas pesan singkat untuk seorang lelaki diseberang sana. Tersirat, jika lelaki itu tengah melakukan pendekatan dengannya. Sebelum ia membalasnya, tidak ayal dia mengerutkan kening atau bahkan tersenyum tipis, seksi. Dasar anak muda, toh..nanti terbuai juga dengan perhatian yang suatu saat akan meluluhkan meskipun betapa kokohnya pendirian yang diciptakannya. Tetapi tidak, sikap acuhnya meruntuhkan paradigmaku barusan. Gadis itu malah hanya membalas dengan satu atau tiga kata-kata singkat. Bisa aku duga, lelaki di seberang sana akan gusar atau bahkan geram membacanya jika saja ia tidak sabar. Tentu saja, gadis itu tidak terlalu ambil pusing dengan tanggapan lelaki lawan ngobrolnya. Satu hal yang ia ketahui, hidup terlalu singkat dengan hanya dipenuhi kekhawatiran dan kecemasan berlebih. Masih ada banyak bagian dari dunia ini yang belum ia jabat untuk menyempurnakan kebahagiaannya.
Masih penasaran, dan aku terus menatapi cermin itu….
Bukan sekali atau dua kali gadis itu bersikap dingin dengan lelaki yang menurutnya hanya akan menambah daftar rusuhnya urusan ketika mereka masuk dalam daftar “urusan yang harus diselesaikan”, tetapi ia telah lihai dalam menolak.
Hampir semua kegiatan gadis dalam cermin itu dapat aku tonton. Aku seperti memutar kembali siapa aku di masa lalu. Sikapnya tiap kali menimpali cowok-cowok yang berusaha mendekatinya dengan ketidakpeduliannya, cara ia bercanda dengan teman-teman sekelompoknya, bahkan cara dia menghabiskan waktu dan membunuh kejenuhan rutinitasnya dengan mendengarkan lagu-lagu favoritnya dari kabel-kabel earphone atau bass pemutar suara di mobilnya. Semua itu bisa Myrah amati dengan seksama melalui pantulan yang terbias di cermin.
Dan sampailah ketika sang cermin itu menunjukkan klimaks dari rentetan adegan dalam kaca. Kali ini seorang lelaki yang diajaknya saling mengirim pesan seolah membuatnya penasaran. Iya, penasaran dengan waktu dan alur cerita yang akan dilalunya tiap kali petang menyahut atas nama siklus alam. Mungkin karena intens dan kualitas pembicaraan yang berbeda dengan lelaki-lelaki lainnya korban keacuhannya. Tapi, dengan pembawaannya yang memang seperti itu, dengan siapa pun dia berinteraksi pasti akan menemui dingin sikapnya. Hal itu yang ternyata membuat sang lelaki semakin tak gentar untuk meyakinkan jika ia layak untuk gadis belia tersebut.
Bagaikan dituntun oleh cermin, Myrah membangkitkan kembali puing-puing masa lalu bagaimana ia harus merasakan pengabaian dari lelaki-lelaki yang belum tepat yang ia temui di masa silam. Perihal ignorance itu telah membuatnya seperti sekarang ini. Berkepribadian dingin, acuh, dengan penuh keteraturan. Gadis dalam cermin itu memang tidak asing. Ternyata, gadis itu memanglah refleksi, pantulan bayangan siapa dia saat ini. Dan gadis dalam cermin itu kini berkontribusi mencipratkan kegamangan pada siapa dia sebenarnya saat ini. Sesaat ketika ia mengamati cermin pada jam-jam yang berlalu, ia sadar terkadang ia menertawai bagaimana gadis itu berusaha membuat penasaran sang lelaki yang ujung-ujungnya ternyata justru membuat dia yang pensaran akan kegigihan lelaki tersebut. Terkadang ia brtepuk tangan berdecak kagum atas prinsip yang digenggam erat gadis itu. Atau bahkan ia menangis sedih, tatkala mendapati kesendiriannya di usianya yang tidak lagi se-belia gadis dalam cermin itu.
Meskipun tiap adegan yang terpampang di cermin hanya mempertontonkan sekuen-sekuen sederhana keseharian gadis belia itu, tetapi ternyata ada makna yang ingin diajarkan oleh cermin tua itu. Dari penolakan-penolakan yang diterapkan sang gadis, Myrah ternyata masih harus belajar memilah, kapan harus menolak dan kapan harus menerima, atau mungkin kapan harus menggantung keputusan. Sekarang apa yang ia hadapi hanya sebagian ketakutan kecil. Jikalau dulu ia mampu menganggap enteng segalanya dan bersikap acuh seperti gadis itu, sekarang ia harus memulai mengkhawatirkan penggunaan strategi untuk tetap bijak dalam memilih jalan hidup. Apa yang dilakukan gadis dalam cermin itu seakan mencoba menyadarkanku bagaimana dulu aku mampu melalui tiap rintangan. Mengapa justru sekarang aku seperti disergap kecemasan dan ketakutan. Benar adanya, tidak ada yang salah dengan cermin itu. Gadis dalam cermin itu adalah refleksi diriku, Myrah. Pantulan bayangan yang dibentuk sang cermin memang aku, aku ketika aku dengan segenap kekuatan menjadi orang yang pantang untuk dihinggapi kegalauan. Itu memang aku. Sang cermin mencoba mengajarkanku arti berjuang dari refleksi penolakan.
Ahh..ingin aku jabat tangan gadis dalam cermin itu, dan akan aku bisikkan kata terima kasih terdalam untuknya yang mengajarkanku kembali apa arti semangat, bagaimana menkmati hidup, dan mengesampingkan masalah-masalah yang tidak penting. Ingin aku ajarkan bagaimana penolakan-penolakan itu menjadi bibit optimisme, ingin, aku sangat ingin dek. Agar nanti kamu tidak perlu menemukan kecemasan yang berlebihan yang hanya akan merampas semangat hidupmu di balik bekunya sikapmu.
Cermin..wahai cermin di dinding yang sakti..
Siapakah wanita dalam cermin ini?
Dan cermin kembali memantulkan bayangan diriku..
Yah..diriku dengan gaun yang akan aku kenakan dalam seminar siang ini.
Dan..uppss..aku telat lima belas menit.
Kemudian dentuman sepatuku kembali beradu dengan alas kayu rumah kontrakanku.
Plak..plak..plak..
***

Epilog
           
Gadis dalam cermin tadi tersenyum melambai, menghaturkan salam pada bayangannya beberapa tahun ke depan. Semoga ia bisa jauh lebih baik lagi, lebih optimis, sistematis, namun tetap fleksibel.


Bogor, 15 Oktober 2014
Thank’s for my reflection on the mirror to avoiding me to do the wrong think..
Nhia Hammado

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks buat komentarx..:)